Masih Adakah Masa Depan bagi Demokrasi?

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
28 April 2019 14:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kalangan milenial lakukan aksi protes Foto: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kalangan milenial lakukan aksi protes Foto: Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pertanyaan penting akan eksistensi demokrasi semakin menyeruak di negeri asal demokrasi pascaketerpilihan Donald Trump. Buku karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblat, Bagaimana Demokrasi Mati, Apa yang Diungkapkan Sejarah tentang Masa Depan Kita, menjadi salah satu titik penting merenungkan kembali urgensi demokrasi sebagai pilihan tata kelola kehidupan bermasyarakat.
ADVERTISEMENT
Kehadiran buku setebal 272 halaman itu menarik, mengingat Trump memang figur sensasional dan tidak pernah diperhitungkan sebelumnya secara serius di ranah politik, sebuah wilayah baru bagi sang konglomerat. Trump adalah pengusaha sukses yang memang eksentrik, penuh dengan kontroversi, tetapi tetap menginspirasi banyak pihak pada kemampuan sense of business yang mumpuni.
Mungkin saja bagi Trump, politik adalah ruang bermain di luar sektor bisnis, bagi upayanya untuk mengekspresikan kehendak serta ambisi kuasanya. Bahkan, secara mengejutkan, kemenangan Trump tidak pernah tertangkap melalui hasil temuan survei. Padahal, Hillary sebagai kompetitor justru mendapat simpati banyak dalam persepsi opini publik. Bukan hanya itu, Hillary juga memenangi berbagai survei.
Bagaimana pun, demokrasi adalah pilihan yang diambil sebagai alternatif mengatur kehidupan sosial. Demokrasi berbicara tentang otoritas pengaturan hidup bersama, bahkan secara singkat dimaknai dalam formulasi sederhana: pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.
ADVERTISEMENT
Bila demikian, basis mendasar dalam demokrasi adalah soal kepercayaan yang merupakan legitimasi bagi pemerintah. Maka dari itu, pertanyaan yang perlu dirumuskan ulang adalah: apakah para elite pengelola kehidupan bersama itu benar-benar membawa kepentingan publik?
Terang saja jawabannya sangat bergantung pada apa yang dirasakan oleh publik itu sendiri. Slogan yang mencuat dalam demokrasi adalah tentang kebebasan, kebersamaan, dan keadilan. Keseluruhan aspek tersebut menjadi fondasi serta indikator di alam demokrasi.
Trump dan Pagar Demokrasi
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Foto: REUTERS/Joshua Roberts
Kemenangan Trump tidak hanya disangsikan oleh pihak di luar Partai Republik, bahkan di dalam internal organisasi partai pengusungnya sendiri ada keterbelahan sikap di antara petinggi partai. Sistem kepartaian di Amerika berbentuk dwipartai, hanya Partai Republik dan Partai Demokrat. Hal tersebut membuat institusi kepartaian keduanya solid dalam kerangka struktur organisasi.
ADVERTISEMENT
Bila kemudian ilustrasi bangunan kenegaraan dibatasi oleh pagar demokrasi, maka pagar kehidupan bernegara tersebut terdiri dari norma-norma sosial bersama, sebagai konsensus yang melandasi ketentuan dalam konstitusi. Dalam kajian Levitsky dan Ziblat, kemenangan Trump diidentifikasi sebagai periode kepemimpinan politik yang berpotensi menghadirkan otoritarianisme.
Beberapa hal yang menjadi ukuran dari bibit otoriter, menurut Levistky dan Ziblat, dilihat melalui perilaku utama, di antaranya: (1) komitmen terhadap aturan main yang demokratis; (2) delegitimasi kubu oposisi yang berseberangan; (3) tekad bertoleransi; dan (4) memberi dukungan pada kebebasan sipil dan media. Pada keseluruhan kriteria tersebut, Trump memiliki persoalan.
Meski demikian, toh Trump tetap pemimpin yang terpilih, meski diselimuti skandal Cambridge Analytica dengan sisi kelam permainan algoritma microtargeting social media. Sebagaimana hasil temuan dalam penelitian Levitsky dan Ziblat, pemimpin otoriter justru kerap kali muncul sebagai harapan akan situasi yang terjadi, hadir dengan tampilan populer yang menjadi antitesis kemapanan.
ADVERTISEMENT
Banyak kasus pemimpin otoriter dunia tidak hadir dengan tiba-tiba, bahkan beberapa di antaranya dianggap sebagai pahlawan negara, tetapi kemudian masuk dalam perangkap kekuasaan dengan sifatnya yang melenakan. Ambisi kekuasaan itu adalah tentang mempertahankan selama mungkin privilese tampuk kepemimpinan, yang pada akhirnya menciptakan otoritarianisme.
Kasus fenomena Hitler yang mencapai kursi kuasa melalui pemilihan umum dan demokrasi adalah buktinya.
Post-Trump dan Resolusi Demokrasi
Pada kajian lokal di Indonesia sebagai perbandingan, peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, demikian pula selanjutnya transisi Orde Reformasi, ditandai dengan semakin tersentralnya kekuasaan di tangan pemimpin. Pihak yang dianggap tadinya menjadi aktor perubahan, dengan kriteria pembaharu dan pembawa harapan, kemudian melakukan konsolidasi kekuasaan. Di titik inilah, otoritarianisme menemukan bentuknya. Hasrat kepentingan dan kekuasaan jadi motif penggeraknya.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, politik dalam fungsinya sebagai jalan menuju ruang demokrasi dalam bangunan kenegaraan tidak bisa dipandang secara ideal, melainkan lebih bersifat pragmatis. Aktor-aktor politik sesungguhnya tengah memainkan peran dalam sandiwara kepentingan, sesuai konsep dramaturgi. Hal itu dapat jelas terlihat jika Anda pernah menonton film dokumenter berdurasi 90 menit, Sexy Killers.
Pada bagian akhir dari buku, Levitsky dan Ziblat memberikan formula yang dapat dijadikan panduan bagi upaya mengatasi sekaligus keluar dari situasi terbentuknya otoritarianisme terselubung dalam bentuk populisme, sebagaimana terkategori sebagai era Post-Trump dalam model hipotesis sederhana, yakni: (1) penguatan gerakan sosial publik sebagai counter kekuasaan; (2) penambahan peran partai politik oposisi yang menjadi balancing power; dan (3) pembenahan sistem kepartaian.
ADVERTISEMENT
Apakah dengan demikian demokrasi dapat diselamatkan dan memiliki masa depan? Tentu politik harus dipahami dalam posisinya yang selalu bergerak dinamis. Perilaku politik publik mudah berayun dari satu pilihan ke pilihan yang lain, dan hal itu mudah untuk ditunggangi kepentingan elite politik dalam tujuan menapaki kekuasaan. Maka kesadaran publik, dalam konteks literasi dan melek politik, menjadi penting agar tidak terjebak pada tampilan muka yang bisa jadi tampak populis!