Tujuan Kawin
Konten dari Pengguna
9 Januari 2017 9:23 WIB
Tulisan dari Yahya Cholil Staquf tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di dalam masyarakat misoginis seperti di Timur Tengah dan sejumlah kawasan lainnya di zaman dahulu, sudah biasa terjadi perkawinan yang diatur tanpa melibatkan calon-calon pengantinnya. Sehingga lazim saja si pengantin baru bertemu dengan isteri atau suaminya untuk pertama kali sesudah akad nikah.
ADVERTISEMENT
Sedemikian lumrahnya praktik semacam itu, sehingga dalam kitab-kitab fiqih klasik ada fasal yang membahas “kriteria cacat” pada isteri atau suami yang dapat dijadikan alasan sah untuk membatalkan pernikahan atas dasar “wan-prestasi”.
Kriteria yang dibahas itu pada umumnya menunjuk kekurangan-kekurangan fisik yang dapat meniadakan fungsi seksual.
Imam Asy-Sya’bi (Abu ‘Amr ‘Amir bin Syarahil bin ‘Abdi Dzi Kibar Al Humairi), salah seorang ulama tabi’in (lahir sekitar tahun ke-17 H), didatangi seseorang yang minta fatwa terkait perkawinan yang telah terlanjur diterimanya.
“Sesudah akad nikah, baru saya tahu kalau isteri saya itu pincang. Bolehkah saya mengembalikannya kepada orang tuanya?”
“Boleh”, Asy-Sya’bi menjawab tandas, “kalau memang engkau mengawininya untuk kau ajak balapan lari”.
ADVERTISEMENT