Kejamnya Dunia Prostitusi

Vanessa Naomi Dicta Warayaan
Mahasiswi Universitas Multimedia Nusantara
Konten dari Pengguna
5 Desember 2021 16:47 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Vanessa Naomi Dicta Warayaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
foto: Ilustri Suara Perempuan yang Dibungkam-freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
foto: Ilustri Suara Perempuan yang Dibungkam-freepik.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hanya berhubungan seksual, lalu dapat uang. Itu lah kira-kira pandangan masyarakat terhadap Pekerja Seks Komersial (PSK). Nyatanya, menjadi seorang PSK tidaklah semudah apa yang dibayangkan. Hidup di bawah dunia prostitusi sangatlah keras dan kejam. Banyak tindakan pelanggaran HAM yang mereka dapatkan, seolah-olah hal tersebut merupakan hal yang diwajarkan untuk terjadi.
ADVERTISEMENT
Hal ini disebabkan karena mereka dianggap menjual tubuh yang diartikan bisa dipakai semau klien. Walaupun di awal sudah ada perjanjian, hal tersebut tetap tidak bisa mencegah terjadinya pelanggaran HAM yang mereka dapatkan.
Status mereka sebagai pekerja seks membuat mereka kesusahan untuk bersuara mengenai kekerasan yang didapatkan di lingkungan pekerjaannya. Ditambah pula banyak muncikari yang tidak peduli terhadap pekerjanya.
Pandangan dan stigma negatif yang melekat erat pada para pekerja seks ini membuat mereka tidak mendapatkan hak yang setara dengan pekerja-pekerja lainnya dan berakhir tidak memiliki suara ketika mengalami kekerasan dan ketidakadilan yang menindas mereka. Banyak dari mereka yang takut untuk melaporkan kekerasan yang dialami mereka kepada pihak otoritas mengingat budaya menyalahkan penyintas yang masih kental. Ditambah dengan jenis pekerjaan yang dilakukan kelompok PSK memang dinilai berisiko dan ‘melanggar hukum’. Bentuk kekerasan yang sering kali dialami kelompok PSK ini terbagi menjadi kekerasan fisik, seksual, dan emosional atau psikologis.
ADVERTISEMENT
Kekerasan fisik pada pekerja seks merujuk pada paksaan fisik yang memicu luka bahkan kematian, seperti dilempar objek tertentu, dijambak, digigit, ditampar, didorong, dicekik, dibakar pada area tubuh tertentu, bahkan diancam dengan senjata tajam. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kekerasan-kekerasan ini kebanyakan dilakukan tanpa persetujuan penyintas karena banyak orang berpikiran bahwa ‘menyewa’ PSK berarti memiliki hak atas tubuh individu tersebut.
Kekerasan seksual yang dapat terjadi adalah pemerkosaan, pemerkosaan beramai-ramai, pelecehan seksual, dan dipaksa untuk melakukan perilaku seksual yang cenderung merendahkan dan mempermalukan penyintas (seperti penetrasi oral, anal, dan vagina dengan alat kelamin atau benda tajam yang tidak diinginkan oleh penyintas).
Menurut Dr. Dyah, kekerasan seksual bisa terjadi disebabkan adanya anggapan dari pelaku yang menganggap penyintas mudah untuk ditaklukkan sehingga berada di posisi harus dikuasai. Terlebih, dalam hal ini, pekerja seks menawarkan jasa mereka yang membuat beberapa konsumen merasa memiliki tubuh pekerja seks tersebut.
ADVERTISEMENT
Kekerasan yang paling sering terjadi tapi diwajarkan karena kurangnya bukti yang kuat adalah kekerasan emosional. Kekerasan emosional yang biasa terjadi pada kelompok PSK adalah perilaku memanggil dengan sebutan merendahkan, menghina, dipermalukan dan direndahkan di depan banyak orang, diancam kehilangan hak asuh anak, diisolasi keluarga dan teman-teman, diteriaki, diintimidasi, dipaksa untuk mengonsumsi narkoba, dan lainnya.
Menurut Jackie Viemilawati, psikolog Yayasan Pulih, dalam wawancaranya dengan Detik, semua kekerasan ini cenderung dipendam sendirian karena mereka merasa bahwa pilihan yang mereka miliki tidak banyak. Banyak pekerja seks yang menjalankan pekerjaan tersebut untuk keluar dari masalah ekonomi sehingga mereka menganggap mendapatkan kekerasan merupakan risiko yang memang harus ditanggung untuk mampu mengatasi permasalahan tersebut.
Isu kekerasan yang cukup tinggi pada kelompok PSK ini juga memunculkan isu baru yang sama daruratnya, yaitu isu kesehatan reproduksi. Banyak klien yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks merasa bisa seenaknya untuk tidak menggunakan kondom saat berhubungan seksual. Mereka menganggap penderitaan yang nantinya akan dialami pekerja seks tidak ada hubungannya dengan dirinya dan merasa hal tersebut merupakan haknya sebagai klien.
ADVERTISEMENT
Kurangnya kesadaran untuk menggunakan alat kontrasepsi, baik dari pihak klien maupun pekerja seks, menyebabkan angka penyakit dan infeksi menular seksual meningkat antara kelompok pekerja seks.
Walaupun pekerja seks memang bertugas untuk melayani aktivitas seksual, bukan berarti mereka bisa dipakai dan dicap seenak jidat. Satu yang perlu disadari bahwa pekerja seks juga sama seperti yang lainnya, sama-sama manusia dan sudah seharusnya diperlakukan semana mestinya kita memperlakukan manusia.