Amerika yang Saya Kenal

Uly Siregar
Former Journalist. Writer. Sometimes college teacher.
Konten dari Pengguna
4 Juli 2020 16:16 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Uly Siregar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Amerika Serikat bergejolak menjadi berita di penjuru dunia. Hingga berpekan-pekan gelombang protes--sebagian disertai penjarahan--merebak di kota-kota besar beberapa negara bagian dari barat hingga timur. Per 2 Juni, tercatat seluruh negara bagian di AS (yang berjumlah 50) ikut ambil bagian dalam demonstrasi “Black Lives Matter” (BLM). Pemicunya: kematian George Floyd, warga kulit hitam yang tinggal di negara bagian Minnesota.
ADVERTISEMENT
George tewas di tangan polisi, Derek Chauvin, yang secara brutal melumpuhkannya setelah ia dilaporkan menggunakan uang 20 dolar palsu saat berbelanja. Yang membikin marah, polisi tanpa ampun mencekik leher George dengan dengkulnya selama hampir sembilan menit. Saat kehabisan napas dan meregang nyawa, di ujung kematian George menjerit “I can't breathe”. Kejadian ini terekam, lantas videonya menjadi viral.
Kebrutalan polisi ditelanjangi. Kemarahan yang telah lama menumpuk akibat banyaknya kasus kebrutalan polisi terhadap warga AS kulit hitam akhirnya mencapai puncaknya. Genderang perang ditabuh dengan demonstrasi massal yang berbuntut penjarahan.
Kekacauan seperti tak kenal ampun memojokkan Amerika. Saat ini, ia adalah negara dengan angka kematian tertinggi--lebih dari 100 ribu jiwa--akibat pandemi COVID-19. AS juga mengalami pukulan ekonomi bertubi-tubi dengan melesatnya angka pengangguran akibat pandemi. Pada bulan April tercatat 20,5 juta pekerjaan hilang. Angka pengangguran pun melonjak menjadi 14,7 persen, tertinggi sejak the Great Depression dan empat kali lebih tinggi dari angka 3,5 persen yang terjadi di Februari dan membuat Presiden Donald Trump sempat jumawa.
ADVERTISEMENT
Sebagai pengguna aktif media sosial, saya melihat setiap platform medsos sempat lama disesaki dengan tema BLM. Berbagai komentar dan opini berseliweran, dari yang paham soal BLM hingga yang tak mengerti hingga dengan naif membalas slogan BLM dengan “All Lives Matter”. Selebritas manca negara menyeragamkan isi Instagram mereka dengan bujur sangkar berwarna hitam. Lantas, ada pula pegiat medsos Indonesia yang mengambil kesempatan dengan girangnya menjelek-jelekkan Amerika, seakan dosa sejenis rasisme tidak terjadi di negeri sendiri.

Amerika tak seindah film Hollywood

Konsepsi kebanyakan orang Indonesia tentang Amerika didasari atas ekspektasi-ekspektasi berlebihan yang muncul dari film-film produksi Hollywood dan pop culture yang menyertainya. Ini juga saya alami sendiri. Empat belas tahun lalu saya meninggalkan Indonesia, bermigrasi ke Amerika Serikat. Bulan-bulan pertama, saya mengalami gegar budaya, termasuk kebingungan-kebingungan menemukan gambaran tentang Amerika yang jauh berbeda dengan realita. Bukan soal “Oohhh... Ternyata banyak gelandangan, ya, di pusat kota San Francisco” tapi menyadari bahwa AS tak ‘seliberal’ yang saya bayangkan.
ADVERTISEMENT
Polarisasi yang tajam antara kaum liberal dan konservatif menjadi makanan sehari-hari, tak hanya di ranah media, tapi di kehidupan berkeluarga. Suami saya lahir dan dibesarkan di negara bagian Illinois yang termasuk negara bagian berwarna biru, artinya mayoritas berafiliasi dengan Partai Demokrat dan cenderung liberal. Namun di lingkungan keluarga suami ternyata sangat konservatif. Sebagian juga cenderung rasis. Beberapa paman suami yang memang termasuk generasi tua enteng bercanda dengan menggunakan kata “N” yang luar biasa ofensif bagi ras kulit hitam. Bagi mereka istilah-istilah yang “politically correct” menyebalkan, mengganggu, dan menunjukkan pribadi yang gampang tersinggung atau justru pengecut karena tak berani berkata “apa adanya”.
Pertengkaran karena urusan afiliasi politik yang berbeda menjadi problema yang tak saya sadari sebelumnya. Tak seperti di Indonesia yang multipartai, di AS, sistem dua partai membuat kebanyakan punya mentalitas “You’re either with me or against me”. Mungkin karena itu urusan afiliasi politik jadi sensitif. Di lingkungan kerja haram hukumnya menyinggung soal politik. Jangan coba-coba bertanya-tanya apa afiliasi politik seseorang. Kalau rekan kerja yang ditanya merasa tak senang, tak nyaman, dan terganggu bisa-bisa si penanya menerima 'surat cinta’ dari departemen sumber daya manusia.
ADVERTISEMENT
Yang juga sangat mengejutkan saya dari Amerika Serikat adalah, agama masih memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari, bahkan mempengaruhi politik dengan sangat. Menurut hasil survei Gallup 2018, 72 persen atau hampir tiga perempat warga AS masih menganggap agama sebagai hal yang penting dan mampu menjawab persoalan-persoalan sehari-hari. Meskipun dalam soal praktik beragama telah terjadi penurunan namun pengaruh agama dalam kehidupan masih kuat. Yang membatasi campur tangan agama tertentu, AS memiliki prinsip hukum “separation between church and state” dengan landasan dasar Amandemen Pertama soal kebebasan menjalankan ibadah sesuai keyakinan warga.
Pentingnya peran agama bisa dilihat saat pemilihan presiden empat tahun lalu. Sukses Trump memenangkan pilpres salah satu faktornya karena didukung kelompok penginjil. Mereka sukses mempengaruhi jemaat gereja untuk memilih Trump. Kalangan teman-teman gereja saya sendiri saat pemilihan presiden 2016 lalu, banyak yang memilih Donald Trump dibandingkan Hillary Clinton. Alasan paling esensial, Trump anti aborsi dan menentang perkawinan sejenis. Hal-hal lain seperti reputasi buruk Trump dalam berumah tangga hingga berkali kawin-cerai yang juga salah satu hal yang ditentang keras dalam kristiani ternyata tak sebanding dengan isu aborsi dan perkawinan sejenis. Akhirnya agama hanya jadi komoditas politik dan disesuaikan dengan kepentingan. Mengingatkan saya pada situasi politik di tanah air.
ADVERTISEMENT
Satu lagi yang paling membikin syok adalah gun culture. Kebebasan memiliki senjata api yang dilindungi hukum dan diadvokasi habis-habisan oleh kaum konservatif membuat saya resah. Apalagi dengan banyaknya insiden penembakan di sekolah. AS adalah negara dengan kepemilikan senjata api tertinggi di dunia dengan jumlah total hampir 400 juta senjata, lebih besar dari jumlah penduduk! Karena tingginya jumlah senjata ini tidak heran angka kematian yang diakibatkan oleh senjata api pun termasuk tinggi, yakni peringkat 28 di dunia. Tercatat sekitar 4,5 kematian per seratus ribu penduduk, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump berjalan melewati pagar yang rusak oleh demonstran di Lafayette Park, Washington , Amerika Serikat. Foto: REUTERS / Tom Brenner

Namun, Amerika tak melulu buruk

Menjadi orang Indonesia yang sudah menetap lebih dari satu dekade di Amerika membuat saya menapak di dua dunia, dengan hasrat membara membela kedua negara sepenuh hati. Dua-duanya saya cintai dengan semua kelebihan dan kekurangannya. Ketika orang Indonesia memaki-maki Amerika Serikat, saya meradang. Sama ketika ada orang Amerika dengan dungunya berkomentar, “Do you have malls in Indonesia? Do women vote there? Is it true muslim women get smacked a lot by their husband?”
ADVERTISEMENT
Saya tak perlu mengungkapkan kecintaan pada Indonesia di sini. Dalam setiap helaan napas, saya mencintainya dengan keras kepala. Sementara cinta pada Amerika Serikat saya pelajari dan rangkul sedikit-sedikit. Cinta saya dimulai dengan empat orang Amerika dalam keluarga: suami dan tiga putri saya. Setelahnya, di sela-sela rasa muak akan banyak hal yang kadang membuat saya menyesal bermigrasi ke Amerika, saya mencoba lebih adil dan menemukan keindahannya.
Amerika yang saya kenal sehari-hari adalah tempat yang menjanjikan bagi warga biasa. Di negara ini pelayan restoran, tukang kebun, tukang ledeng, atau pekerja kasar lainnya sama terhormat dengan mereka yang memperkerjakan, memiliki derajat yang sama dengan pekerja kerah putih. Mereka makan di restoran yang sama, sama-sama bisa berlibur ke luar negeri, dan tinggal di rumah yang nyaman. Di sini, setiap orang seharusnya bisa mengejar American Dream, sebuah keyakinan bawah setiap orang--tak peduli di mana mereka lahir atau dari kelas manapun--bisa meraih sukses versi mereka sendiri dalam masyarakat. Tentu saja American Dream tak mudah diraih, apalagi bila memiliki mental hanya menunggu kesempatan. Dibutuhkan pengorbanan, kerja keras, dan keberanian mengambil risiko. Amerika Serikat adalah rumah Pierre Omidyar, konglomerat keturunan Iran yang besar di Paris kemudian bermigrasi ke Amerika dan membangun eBay. Dan kisah sukses imigran dalam beragam skala kerap terjadi di Amerika.
ADVERTISEMENT
Di Amerika tingkat harapan hidup termasuk tinggi: 78,5 tahun. Kaum manula di sini umumnya memiliki kehidupan yang aktif. Mereka mandiri, tak bergantung pada anak-anak atau cucu. Kultur memang membiasakan mereka untuk independen, berbeda dengan di Indonesia yang bisa mengandalkan keluarga karena kentalnya kekerabatan. Hal ini yang membuat teman saya, Susan, di usia 77 tahun bergabung dengan klub dayung di Ithaca, New York. Jangan heran kalau banyak nenek-nenek dan kakek-kakek lajang yang aktif kencan bahkan menikah kembali di usia 70-an. Manula di sini banyak yang memiliki mental “It’s never too old” dan negara pun mendukung, misalnya tak ada diskriminasi usia dalam banyak bidang pekerjaan. Mendiang mertua saya dahulu di usianya yang 70-an melamar menjadi resepsionis di showroom mobil. Bersaing dengan kandidat yang jauh lebih muda, ia diterima dan bekerja selama beberapa tahun di sana. Usia pensiun pun di sini lumayan panjang. Pensiun penuh biasanya pada usia 66 tahun sekaligus mendapatkan jaminan sosial dari pemerintah.
ADVERTISEMENT
Amerika yang saya kenal memang masih memiliki persoalan rasisme. Namun upaya mematikannya dilakukan secara terus-menerus dan dalam payung hukum. Belum lagi masyarakatnya yang melek demokrasi tak segan melakukan protes dan solidaritas. Diskriminasi di tempat kerja adalah isu serius yang pelanggarnya dapat dituntut secara hukum. Tak hanya soal ras dan agama, tapi juga menyangkut orientasi seksual. Kaum LGBT bisa merasa lebih aman dan diterima daripada di tanah air. Melakukan kriminalitas yang secara khusus menyasar kaum LGBT bisa diganjar hukuman lebih berat dengan label ‘hate crime’. Ini juga berlaku bagi mereka yang nekat melakukan kejahatan didasari kebencian pada agama, ras, atau kelompok sosial tertentu.
Masih banyak perihal baik lainnya yang menjadikan Amerika, Amerika. Betul, ia negeri yang jauh dari sempurna--bahkan setengah sempurna pun tidak. Apalagi sekarang, ketika yang terdengar rasanya hampir melulu jelek. Amerika memang bukan negeri dongeng seperti bayangan masa kecil saya, tapi ia tetap menjadi mimpi-mimpi setiap imigran yang datang berbondong-bondong ke Amerika, atau yang masih berharap menjadi bagian darinya. Amerika adalah rumah bagi beragam ras dan etnis yang melebur dalam masyarakat dengan membawa keunikannya masing-masing. Amerika adalah tempat bernaung bagi mereka yang berasal dari Jerman, Polandia, Inggris, Arab, Cina, Indonesia, Filipina, Nigeria, Meksiko, dan banyak lagi. Dan percayalah, mereka yang membenci Amerika pun sulit menolak untuk datang bila diberi kesempatan.
ADVERTISEMENT
Cinta saya pada Amerika adalah cinta yang dewasa. Ia ada karena pilihan, bukan sesuatu yang melekat dari lahir seperti Indonesia. Meski masih menyandang status WNI, Amerika kini tempat bagi setiap mimpi-mimpi saya dan anak-anak. Selama 14 tahun hidup di sini--meskipun tak sempurna--faktanya Amerika memperlakukan saya dengan sangat baik. Seburuk apa pun Amerika menurut pandangan orang luar, secara pribadi saya belum pernah mengalami kejadian buruk yang membekaskan trauma. Karenanya, di hari kemerdekaan Amerika Serikat 4 Juli, saya hanya ingin mengucapkan: Thank you, America, for being my home despite all the bad things going on. I love you, almost as much as I love my homeland, Indonesia. It’s been a real honor to be part of you. Happy Independence Day to the land of the free and the home of the brave.
ADVERTISEMENT