Pentingnya Filter Diri di Ruang Siber

Konten Media Partner
8 April 2022 15:36 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Batas Dunia Nyata dan Dunia Maya Makin Kabur
Anggota Komisi I DPR RI, Syaifullah Tamliha, dalam Webinar Series: Ngobrol bareng Legislator. Foto: tangkapan layar
Seiring perkembangan teknologi, ruang publik yang sebelumnya berbentuk nyata dengan adanya gedung, lokasi, dan segala bentuk yang tangible, kini telah bergeser ke ruang siber yang bisa mempertemukan setiap individu dengan mudah hanya dengan koneksi internet.
ADVERTISEMENT
Ruang ini mengalihkan aktivitas manusia yang biasanya dilakukan di dunia nyata seperti kegiatan politik, sosial, ekonomi, kultural, dan lain-lain menjadi dunia maya dalam bentuk artificial. Cyber space dapat dimasuki oleh manusia dengan sadar, namun objeknya tidak nyata.
Hal ini disampaikan oleh Anggota Komisi I DPR RI, Syaifullah Tamliha, dalam Webinar Series: Ngobrol bareng Legislator bertajuk "Budaya di Dunia Maya = Budaya di Dunia Nyata" bersama Dirjen Aptika Kemkominfo, Samuel A Pangerapan BSc dan Akademisi, Dr Muhammad Aminullah, pada Sabtu (27/03/2022).
Dia menjelaskan, berkembangnya ruang siber tentu akan mempercepat proses globalisasi dari sisi budaya dan ekonomi. Pertukaran informasi yang semakin cepat dari satu tempat ke tempat lain akan memudahkan pertumbuhan ekonomi serta pertukaran budaya antar negara. Walaupun demikian, masyarakat harus mempunyai filter agar perkembangan teknologi ini tidak berdampak buruk.
ADVERTISEMENT
“Sejak tahun 2018 Kominfo telah menangani sebanyak 3.640 konten yang mengandung SARA dan telah di-take-down. Melihat hal ini, kita harus memegang sebuah filter atau pegangan yang teguh untuk menanggapi konten di dunia digital yaitu Pancasila. Sebagai falsafah negara, Pancasila dapat menjadi pengingat saat berselancar di ruang digital sehingga tidak terjadi perpecahan budaya antar suku di Indonesia,” tegas Syaifullah.
Webinar Series: Ngobrol bareng Legislator. Foto: tangkapan layar
Samuel menambahkan bahwa Indonesia mempunyai angka pengguna internet yang naik pesat hingga tahun 2022. Kenaikan ini akan menimbulkan risiko seperti penipuan online, hoaks, siber bullying, dan konten-konten negatif lainnya. Oleh karena itu, penggunaan internet perlu dibantu dengan kapasitas literasi digital yang mumpuni agar masyarakat dapat memanfaatkan dengan produktif, bijak, dan tepat guna.
ADVERTISEMENT
“Peningkatan literasi digital adalah pekerjaan terbesar. Oleh karena itu, kami juga tidak bekerja sendiri, diperlukan kolaborasi yang baik agar tidak ada masyarakat yang tertinggal dalam proses percepatan transportasi digital,” tambah Samuel.
Muhammad Aminullah menambahkan bahwa pengaruh internet juga membentuk budaya serta nilai-nilai baru di kalangan masyarakat. Perubahan budaya ini terjadi melalui proses digitally (perubahan media menjadi digital), interactivity (perubahan media digital yang dapat memberi respons interaktif pada sesame pengguna), dan dispersal (proses distribusi produksi dan pesan dalam media digital melibatkan keaktifan individu).
“Selain dampak positif, perkembangan teknologi juga memiliki sisi negatif karena bisa menggerus nilai budaya luhur di Indonesia jika tidak disikapi dengan bijak. Budaya merupakan hal yang bersifat dinamis, bisa bercampur, berakulturasi, berasimilasi, bahkan terkontruksi dengan adanya budaya baru yang masuk. Hal ini harus diperhatikan sebagai tantangan bagi anak muda agar tidak menyampingkan budaya asli Indonesia karena terlalu dipengaruhi oleh budaya dari luar negeri," jelasnya.
ADVERTISEMENT
"Langkah-langkah yang harus diambil oleh masyarakat Indonesia di antaranya pembangunan jati diri bangsa, pemahaman falsafah budaya, pemanfaatan teknologi informasi agar budaya lokal dapat menjadi produk yang memiliki nilai lebih tinggi,” imbuh Aminullah.(ads)