Penghormatan HAM Jadi Keunggulan dalam Bisnis Berkelanjutan

Konten Media Partner
20 November 2020 19:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Webinar "Mendorong Praktik Bisnis Berbasis Penghormatan pada Hak Asasi Manusia" oleh UPNVY pada Jumat (20/11/2020). Foto: Gabryella Triwati Siantiri/Tugu Jogja
zoom-in-whitePerbesar
Webinar "Mendorong Praktik Bisnis Berbasis Penghormatan pada Hak Asasi Manusia" oleh UPNVY pada Jumat (20/11/2020). Foto: Gabryella Triwati Siantiri/Tugu Jogja
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bisnis dan HAM merupakan masalah global yang terjadi hampir di seluruh negara. Seperti di Indonesia, kurangnya kontrol negara terhadap korporasi terus berpotensi merenggut hak-hak warga negara.
ADVERTISEMENT
Globalisasi menyebabkan kurangnya kontrol pemerintah atau negara terhadap korporasi, sehingga banyak korporasi terlibat dalam pelanggaran HAM. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya kasus kebakaran hutan dan lahan, permasalahan lingkungan hidup serta permasalahan ketenagakerjaan.
Pada tahun 2018, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat terdapat 156 peristiwa penyerangan yang ditujukan kepada pembela H8
AM. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) juga mengidentifikasi ada 69 korban individu, 4 kelompok masyarakat adat yang mengalami kekerasan akibat aktivitas yang berkaitan dengan isu bisnis.
Tak berhenti sampai di situ, catatan panjang pelanggaran HAM pun masih berlanjut. Wahyu Wagiman selaku Direktur Eksekutif ELSAM mengatakan hingga Oktober 2020 terdapat 111 individu, 54 kelompok masyarakat dan 13 individu pekerja yang menjadi korban pelanggaran HAM. 
ADVERTISEMENT
“Berdasarkan catatan Komnas HAM, ada 111 individu, 54 kelompok masyarakat dan 13 individu pekerja yang menjadi korban pelanggaran HAM sampai dengan Oktober 2020. Situasi ini perlu segera direspon agar catatan pelanggaran HAM dari tahun ke tahun diharapkan berkurang,” ujar Wahyu, pada Jumat (20/11/2020).
Pelanggaran HAM tersebut disebabkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya yaitu profit. Nikolaus Loy selaku Akademisi Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta (UPNVY) mengatakan bahwa para pelaku bisnis tidak memedulikan variabel di luar produksinya. 
Informasi selengkapnya klik di sini.
“Kalau kita lihat tahun 60,70, 80, bisnis adalah sumber konflik. Karena profit motif membuat variabel di luar produksi dianggap sebagai variabel eksternal yang tidak perlu diperhatikan oleh bisnis itu,” ujar Nikolaus.
adv
Menurutnya, semua bisnis harus memerhatikan lingkungan di sekitarnya agar profit motif tidak bertentangan dengan perlindungan lingkungan. Para pelaku bisnis harus mengarahkan pada peningkatan pendapatan masyarakat, penurunan kemiskinan, konflik rendah, penyakit dapat dikontrol, dan lingkungan lestari.
ADVERTISEMENT
“Semua bisnis jenis apapun harus mengarahkan pada peningkatan pendapatan masyarakat, penurunan kemiskinan, konflik rendah, penyakit dapat dikontrol, lingkungan lestari sehingga di dalam jangka panjang aktivitas bisnis itu menguntungkan. Dalam gagasan ini motif profit dengan perlindungan lingkungan tidak bertentangan,” ujar Nikolaus. 
ELSAM juga merangkum beberapa tantangan yang harus dihadapi di tengah banyaknya kasus pelanggaran HAM. Salah satu tantangan tersebut adalah lemahnya tanggungjawab negara dan korporasi sebagai pemangku kewajiban yang harus menghormati HAM.
“Masih ada tantangan yang harus dihadapi, pertama yaitu kurangnya kemauan politik dari negara untuk memastikan pemulihan hak-hak korban itu terjadi. Kita melihat ada kasus pengaduan itu ditunda sehingga korban tidak dapat menikmati pemulihan. Lalu, banyak masyarakat awam yang masih tidak familiar dengan prosedur hukum yang rumit sehingga membutuhkan pihak ketiga seperti LBH. Terakhir, walaupun sudah banyak upaya yang dilakukan, kita masih melihat banyak perusahaan yang tetap melakukan penyangkalan terkait tindakannya yang diduga melanggar HAM di Indonesia,” ujar Wahyu. 
ADVERTISEMENT
Melihat tantangan itu, Wahyu menyarankan digencarkannya mekanisme pengaduan berbasis non-negara. Hal tersebut guna membantu siapapun yang merasa dirugikan haknya oleh tindakan sektor bisnis. 
“Ada mekanisme pengaduan berbasis non-negara, yang mau tidak mau harus kita galih dari mekanisme pasar. Banyak asosiasi bisnis yang membentuk mekanisme pengaduan yang bisa diakses oleh siapapun yang merasa dirugikan haknya oleh tindakan sektor bisnis. Untuk perkebunan kelapa sawit, ada mekanisme yang disebut mekanisme RSPO. Semua masyarakat bisa mengadukan kelapa sawit kepada RSPO tersebut,” ujar Wahyu. (Gabryella Triwati Sianturi)