Malaysia Pasca Mundurnya Mahathir

Sudarnoto Abdul Hakim
Akademisi dan pengamat sosial keagamaan dan politik
Konten dari Pengguna
25 Februari 2020 9:08 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sudarnoto Abdul Hakim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mahathir Mohamad. Foto: Behrouz MEHRI / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Mahathir Mohamad. Foto: Behrouz MEHRI / AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menjelang tahun ke tiga sejak Pemilu 2018 yang sangat historis, situasi politik Malaysia memanas. Isu yang menonjol adalah pergantian PM sebelum tahun 2023 (Pemilu). Janji yang dinyatakan Mahathir ialah dua tahun memimpin Malaysia untuk kemudian diserahkan ke Anwar Ibrahim. Kemenangan gemilang meruntuhkan BN/UMNO adalah karena kerjasama Mahathir-Anwar. Tanpa mereka, BN/UMNO bisa jadi masih berjaya. Jadi, Anwar harus juga menikmati kemenangan dengan menggantikan posisi Mahathir. Tahun 2020 menjadi momentum penting ledakan politik.
ADVERTISEMENT
Ledakan ini sebagai akibat dari konflik internal Pekatan Harapan PKR vs Partai Bersatu dan konflik internal PKR. Konflik pertama menggambarkan pertentangan antara kelompok Reformis yang menegaskan Mahathir segera mundur dan diserahkan ke Anwar dengan kelompok Status Quo yang tetap mendukung Mahathir hingga garis finish. Konflik kedua, antara Anwar Ibrahim dengan wakilnya di partai yang juga menjabat sebagai Menteri Keuangan yang pernah dipecat karena kasus video mesum.
Pertentangan internal ini mempengaruhi soliditas pemerintahan koalisi Pekatan Harapan. Jika dibiarkan, maka bisa diperkirakan Pemilu 2023 Pekatan Harapan tidak akan mampu memenangkan kembali Pemilu. Apalagi, Pemilu Sela di lima wilayah ternyata dimenangkan oleh oposisi. Manuver harus dilakukan. Mahathir, memenuhi janjinya meletakkan jabatan sebagai PM Malaysia. Surat pengajuan Mahathir disetujui oleh Yang Dipertuan Agung, akan tetapi untuk menghindari terjadinya kekosongan, maka Yang Dipertuan Agung menugaskan Mahathir sebagai PM Interim atau caretaker PM hingga terbentuknya pemerintahan baru.
ADVERTISEMENT

Skenario Masa PM Interim

Ada beberapa langkah politik yang mungkin bisa terjadi selama Mahathir melaksanakan tugas sebagai PM Interim, antara lain:
1. Pembubaran koalisi Pekatan Harapan karena sudah tidak solid dan mengganti dengan koalisi baru. Langkah ini sudah dilakukan dengan cara Mahathir mundur sebagai Ketua Partai Bersatu dan Partai Bersatu juga mundur dari koalisi. Skema pembentukan koalisi baru terdiri dari Partai Bersatu, UMNO, PAS, dan beberapa partai lainnya tanpa PKR. Skema koalisi baru ini, tentu dengan PM baru.
2. Penunjuk Anwar Ibrahim sebagai PM baru, sesuai dengan janjinya. Langkah ini belum nampak tanda-tandanya. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mekanisme penetapan Anwar sebagai PM. Cara pertama, ialah melalui voting di parlemen. Anwar harus memperoleh dukungan mayoritas dari 222 anggota parlemen. Bagi Anwar, cara ini riskan dilakukan karena di PKR partainya sendiri sudah terjadi keretakan. Disamping itu, Partai Bersatu pun diragukan akan memilih Anwar karena mereka tetap menghendaki Mahathir. Cara kedua, dengan kewenangannya sebagai PM Interim, Mahathir sendiri yang menetapkan Anwar sebagai penggantinya. Cara ketiga, ialah melalui kewenangan dan keputusan dari Yang Dipertuan Agung.
ADVERTISEMENT
3. Menyelenggarakan Pemilu Darurat dalam waktu dekat. Yang DiPertuan Agong Al-Sultan Abdullah Ri'ayatuddin Al-Mustafa Billah Shah bisa memutuskan untuk menggelar Pemilihan Umum Darurat sebagai respons atas pengunduran diri Mahathir. Dia juga bisa memutuskan fraksi mana yang memiliki dukungan mayoritas di Parlemen. Skema ini dengan sendirinya menolak cara pertama yaitu pembentukan koalisi baru Pekatan Nasional.

Sentimen Islam Melayu

Jika dicermati, sejarah panjang politik Malaysia sering diwarnai oleh spirit populisme Islam dan Melayu. Mahathir, saat menjadi PM pertama kali awal tahun 1980 dikenal sebagai seorang pembela Melayu. Boleh disebut, Mahathir adalah seorang Nasionalis Etnik yang kuat. Karena itu, sepanjang pemerintahannya saat itu, dia menerapkan kebijakan kebijakan yang diarahkan untuk mengangkat derajat Melayu. Sementara, Anwar Ibrahim lebih cenderung mengedepankan untuk membangun Malaysia yang lebih terbuka, sebuah negeri multi etnik. Tidak boleh ada supremasi etnis dan bahkan agama di Malaysia.
ADVERTISEMENT
Hasil pemilu 2018 dan terbentuknya pemerintahan koalisi Pekatan Harapan sebetulnya sudah menggambarkan sebuah pemerintahan yang inklusif, meskipun dipimpin oleh Mahathir. Namun, spirit populisme ini tak terkubur. Bergabungnya PAS dan UMNO saat pemilu 2018 dan kemudian disusul oleh pecahan PKR, memberikan petunjuk kuat arus populisme Islam Melayu masih mendominasi alam pikiran politik Malaysia. Dan Anwar terayun-ayun di antara kecenderungan ini. Jika dia mau lebih pragmatis dan mengubur mimpinya menjadikan Malaysia sebagai negara multi etnik dan budaya dan terbuka seperti Indonesia, maka nasib politik Anwar bisa berbeda. Tapi, Anwar nampak kokoh dengan pendiriannya bahwa demokrasi itu haruslah mengajak dan mengayomi semua golongan, tidak ada populisme Islam dan Melayu.
--
Penulis, associate proffessor FAH UIN Jakarta, pengamat Malaysia dan Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional.
ADVERTISEMENT