Tradisi Nadran dan Munggahan Yang Bertahan Saat Pandemi

Salsabila Delaria Mulyana
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017
Konten dari Pengguna
6 Juni 2020 16:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Salsabila Delaria Mulyana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tradisi Nadran sebelum memasuki bulan suci Ramadan
zoom-in-whitePerbesar
Tradisi Nadran sebelum memasuki bulan suci Ramadan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ramadan bulan ke-9 dalam kalender Islam, adalah bulan yang paling penting dan suci bagi umat Islam. Menurut Al-Quran dalam surah Al-Baqarah: 185, 'Ramadan adalah (bulan) diturunkannya Al Qur'an, sebagai panduan untuk umat manusia, juga tanda yang jelas untuk bimbingan dan penilaian (antara benar dan salah). Selanjutnya, jika salah seorang dari kamu mencapai bulan itu, maka ia harus berpuasa'.
ADVERTISEMENT
Untuk menyambut bulan suci ini banyak masyarakat yang melakukan tradisi di masing-masing daerahnya yang diyakini dapat membawa keberuntungan atau keberkahan lebih seperti yang dilakukan oleh masyarakat Sunda daerah Bandung dan sekitarnya yaitu tradisi ‘nadran’ yang dilakukan sebelum dan sesudah memasuki bulan Ramadan. Biasanya nadran dilakukan oleh umat Islam suku Sunda pada saat munggahan yaitu untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan yang dilakukan pada akhir bulan Sya'ban (satu atau dua hari menjelang bulan Ramadhan) dan di akhir bulan Ramadan atau saat hari lebaran Idul Fitri. Bentuk pelaksanaannya bervariasi, umumnya orang-orang yang tinggal diperantauan menyempatkan waktu untuk pulang kampung agar bisa berkumpul bersama keluarga dan kerabat.
Tradisi nadran dimaksudkan untuk mengirim doa kepada orang tua atau keluarga yang telah tiada. Di daerah Cirebon, nadran adalah upacara adat para nelayan di pesisir pantai utara Jawa yang bertujuan untuk mensyukuri hasil tangkapan ikan, mengaharap peningkatan hasil pada tahun mendatang dan berdoa agar tidak mendapat aral melintang dalam mencari nafkah di laut. Sedangkan di daerah Bandung, nadran dilakukan dengan cara berziarah kubur atau dikenal dengan istilah ‘nyekar’ yaitu mengirim doa dengan mendatangi makam secara langsung. Selain untuk mengirim doa, tradisi ini juga dimanfaatkan untuk merawat dan membersihkan makam sambil menaburkan bunga serta wewangian di sekitar makam.
ADVERTISEMENT
Menjelang Ramadan membuat kunjungan ke tempat pemakaman umum meningkat dua kali lipat. Jika pada hari biasanya pemakaman umum tampak sepi dari peziarah, kini justru dipadati oleh peziarah yang datang dari dalam maupun luar kota. Namun tidak untuk tahun ini. Mewabahnya pandemik Covid-19 membuat masyarakat sekitar khususnya peziarah yang ingin melakukan tradisi nadran di makam keluarganya harus menahan bahkan mengurungkan niatnya. Pasalnya terdapat beberapa pemakaman umum yang membatasi jumlah peziarah setiap harinya. Bahkan ada pula pemakaman umum yang terpaksa ditutup karena di khususkan untuk menjadi pemakaman para mayat yang meninggal akibat Covid-19. Tidak hanya para peziarah yang merasa kecewa akan terjadinya kondisi saat ini, para penjual bunga wewangian untuk menabur di pemakaman pun terkena dampaknya. Omset penjualannya menurun drastis akibat sepinya pengunjung/ peziarah yang datang ke makam sehingga mempengaruhi perekonomian masyarakat sekitar. Walau demikian, masyarakat yang ingin melakukan tradisi nadran namun tidak dapat mendatangi pemakaman bisa tetap melaksanakan tradisi tersebut di rumah masing-masing dengan berkumpul bersama keluarga untuk mendoakan orang tua dan para leluhur yang sudah tiada. Karena doa adalah alat terbaik untuk berkomunikasi dengan Yang Maha Kuasa tanpa terhambat jarak dan waktu, kapanpun dan di mana pun.
ADVERTISEMENT
Setelah melakukan doa bersama dalam tradisi nadran, kegiatan yang dilakukan pada saat munggahan adalah kegiatan makan bersama atau dikenal dengan istilah ‘botram’. Munggahan biasanya dilakukan di tempat terbuka seperti ladang, sawah, pinggir kolam atau balong, kebun, bahkan tempat umum seperti alun-alun atau daerah pegunungan yang mampu untuk menampung banyak orang sekaligus untuk berkumpul mencicipi masakan yang beragam dan menjadi ciri khas daerah tersebut.Masakan tersebut berasal dari hidangan yang diabawa oleh anggota keluarga. Dengan begitu para anggota keluarga bisa saling mencicipi hidangan satu sama lain dan itu adalah salah satu kiat supaya terhindar dari perselisihan. Kegiatan ini dilakukan untuk mempererat tali silaturahmi dan sebagai ajang bermaaf-maafan sebelum memasuki bulan suci Ramadan dengan tujuan membersihkan diri dari segala dosa agar dapat melakukan ibadah dengan lebih baik.
ADVERTISEMENT
Tradisi ini sudah dilakukan secara turun-temurun. Semua anggota keluarga berkumpul dengan suka cita untuk menyambut bulan suci Ramadan. Namun karena kondisi yang mengharuskan diadakannya PSBB akibat mewabahnya pandemi Covid-19, kegiatan munggahan yang sudah lama mendarah daging itu mesti dihindari. Seiring amengikuti anjuran pemerintah kita dihimbau untuk tidak saling berdekatan. Kegiatan sosial dan keagamaan sekalipun mesti dibatasi demi memutus rantai penyebaran virus Covid-19. Saat ini tradisi munggahan hanya dapat dilakukan oleh keluarga yang tinggal serumah di dalam rumah. Walau demikian, kebersamaan melakukan munggahan dengan keluarga besar yang jauh tetap bisa dilakukan yaitu secara virtual melalui telepon video atau videocall. Dengan begitu, tradisi nadran dan munggahan tetap bisa dilakukan secara tatap muka langsung dan bisa saling bermaaf-maafan dengan mengirim doa kepada keluarga besar yang jauh di mata namun dekat di hati.
ADVERTISEMENT
Walau ibadah kali ini terhambat oleh corona namun insyaAllah amal, perbuatan yang kita lakukan untuk menyempurnakan ibadah kita tetap akan tercatat oleh malaikat sehingga kita semua akan terus mendapat keberkahan dalam hidup. Aamiin...