Menolak Kekerasan Atas Nama Agama

Dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Jakarta
Konten dari Pengguna
10 Juni 2018 17:19 WIB
Tulisan dari Roziqin Matlap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Foto ini mungkin mengganggumu, apakah tetap ingin melihat?

Ilustrasi kekerasan (Foto: Pixabay)
Ilustrasi kekerasan (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT

Baru-baru ini, kita dikejutkan dengan aksi kekerasan oleh sejumlah warga terhadap pengikut Jemaah Ahmadiyah. Dilaporkan oleh sejumlah media, Jemaah Ahmadiyah di Lombok Timur diserang oleh massa sebanyak tiga kali, pada Sabtu siang dan malam (19/5/2018) serta Minggu pagi (20/5/2018).

ADVERTISEMENT

Menurut Tim Advokasi, yang terdiri dari YLBHI, LBH GP Ansor, dan PB JAI, hampir sebulan setelah penyerangan, Polres Lombok Timur dan Polda NTB, belum menangkap pelaku maupun mengungkap pelaku penyerangan itu.

Penyerangan yang dilakukan sebanyak tiga kali itu mengakibatkan sembilan rumah rusak, empat sepeda motor hancur, serta sebanyak 24 orang harus dievakuasi ke Kantor Polres Lombok Timur. Sudah ada 4 orang terduga penyerang yang dilaporkan ke polisi.

Ironisnya, berdasarkan temuan Tim Advokasi saat berkunjung ke daerah Lombok Timur pada tanggal 26 Mei 2018, terdapat oknum aparat negara yang terlibat dalam kasus perusakan itu. Selain itu, mereka juga menemukan lemahnya tindakan perlindungan dan penegakkan hukum.

Kekerasan terhadap Jemaat Ahmadaiyah sudah terjadi yang kesekian kalinya. Dalam skala lebih luas, berdasarkan catatan Kontras, sepanjang tahun 2017 telah terjadi 75 peristiwa kekerasan berdimensi agama.

ADVERTISEMENT

Sementara tahun 2018 ini, menurutnya, peristiwa kekerasan, intimidasi, dan persekusi berdimensi agama serta keyakinan, atau singkatnya disebut kekerasan atan nama agama, berpotensi terus berulang karena tahun ini adalah tahun politik.

Kekerasan atas nama agama sebelumnya adalah aksi terorisme yang mengguncang Surabaya dan daerah lain belum lama ini. Mengapa Kekerasan atas nama agama terus terjadi?

Kekerasan atas Nama Agama

Jika kita kembali ke doktrin keagamaan, semua agama yang ada di muka bumi ini pada dasarnya mengajarkan kebaikan dan kedamaian hidup manusia. Buddha mengajarkan kesederhanaan, Kristen mengajarkan cinta kasih, Konfusianisme mengajarkan kebijaksanaan, dan Islam mengajarkan kasih sayang bagi seluruh alam.

Demikian juga agama lain. Namun demikian, fakta yang terjadi seringkali tidak sejalan dengan teori yang ada.

ADVERTISEMENT

Mengutip Imdadun Rahmat (2005), agama sebagai suatu sistem yang sudah terorganisasi ternyata disadari atau tidak telah menjadi salah satu sumber kekerasan akibat penyelewengan ajaran atau kesalahan pemaknaan suatu ajaran agama atau keyakinan oleh pemeluknya.

Dalam konteks Islam, kekerasan atas nama agama seringkali terjadi karena pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Quran dan Hadits secara harfiah. Pemahaman tersebut dengan mengabaikan dali-dalil tentang keharusan mengasihi sesama, dakwah yang bijak, dan pentingnya akhlakuk karimah.

Indonesia Negara Hukum

UUD 1945 sudah menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Berbagai konvensi seperti Universal Declaration of Human Rights, International Covenant on Civil and Political Rights, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, Konvensi Internasional tentang Penghapusan semua bentuk Diskrminasi Rasial, serta sejumlah konvensi lain, telah menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk tidak didiskriminasikan berdasarkan alasan apapun baik itu ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik, atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan bangsa atau sosial, harta milik, status kelahiran dan status lainnya.

ADVERTISEMENT

Dengan demikian, perbedaan agama atau pemikiran tentang agama juga tidak berhak menjadi alasan diskriminasi, pendiskreditan ataupun perlakuan buruk oleh dari satu kelompok ke kelompok lain yang berbeda.

Dalam negara hukum, setiap orang berhak atas kebebasan dalam beragama, termasuk kebebasan menyatakan agama, atau kepercayaannya, dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadah dan menepatinya baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum maupun tersendiri.

Tindak kekerasan atas nama agama terhadap kelompok yang mempunyai pandangan yang berbeda dan bukan arus utama, atau perlakuan buruk terhadap orang yang berbeda agama, tentu membuat masyarakat merasa tidak aman.

Padahal setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga kehormatan, martabat dan hak miliknya, serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

ADVERTISEMENT

Maraknya tindak kekerasan atas nama agama hakikatnya pelecehan terhadap konsep negara hukum yang berlaku. Hukum yang tidak ditaati akan kehilangan kewibawannya, yang berakibat kekuasaan pemerintah atau negara sendiri menjadi lemah, karena kepercayaannya digerogoti.

Dalam negara hukum, hanya negara (melalui aparatnya) yang berhak melakukan kekerasan (dapat dianggap sebagai alasan pembenar). Tentunya harus dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan.

Tindakan kekerasan oleh orang pribadi atau kelompok tidak dapat dibenarkan secara hukum, dengan alasan apapun, termasuk dengan dalih atas nama agama, atas nama perintah Tuhan dan sebagainya. Sebab, bila hal itu dibiarkan, akan memicu anarki di negeri ini.

Lalu Bagaimana?

Upaya pascakonflik perlu menjadi perhatian semua pihak. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial telah mengamanatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk melakukan upaya pemulihan pascakonflik secara terencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur dengan cara rekonsiliasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi.

ADVERTISEMENT

Termasuk di dalam upaya tersebut antara lain adalah pemberian restitusi, pemulihan psikologis korban konflik dan pelindungan kelompok rentan, pemulihan kondisi sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketertiban, serta perbaikan dan pemulihan tempat ibadah

Untuk mengatasi kekerasan atas nama agama, menurut penulis Pemerintah seharusnya menjamin hak-hak kebebasan dasar setiap warga negara Indonesia tanpa kecuali, menunjukkan komitmen tinggi untuk mewujudkan kesetaraan tiap-tiap warga negara di muka hukum, menolak tegas sikap-sikap dan perilaku intoleransi dan segala bentuk kekerasan, serta menegakkan hukum atas siapapun yang bersalah tanpa pandang bulu.

Selain itu, tokoh-tokoh agama sebaiknya mengembangkan semangat kebangsaan. Mereka harus bersama menentang setiap aksi kekerasan atas nama agama. Tidak boleh ada pembenaran apapun, terutama dari sisi doktrin dan teologi agama, terhadap setiap tindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama. Tokoh agama juga perlu menumbuhkan terus menerus semangat toleransi dan perdamaian dalam menghadapi perbedaan apapun dalam aspek keagamaan.

ADVERTISEMENT

Dengan berdasarkan pada teori Friedman mengenai sistem hukum, maka untuk mencegah, mengurangi dan menghilangkan kekerasan atas nama agama, setidaknya perlu dilakukan berbagai hal seperti berikut.

Pertama, mewujudkan pemerintahan dan penegak hukum yang benar-benar konsisten dalam menegakkan hukum sehingga mempunyai wibawa dan dipercaya dalam menyelesaikan segala permasalahan hukum di masyarakat.

Kedua, membuat peraturan perundang-undangan yang tidak diskriminatif terhadap segala golongan, termasuk golongan agama dan kepercayaan tertentu, serta memberikan kepastian hukum terhadap keberadaan mereka.

Ketiga, mewujudkan budaya hukum masyarakat yang anti kekerasan, dengan kampanye terus menerus tentang anti kekerasan dan menganjurkan agar setiap permasalahan diselesaikan dengan mekanisme hukum yang berlaku.

Mari akhiri kekerasan atas nama agama!

Roziqin, SH, M.Si, CLA

ADVERTISEMENT

Penulis adalah dosen hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) dan peneliti LBH Ansor.

Trending di Opini & Cerita