Smart Mobility, Apanya yang Smart?

Renan Hafsar
Investigator Keselamatan Transportasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Republik Indonesia
Konten dari Pengguna
14 Oktober 2020 19:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Renan Hafsar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, konsep transportasi cerdas (smart mobility) pertama kali muncul dalam konsep Ibu Kota Negara (IKN) yang sedianya direncanakan di Kalimantan. Smart mobility menjadi salah satu komponen dasar pembangunan kota cerdas berkelanjutan (sustainable and smart city) yang digadang-gadang berkelas dunia.
ADVERTISEMENT
Definisi kota cerdas (smart city) tidak rigid. Suatu kota dapat dianggap sebagai smart city ketika kota tersebut memiliki infrastruktur fisik dan digital, pelayanan yang berpusat pada kebutuhan warga, keterbukaan akan suatu model, dan transparansi kinerja pemerintah (Nuzir dan Saifuddin 2015). Smart city dapat diarahkan ke sektor kehidupan masyarakat (livelihood), perlindungan lingkungan (environmental protection), keamanan publik (public security), pelayanan publik (public services) atau hal lainnya tergantung arah kebijakan pembangunan (Su, Li, dan Fu 2011).
Konsep kota cerdas (smart city) di Indonesia pertama kali diinisiasi oleh Pakar dari ITB, Suhono S. Supangkat. Beliau mendefinisikan smart city sebagai kota yang paling cepat dan akurat memberikan solusi kepada warganya.
Ilustrasi smart mobility. Foto: Intelligent transport
Beberapa ciri khas yang dilabeli sebagai ikon smart mobility mudah ditemukan di berbagai transportasi publik. Konsep pelabuhan cerdas (smart port), salah satunya. Smart port diharapkan mampu menjawab masalah bongkar-muat di pelabuhan (dwelling time).
ADVERTISEMENT
Pada saat yang sama, Pemerintah Pusat juga tengah menggalakkan penerapan tiket elektronik (e-ticket). Dengan adanya sistem ini, penumpang akan terdaftar dalam manifest elektronik, tidak lagi mengandalkan pencatatan manual menggunakan kertas dan pena. Lebih dari itu, pengguna jasa dapat membelinya di gerai-gerai minimarket, kantor Pos, ATM, atau melalui internet banking.
Senada dengan itu, Pemerintah Pusat pun menggandeng Selandia Baru untuk menerapkan bandar udara cerdas (smart airport). Menariknya, robot akan dilibatkan untuk mempermudah petugas menjalankan tugas keselamatan dan keamanan di sektor penerbangan.
Belakangan, moda transportasi darat juga menerapkan kartu cerdas (smart card) untuk uji kir. Dengan cara ini, tidak ada lagi penggunaan buku uji kir. Semuanya tercatat di basis data (data base) Dinas Perhubungan setempat. Hasil pengujian berupa kode QR (QR code) pun diterapkan untuk mengubah kebiasaan penggunaan stiker bertuliskan tangan.
ADVERTISEMENT

Mendefinisikan Kembali Konsep Smart

Ketika mendengar kata smart, setiap orang pasti memiliki definisi yang beragam. Ada mengatakan smart adalah ketika menerapkan aplikasi canggih yang bisa diperintah lewat suara, bisa diakses di mana dan kapan saja, serta mampu menghasilkan laporan berkala secara otomatis. Bahkan, diharapkan sistem juga mampu melakukan analisis data skala besar (big data) untuk menjalankan kecerdasan buatan (artificial intelligent/AI).
Sebagian lagi mungkin akan berpendapat bahwa konsep smart menitikberatkan pada kemampuan pengguna aplikasi (user based approach). Dalam hal pelayanan transportasi, user adalah para pengguna jasa transportasi. Dengan demikian, sistem smart secara tidak langsung mengedukasi penggunanya. Akan tetapi, yang juga terpenting adalah bahwa sistem harus bersifat mudah digunakan (user friendly).
Pendapat yang juga patut dipertimbangkan adalah konsep smart service memprioritaskan admin dalam mengelola sistem. Pada model ini, sistem dibuat mengikuti kebutuhan admin, yang mana mereka adalah pelayan publik (Aparatur Sipil Negara/ASN). Pendapat ini juga benar karena secanggih apapun suatu aplikasi komputer, tetap membutuhkan campur tangan manusia yang melakukan proses data dan pemeliharaan sistem.
ADVERTISEMENT
Sampai di sini, terlihat bahwa sebenarnya konsep smart service dapat memiliki percabangan yang luar biasa berbeda. Masing2 masing konsep akan memiliki konsekuensi yang berbeda, terhadap ketiga subjek pokoknya, yaitu organisasi, masyarakat, dan (Nam dan Pardo 2011). Dari sejumlah model penerapan smart mobility yang diterapkan Pemerintah Pusat dan Daerah, sebagian besar menempatkan smart mobility sebagai aplikasi cerdas (smart application) semata. Jika hal ini tidak dibenahi, yang terjadi adalah Pemerintah seolah berhasil menjawab kebutuhan masyarakat; tapi masyarakat kecewa karena teknologi yang dikembangkan tidak menjawab kebutuhan mereka.
Konsep smart mobility pada dasarnya adalah penggunaan teknologi informasi untuk menjawab masalah transportasi. Permasalahan klasik dalam transportasi —kemacetan, polusi, konektivitas, kualitas infrastruktur jalan— diharapkan akan terjawab dengan tepat dan cepat. Kunci utama dalam menjawab permasalahan tersebut adalah dengan pelibatan masyarakat sebagai pemilik kota (Renata, Dameri, dan D’Auria 2015). Jadi, konsep ini sebenarnya kuno, yang mana pemerintah kota adalah pelayan warga, tapi hanya berbeda dalam penggunaan alat bantu berupa internet dan aplikasi sebagai jembatannya.
ADVERTISEMENT

Salah Kaprah Smart Mobility

Jika kita telaah mendalam penerapan konsep smart mobility yang menjadi bagian dari smart city di beberapa kota di Indonesia, terlihat bahwa konsep tersebut tidak secara utuh diterapkan. Pada umumnya, smart mobility terlihat bersifat satu arah yang mana pemerintah sebagai penyedia aplikasi, masyarakat sebagai pengguna aplikasi. Aplikasi dimaksud belum mewadahi kebutuhan umpan balik (feedback) atas pelayanan yang diberikan. Padahal, kembali kepada konsep smart mobility di dalam keluarga smart city, masyarakat berperan sebagai co-creation, sedangkan pemerintah hanya berperan sebagai collaborator. Peran aktif masyarakat sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan pengambilan kebijakan serta evaluasi pelayanan (Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional 2018).
Transformasi Pemerintah. Gambar: Wantiknas
Penerapan smart mobility terlihat sama bermasalahnya dengan penerapan smart city. Di banyak kabupaten/kota, ketika suatu pemerintah menjawab suatu permasalahan dengan mencoba gagasan baru, seringkali yang muncul adalah ide internet gratis, baik berupa subsidi kuota atau hot spot Wi-Fi. Masalah berikutnya pun muncul. Tanpa ada campur tangan pemerintah, akses internet cenderung digunakan tanpa kontrol dan tidak menutup kemungkinan untuk penggunaan negatif. Kaum Milenial yang haus koneksi internet sangat membutuhkan koneksi internet, tapi jika digunakan pada hal kontraproduktif, justru hal ini menjadi masalah baru. Hal ini yang belum ditangkap oleh Pemerintah sebagai penyedia layanan.
ADVERTISEMENT
Penerapan e-ticketing di penyeberangan antarpulau bukannya tanpa masalah. Pada dasarnya, ada dua tujuan besar yang ingin dicapai oleh sistem ini, yaitu pencatatan penumpang secara cepat dan waktu nyata, serta transparansi penjualan tiket untuk mencegah kebocoran pemasukan negara. Dari pemantauan di lapangan, Komite Nasional Keselamatan Transportasi mendapati bahwa tujuan e-ticketing hanya tercapai pada alat bantu rekapitulasi penjualan tiket saja. Betapa tidak, penumpang yang akan masuk ke kapal tidak diketahui masuk ke kapal yang mana karena alat dispenser yang ditempatkan menjelang naik ke kapal sudah lama rusak. Praktis, petugas di lapangan kembali menerapkan petugas. Dari mesin, kembali lagi ke manusia.
Pendataan penumpang yang naik ke kapal justru lebih parah. Sejak membeli tiket penyeberangan, mereka tidak tercatat namanya. Kalaupun dicatat, hanya pengemudi saja. Ketika kecelakaan terjadi, keluarga penumpang inilah yang seringkali memusingkan pemerintah karena tidak ada yang tahu di mana sebenarnya anggota keluarga mereka sebenarnya, apakah berada di kapal yang kecelakaan atau di kapal lain.
ADVERTISEMENT
Penerapan smart seaport juga terlihat masih kurang tepat dalam kaitannya dengan definisi smart mobility. Smart seaport idealnya mampu mewadahi keluhan-keluhan para sopir truk yang sering kali harus menginap berhari-hari demi mendapatkan kepastian giliran bongkar muat peti kemas. Keterbukaan informasi mengenai sampai di mana dokumen dan barang sedang diproses menjadi kebutuhan mutlak. Tentunya, pelaporan pungutan liar dengan perlindungan pada whistle blower juga harus dimasukkan ke dalam fitur tersebut. Dua hal tersebut itulah yang sejatinya menjadi keluhan utama yang membuat biaya logistik masih berkisar pada angka 24%, sehingga tidak kompetitif dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara.
Sedikit berbeda dengan smart seaport, smart airport sebenarnya selama dekade terakhir sudah cukup baik. Pendataan penumpang mulai dari pembelian tiket hingga daftar manifest terdata dengan baik. Yang perlu diperdalam adalah pelibatan masyarakat sebagai pengguna jasa. Cuitan, postingan, dan celotehan warga terhadap pelayanan publik sejatinya yang perlu mendapatkan penekanan lebih dalam. Hal ini akan lebih bermanfaat dibandingkan penggunaan robot untuk mendeteksi senjata dan bahan peledak, kecuali memang para penumpang lebih suka berinteraksi dengan robot pemusnah ketika check-in di bandara.
ADVERTISEMENT
Terkadang, ide-ide kebijakan “smart” tidak sepenuhnya dapat diterapkan. Smart card pada pengujian kir kendaraan pengangkut barang, misalnya, gagal diterapkan. Saat ini, marak ditemukan smart card palsu. Tampilannya memang mirip dengan smart card asli, tapi tidak dapat menampilkan data di basis data. Satu alasan besar mengapa terjadi hal seperti ini adalah karena konsep ini terbatas di lokasi pengujian saja. Konsep smart card masih belum memikirkan tentang bagaimana validasi smart card dilakukan di jalan raya secara cepat sebagaimana dilakukan banyak negara maju.

Kendala Sinkronisasi Kebijakan Pembangunan

Konsep smart mobility juga diperparah oleh penerapan desentralisasi yang terkadang berpotensi saling menghambat. Semenjak adanya Undang-Undang No. 23 Nomor 2014 tentang Pemerintahan Daerah, masing-masing pemerintah daerah didorong untuk memberikan pelayanan terbaiknya kepada masyarakat. Namun demikian, teks pada Undang-Undang tersebut juga menyebutkan frase “peran serta masyarakat” yang seringkali terabaikan.
ADVERTISEMENT
Permasalahan penerapan smart mobility juga didukung oleh pemahaman yang tidak utuh mengenai kaitan jaringan kota pintar (smart city network/SCN) dan desentralisasi. Yang terjadi saat ini, Kota A membuat transportasi jenis X; Kota B mengembangkan jenis Y; Kota C menggunakan jenis Z. Meskipun ketiga kota tersebut saling bersebelahan, tapi konektivitas menjadi permasalahan baru. Malah, kadang masalah ini juga antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam tataran praktis, konsep ketiga kota ini saling membunuh satu sama lain dan menyisakan masyarakat sebagai korban ego sektoral. Sebagai contoh, stasiun kereta yang dibangun saling berjauhan dengan halte bus. Contoh lain, LRT yang dibangun tidak menjawab kebutuhan mobilitas warga, sehingga LRT hanya dipakai tamasya warga di akhir pekan, bukannya sebagai alat transportasi sebagaimana dipresentasikan ketika awal rencana pembangunannya.
ADVERTISEMENT
Masalah smart mobility ini tidak akan pernah selesai sebelum pemegang kunci pembangunan smart city duduk bersama. Mereka terdiri dari Bappenas, Wantiknas Kemendagri, dan Kemenkominfo. Harus ada suatu peta jalan (road map) untuk kebijakan arah pembangunan kota-kota di Indonesia selama jangka waktu menengah dan panjang. Penjelasan arah kebijakan pembangunan harus juga ditopang dengan alat ukur yang seragam. Jika memang suatu daerah belum mampu menjalankan konsep ini karena faktor SDM ASN atau warga yang belum siap, tidak perlu dipaksakan. Tapi, daerah-daerah seperti itu juga tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Harus ada pendekatan lain untuk membantu daerah-daerah tertinggal tersebut agar terus bergerak maju.