Ketika Ilmuwan Melawan Keteraturan

Riko Noviantoro
Pembaca buku dan pecinta kegiatan luar ruang. Bekerja sebagai peneliti kebijakan publik di Intitute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP)
Konten dari Pengguna
23 Juli 2021 10:02 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Riko Noviantoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dosen Pria. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dosen Pria. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Cukup relevan pemikiran Thomas Hobbes untuk melihat fenomena kekinian. Pemikiran filsuf asal Inggris dalam bukunya ‘Leviathan’ ini mencerminkan kegelisahan diri melihat hasrat manusia yang luar biasa. Hasrat manusia yang cenderung melawan keteraturan. Demi memenuhi kepuasan individual secara optimum.
ADVERTISEMENT
Cukup mudah menangkap contoh dari pemikirannya itu. Fenomena melawan keteraturan mencuat di mana-mana. Bahkan kaum terdidik kampus pun melawan keteraturan yang diciptakannya. Kasus pelanggaran statuta perguruan tinggi adalah bukti melawan keteraturan.
Padahal statuta didudukan sebagai hukum tertinggi dalam tata kelola kampus. Statuta juga perwujudan hati nurani warga kampus. Sejatinya dijunjung tinggi. Hal itulah yang ditegaskan dalam UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Faktanya perlawanan terhadap statuta, nyaris tanpa henti. Contohnya sebuah kampus di Jakarta Barat yang secara terang melangkahi statuta kampusnya. Hingga merusak tatanan yang telah terbangun.
Kasus lain adalah sembrononya Rektor UI yang tergoda melawan keteraturan dalam statuta. Hingga menjadi pergunjingan jagad media maya. Inilah potret dekat tentang sikap ilmuwan melawan keteraturan.
ADVERTISEMENT
Statuta sebagai Hati Nurani Warga Kampus
Pemaknaan statuta sebagai hati nurani warga kampus bukanlah tanpa argumentasi. Mulai dari UU Pendidikan Tinggi, PP tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi hingga Permenristekdikti tentang Pedoman Tata Cara Penyusunan Statuta Perguruan Tinggi Swasta, telah memberikan isyarat tersebut.
Sebagai contoh saja Permenristekdikti No. 16 tahun 2018 yang menyebutkan entitas kampus yang wajib terlibat dalam menyusun statuta. Hal demikian tertuang pada Pasal 2, Ayat (1) yang dijelaskan dalam lampiran bahwa penyusunan statuta melibatkan tiga unsur, yakni; a) wakil pimpinan, dosen, dan tenaga kependidikan; b) wakil unsur senat kampus; dan c) wakil unsur badan penyelenggara.
Dari penjelasan pasal dimaksudkan cukup benderang memahaminya, statuta sungguh sebagai hati nurani warga kampus. Bagaimana tidak? Perwakilan entitas kampus bekerja keras menuangkan pemikiran dan gagasan untuk memproyeksikan arah perjalanan kampus. Menentukan visi-misi, membuat strategi serta menyusun rencana tindakan dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Semua itu bukanlah pekerjaan mudah dan sederhana. Membukukan semua pemikiran dengan melihat peluang dan tantangan di masa depan. Maka sangat tepat statuta yang sah digunakan sebagai pedoman tata kelola kampus.
Mencederai Etika dan Profesionalisme
Sungguh fenomena di atas menunjukan sebuah kecelakaan serius. Merendahkan statuta yang dilakukan secara berjemaah kalangan Ilmuwan, menjadi cermin perlawanan terhadap nalar ilmiah.
Bukankah ilmuwan selalu teguh pada metode ilmiah. Sebagai sebuah upaya memecahkan masalah yang bertanggung jawab. Lihat saja sistmatika setiap laporan ilmiah. Di mana selalu bermula dari latar belakang, mengenali masalah, menemukan rujukan ilmiah, menetapkan metodologinya, melakukan pembahasan dan diakhiri simpulan atas permasalahan.
Rangkaian itu dibuat sedemikian baku dari jenjang diploma, sarjana sampai doktor. Tidak ada yang menggugatnya. Bahkan melawan sistimatika tersebut. Lebih jauh dari itu menghormati dan mengembangkan dalam penelitian berikutnya. Itu bukti ilmuwan menghormati keteraturan. Bukan sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Tidak itu saja sebagai kaum berpengetahuan dan menyandang profesi pendidik, terikat dalam kewajiban dan etika dosen. Hal mana tertuang pada Pasal 60, Huruf (e) UU No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang menegaskan dosen wajib patuh pada peraturan perundangan-undangan, hukum dan kode etik.
Tentu saja perlawanan terhadap statuta kampus adalah wujud perlawanan terhadap hukum yang dimaksud dalam pasal di atas. Dengan demikian sudah menjadi jelas, tidaklah pantas ditoleransi bagi kampus dan ilmuwan yang merendahkan statuta. Berikan sanksi sebagaimana pula tertuang pada Pasal 78, Ayat (3) UU No.14 tahun 2005, karena melawan hukum adalah melawan hati nurani rakyat.
**Penulis adalah peneliti kebijakan publik IDP-LP