Kisah Ashish Thakkar: Bocah Pengungsi yang Kini Jadi Bos Afrika

Konten dari Pengguna
14 September 2020 13:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Profil Orang Sukses tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ashish Thakkar (Foto: African Business Magazine)
zoom-in-whitePerbesar
Ashish Thakkar (Foto: African Business Magazine)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Banyak cara yang dilakukan orang-orang untuk menjadi sukses. Seringkali, kekayaan tiba melalui jalan yang tidak diduga-duga. Selain tentunya harus dibarengi dengan usaha keras untuk mencapainya.
ADVERTISEMENT
Lihat saja Ashish Thakkar (32), bos perusahaan Mara Group, yang berbasis di Rwanda, Afrika. Ia merupakan pemilik dari puluhan sektor bisnis, mulai dari properti, asuransi, IT, infrastruktur, telekomunikasi, hingga perhotelan. Ia menjadi salah satu orang paling kaya di Afrika.
Karena kehebatannya itulah, Ashish banyak menyabet penghargaan ekonomi dari berbagai lembaga. Majalah Fortune pernah memasukan namanya ke dalam daftar "40 Under 40" pada 2013. Belum lagi penghargaan bergelar Middle East Man of The Year 2016 dari Esquire.
Namun, di balik kesuksesan seorang Ashish Thakkar, tersimpan kisah pilu yang tak akan pernah dilupakan. Ashish Thakkar tak serta merta lahir dengan kondisi yang sekarang. Ia telah melalui proses panjang yang sangat berat.
Diusir Oleh Berbagai Negara
ADVERTISEMENT
Kehidupan masa kecil Ashish Thakkar tidak seindah bocah-bocah lainnya. Pada saat usianya baru menginjak 12 tahun, ia mesti melarikan diri dari teror genosida (pembunuhan massal) di Rwanda pada 1994 silam. Ia menjadi pengungsi bersama 1.200 orang lainnya hingga akhirnya bisa meninggalkan negara itu.
Meski selamat dari kejaran teror pemerintah, keluarga Ashish mengalami kerugian. Kedua orang tua Ashish harus merelakan harta benda dan tabungannya tertinggal di Rwanda. Mereka akhirnya terbang menuju Uganda.
Buat kedua orang tua Ashish, ini bukan pertama kalinya terjadi. Pada 1972 silam, keluarga Ashish Thakkar juga pernah diusir dari Uganda. Hal itu karena pemerintah Uganda saat itu tak menginginkan orang luar Afrika tinggal di negaranya.
Karena menjadi orang yang terusir, histori perjalanan hidup keluarga Ashish Thakkar begitu menarik. Mereka merupakan keluarga berdarah India. Namun, pada 1890an, nenek moyang Ashish pindah ke Uganda.
ADVERTISEMENT
Berpuluh tahun lamanya mereka tinggal di sana, mereka harus diusir dari Uganda karena Idi Amin, penguasa Uganda saat itu, mau "membersihkan" Uganda dari para orang Asia. Akhirnya keluarga Ashish pun hijrah ke Inggris pada 1972. Di sanalah Ashish lahir, tepatnya di kota Leicester.
Lumayan lama di Inggris, keluarga Ashish memutuskan untuk kembali ke Afrika. Mereka kemudian pindah ke Rwanda hingga akhirnya terusir lagi karena genosida pada 1994. Mereka kembali ke Uganda saat itu hingga akhirnya pemerintahan mulai membaik.
Berani Ambil Risiko
Ashish Thakkar bukanlah seseorang yang diberi keistimewaan. Ia tidak lahir dari keluarga super kaya yang bisa memberi modal usaha kepadanya. Ashish harus serba mengambil keputusan yang seringnya punya risiko tinggi.
ADVERTISEMENT
Contoh, pada usia 15 tahun, seorang bocah semestinya berangkat ke sekolah atau bermain. Namun, hal itu tak terjadi dalam hidup seorang Ashish. Saat usianya 15 tahun, Ashish malah memutuskan drop out. Alasannya karena ingin fokus berbisnis.
Upaya Ashish tampak semakin serius saat ternyata ia mendapat pinjaman sebesar 5.000 dolar AS untuk mengembangkan bisnisnya. Ia memulainya dengan membuka outlet IT kecil-kecilan di sebuah mall. Adapun barang yang dijual diimpor langsung dari Dubai.
Usahanya tak hanya mendulang keuntungan, Ashish jadi tahu betul dunia bisnis. Pengalamannya membuka outlet kecil dan pengalamannya dalam hal impor memancing Ashish untuk melebarkan sayapnya.
Hasilnya, Ashish banyak membuka ladang bisnis di berbagai sektor. Ia juga punya banyak perusahaan, baik yang ia dirikan sendiri hingga melalui kemitraan.
ADVERTISEMENT
Ashish punya perusahaan Mara Group yang melanjutkan usaha impornya hingga kini. Mara Group bahkan punya kantor di Dubai meski tetap bergerak di Afrika.
Selain itu, ia juga punya Atlas Mara yang ia dirikan bersama Bob Diamond, bos Bank Barclays, yang bergerak di bidang investasi jasa keuangan. Terakhir, ia punya Mara Foundation yang berkomitmen pada pembiayaan dan pembinaan para pengusaha muda.