Menilik Guru dan Orang Tua “Ruh” di Masa Pandemi

Suzan Lesmana
Pranata Humas, ASN BRIN, ASNation
Konten dari Pengguna
25 November 2020 13:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suzan Lesmana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
KH. Hasbiallah Hasyim, Guru Agama dan Pimpinan Ma'had Al Arba'in Bojonggede, Kab. Bogor. Sumber: Ma'had Al Arba'in Bojonggede.
zoom-in-whitePerbesar
KH. Hasbiallah Hasyim, Guru Agama dan Pimpinan Ma'had Al Arba'in Bojonggede, Kab. Bogor. Sumber: Ma'had Al Arba'in Bojonggede.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Meski bukan tanggal merah, Hari Guru Nasional selalu kita peringati setiap tanggal 25 November. Penetapannya pun melalui Keputusan Presiden Nomor 78 tahun 1994. Tak heran karena guru memiliki peran yang sangat krusial dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, dalam membentuk dan mencetak generasi masa depan penerus perjuangan bangsa terutama dalam peningkatan kualitas kecerdasan akal dan budi pekerti manusia Indonesia.
ADVERTISEMENT
Betapa sigfikannya peran guru, makanya dalam masyarakat Jawa terkenal ungkapan guru adalah figur yang "digugu lan ditiru" (orang yang dipercaya dan diikuti). Tak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, bahkan lebih dari itu mereka mendidik moral dan spiritual anak muridnya atau menurut Ki Hajar Dewantoro, diistilahkan dengan “cipta, rasa, dan karsa”.
Guru juga dikenal sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Menurut KBBI, Pahlawan adalah “orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran”. Arti tersebut dapat dimaknai luas tidak harus yang sudah wafat, seseorang yang berjasa dan berkorban dalam membebaskan masyarakat dan ummat dari buta huruf atau buta agama pun dapat disebut Pahlawan.
Figur Guru Agama/ Orang Tua Ruh.
Ya, penulis akan menulis dari bingkai lain pada Hari Guru Nasional, yakni guru agama, agak berbeda seperti guru yang banyak ditulis di media massa lainnya. Mereka adalah para guru agama yang bekerja di sektor informal, termasuk para ustadz-ustadzah, kiai, dan guru mengaji.
ADVERTISEMENT
Pada masa pandemi COVID-19 banyak pengajian yang ditutup, berdiam (tawakuf) tidak hanya sementara seperti menjelang bulan Ramadhan, namun tawakuf sampai batas waktu yang belum ditentukan, begitu bunyi spanduk pemberitahuan masjid, mushola dan majelis taklim kala itu. Konsekuensinya pengajian dan majelis taklim tutup, panggilan ceramah dan dakwah pun mengikut.
Imbasnya para guru agama terdampak dalam sisi pendapatan, karena di antara mereka memang mata pencahariannya dan profesinya memang jadi ustadz, atau guru mengaji saja. Padahal mereka adalah manusia biasa juga yang selama ini memberikan ilmunya dengan ikhlas untuk mencerdaskan dan membebaskan anak-anak kita bahkan semua kalangan usia yang buta tidak hanya huruf Hijaiyyah, termasuk buta ilmu agama.
Meskipun bantuan banyak mengalir dari beberapa pihak, mulai yang terpublikasi di media maupun yang sirr (diam-diam), namun bantuan tersebut sifatnya memang sementara. Di sisi lain, pandemi belum tahu kapan ujungnya. Vaksin anti virus masih terus diupayakan para ahli dan ilmuwan tanah air, sebagai ikhtiar mencegah semaksimal mungkin paparan COVID-19. Otomatis, perekonomian mereka pun terganggu. Meski mereka selalu bilang “Ajaban” alias “Ajiib” atas keadaaan mereka yang selau tenang sebagaimana bahasa Hadits, tanpa banyak mengeluh.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya guru agama adalah orang tua ruh bagi kita, sebagaimana maqalah Arab “Lawlal murabbi maa araftu robbi”, yang artinya “Jika bukan karena guru, maka aku tidak akan mengenal Tuhanku (Kitab Hikmatul Isyraq). Dalam kitab Ta’lim al Mutaallim Ta’lîm Tharîq at-Ta’allum karya Imam al-Zarnûji disebutkan, guru yang bertanggung jawab terhadap perkembangan jiwa murid, mengisi dan mendidik otak muridnya dengan pengetahuan yang benar, mengisi hatinya dengan akidah, dan ruhnya dengan akhlakul karimah.
Sedangkan orang tua kandung disebut sebagai murabbi al jasad atau orang tua biologis yang melahirkan anak. Pendek kata, guru adalah orang tua kedua bagi seorang murid karena Guru yang memberi makan ruh sedangkan orang tua yang memberi makan Jasad. Ada pula mertua yang kemudian menjadi orang tua ketiga karena diikat tali pernikahan dengan anaknya. Maka sudah sepatutnya nasib orang tua “ruh” ini kita perhatikan kesejahteraannya khususnya para aghniya’ (orang kaya) dan orang tua murid atau murid-murid yang berkecukupan secara ekonomi.
ADVERTISEMENT
Kisah Syaikh Ali Baros dan Gurunya Al Habib Umar bin Abdurrahman Al Aththas
Ada sebuah kisah masyhur tentang kisah keutamaan seorang guru. yakni kisah Syaikh Ali Baros yang sangat hormat pada gurunya Al Habib Umar Bin Abdurahman Al Aththas (Penyusun Ratib Al Aththos).
Pernah suatu ketika Habib Umar sedang duduk bersama para santrinya dan Syaikh Ali Baros yang juga sedang duduk disamping beliau sambil memijit kaki beliau. Beliau terdiam sesaat dan berkata kepada santri-santrinya, "Kita kedatangan tamu istimewa yakni Nabiyullah Khidir a.s dan sekarang beliau sudah berada di gerbang depan. Maka berhamburanlah semua santrinya menyambut kehadiran Nabi Khidir a.s. kecuali Syaikh Ali Baros.
Habib Umar pun bertanya kepada Syaikh Ali Baros, "Ya Ali, mengapa engkau tidak menyambut Nabi Khidir a.s bersama yang lainnya? Lalu dijawab oleh Syaikh Ali Baros. “Wahai guruku, Nabi Khidir a.s datang menemuimu, lalu untuk apa aku lepaskan tanganku dari kakimu karena kedudukanmu yaitu guru dimataku sebagai murid jauh lebih mulia dibandingkan Nabi Khidir a.s”.
ADVERTISEMENT
Mendengar jawaban dari muridnya seperti itu lalu berucaplah Habib Umar, "Tidak akan kuterima hadiah Fatihah dari siapapun kepadaku kecuali disertai dengan nama Syaikh Ali Baros sebagai bukti keridhaanku kepadanya". Terbukti Syaikh Ali Baros pun menjadi ulama besar dan selalu dibacakan fatehah untuknya mengiringi nama sang guru dalam setiap pengajian. Hal ini karena Syaikh Ali Baros sangat memahami bahwa gurunya adalah Murabbi al Ruh atau orang tua ruh baginya.
Semoga Allah membuka hati kita untuk senantiasa memuliakan dan mendoakan guru sampai akhir hayat kita. Bahkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi disebutkan bahwa sesungguhnya Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, beserta penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang berada dalam sarangnya, demikian pula dengan ikan-ikan, semuanya berdo’a untuk orang-orang yang mengajarkan kebajikan pada manusia (guru). Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal selalu mendoakan dirinya, orangtuanya dan gurunya Imam Syafi’i dalam shalatnya selama empat puluh tahun (al-Baihaqi, Manaqib al-Imam al-Syafi’i).
ADVERTISEMENT
Untuk itu mari kita doakan dan bantu guru agama sekaligus orang tua “Ruh” yang menjadi perantara atau washilah kita dalam mencintai Allah dan Rasulullah, yakni para guru-guru agama kita. Insya Allah keberkahan ilmu, bahagia hidup dunia dan akhirat akan didapat jika hormat dan cinta sama guru karena seseorang akan bersama yang dicintainya di hari akhir nanti. (SL)