Didi Kempot dan Jasanya Bikin "Ambyar" Stigma Boys Don't Cry!

Konten dari Pengguna
10 Mei 2020 11:02 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurul Nur Azizah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Konser Ambyar Didi Kempot/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Konser Ambyar Didi Kempot/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
ADVERTISEMENT
Seorang remaja pria berambut cepak tampak menangis tersedu-sedu. Ia berdiri di barisan paling depan pagar pembatas. Tangannya menyilang sebelah, memeluk pagar dan badannya terayun-ayun mengikuti irama lagu.
Air matanya telah kuyup membasahi pipi, tapi tak Ia hiraukan. Bibirnya bergetar dan tak henti komat-kamit merapalkan syair lagu dengan totalitas penjiwaan khas patah hati. Ati tertojos-tojos rasane!
Pria belasan tahun itu, adalah salah satu potret sobat ambyar yang tersorot di kamera saat konser Didi Kempot yang sedang menyanyikan lagu Kalung Emas pada Oktober 2019 lalu. Video berdurasi 1 menitan itu, menjadi viral di sosial media dan telah ditonton di youtube lebih dari puluhan ribu kali.
Akupun, berani bersaksi betapa kawan-kawanku tak peduli laki ataupun perempuan, juga tua muda, merayakan “ambyar” dan hanyut dalam lantunan tembang campur sari pria bernama asli Dionisius Prasetyo itu, tiap kali Ia tampil. Sad boys dan sad girls, Ambyar! Seambyar-ambyare!
ADVERTISEMENT
Di Jakarta, aku beberapa kali nonton konser Sang Legend yang mulai melakoni karier musik bersama Kelompok Pengamen Trotoar (Kempot) sejak tahun 1980-an itu. Dan jauh dari itu, Didi Kempot dan tembang-tembangnya sebetulnya juga sudah tak asing bagi keseharianku yang lahir dan tumbuh di tengah masyarakat Jawa Timur-an.
Kalau kata Mas Agus Mulyadi (Pimred Mojok), “Didi Kempot bukan penyanyi. Tapi dia adalah nyanyian itu sendiri”. Ya, aku mengamini. Didi Kempot telah menjadi tembang yang mengiringi waktu leyeh-leyeh hingga sakral seperti acara perkawinan dengan musik sound system yang disetel kencang-kencang menembangkan seorang Didi Kempot.
Album Tembang Didi Kempot/kumparan
Seiring waktu, aku tampaknya makin paham. Kalau nyatanya Didi Kempot memang bukan hanya sekadar tembang. Dia bukan hanya iringan-iringan tembang di keseharian. Tapi, diam-diam jadi pemberi nasihat penting bagi kehidupanku, dan semoga banyak orang. Pria kelahiran 31 Desember 1966 itu, adalah sosok pendobrak stigma Boys Don’t Cry di muka bumi.
ADVERTISEMENT
Dalam masyarakat patriarkal, tak hanya melulu kelompok perempuan dan minoritas gender yang tersudutkan. Tapi, juga laki-laki, yang notabene seringkali dinilai dominan: bahwa laki-laki mesti kuat, tak boleh menye-menye, harus maskulin dan enggak boleh nangis.
Tak elak, Boys Don’t Cry pun sering jadi doktrin dalam petuah-petuah emak-bapak ke anak, persekutuan duniawi di sesama sohib tongkrongan, hingga jadi materi kesenian berbentuk lagu-lagu yang seolah jadi kewajaran.
Boy's Don't Cry/kumparan
Superman dalam The Lucky Laki misalnya, anak-anak laki Ahmad Dhani itu, mendengangkan lagu yang baitnya menunjukkan, kalau ayahnya selalu mengatakan, bahwa laki-laki tak boleh nangis. Laki-laki harus selalu kuat, harus selalu tangguh, dan harus bisa jadi tahan banting.
Grup band asal Inggris, The Cure pun melakukan hal serupa melalui lagu berjudul Boys Don’t Cry. Liriknya berbunyi, “Cover it all up with lies. I tried to laugh about it. Hiding the tears in my eyes 'Cause boys don't cry.”
ADVERTISEMENT
Ya, pada lagu-lagu itu, laki-laki digiring enggak boleh nangis, mereka harus berpura-pura kuat atau menyembunyikan kelemahan.
Laki-laki harus kuat dan tangguh, katanya. foto: kumparan
Betapa banyak juga kita temui dalam keseharian di sekitar, bahwa laki-laki dengan berbagai peran dan dari kalangan manapun, menanggung stigma Boys Don't Cry ini.
Hanya karena Ia seorang remaja pria, lantas tak diperkenankan cengeng, karena dianggap cemen oleh bolo-bolonya. Ayah yang menanggung label “tulang punggung dan kepala” keluarga, kemudian dipaksa sosial harus selalu tampak berwibawa dan tak etis mengeluh atas kesedihannya.
Doktrinasi semenjak usia dini, bahwa anak laki-laki dididik untuk tampil perkasa tak lepas dari konstruksi sosial patriarki. Manusia berkelamin laki-laki: tidak boleh menangis dan harus kuat secara fisik maupun mental. Saat seorang laki-laki menyimpang dari tuntutan itu “Boys Don’t Cry” itu, akan dicela “Lemah, kayak banci!”
Stigmatisasi ekpresi gender laki-laki harus maskulin/kumparan
Yola Damayanti Gani dan Willy Chandra dalam Campursari Ala Didi Kempot: Perempuan dan Laki-laki Jawa Mendobrak Patriarki juga menyebutkan, bahwa tembang-tembang Didi Kempot berisi perlawanan stigma representasi laki-laki Jawa yang tenang, kalem dan tidak suka konflik.
ADVERTISEMENT
Didi Kempot kemudian, melalui tembang-tembang bak kryptonite yang mampu melelehkan hati manusia paling dingin sekalipun itu, mampu menghadirkan gambaran laki-laki yang (sama seperti perempuan) juga mengutamakan perasaan. Sisi melankolis seorang laki-laki Jawa itu, ditunjukkan dengan kata-kata “kenangan”, “kelangan”, “netes eluh ning pipiku”.
Boys Don’t Cry bukan saja melanggengkan patriarki yang kini masih bercokol, dengan memunculkan toxic masculinity sebagai ketakutan akan kehilangan maskulinitas yang menurunkan harga diri.
Lebih jauh, stigma tersebut juga telah menjadi biang keladi atas maraknya toxic positivity atau toksik positivisme, yang menggerogoti kesehatan mental. Tuntutan menjadi selalu positif, yang justru memperparah beban mental. Dan melalui tembang-tembang Didi Kempot, stigma itu di”ambyarkan”.
Ora opo-opo nangis!
The God Father of Broken Hearth memang telah seda (meninggal), tapi selamanya Ia menjelma berbentuk senandung pesan, salah satunya:
ADVERTISEMENT
"Kita semua setara dalam kesedihan. Kita dengan ragam gender ciptaan Tuhan, adalah manusia biasa dengan keunikan dan kompleksitasnya: boleh nangis, dan tak apa-apa mengekspresikannya tanpa tedeng aling-aling stigma sosial yang jadi beban. It’s okay to not to be okay!"
Sugeng tindak, Om Didi Kempot!
Dari kami-kami, yang berkali-kali patah hati.
Sad Girls menemani laki-laki patah hati, Ajo Darisman as Sad Boy cabang Jatipadang, Jakarta Selatan.