Sertifikat Layak Nikah

Nukila Evanty
Executive Director Women Working Group (WWG)
Konten dari Pengguna
29 November 2019 11:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nukila Evanty tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menikah. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menikah. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pasangan calon yang ingin menikah kelak kemungkinan akan mengikuti kelas penyuluhan pranikah sebelum melangkah lebih lanjut ke rumah tangga. Kementerian Koordinator (Kemenko) PMK (Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) mengutarakan akan mempertimbangkan kewajiban memiliki sertifikat menikah tersebut serta Kementerian Agama (Kemenag) mengaku telah siap bersinergi terkait kebijakan tersebut dengan menyiapkan sumber daya manusia di KUA (media online 18 November 2019).
ADVERTISEMENT
Walaupun di Kemenag sendiri sebenarnya sudah ada program penyuluhan pranikah. Dasar Kemenko PMK mewajibkan sertifikat menikah bagi pasangan yang hendak menikah adalah untuk pendidikan kesehatan dan agar pasangan yang menikah cocok menjalani kehidupan pascamenikah termasuk sebagai calon orang tua.
Pada satu sisi Majelis Ulama Indonesia (MUI) lebih mendorong keberadaan pelatihan pranikah daripada sertifikat menikah. MUI mengkaji bahwa pelatihan atau diklat sebelum menikah lebih penting agar pasangan memahami esensi menikah dan mengurangi perceraian (media online 19/11/2019).
Perceraian yang Tinggi
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam "Statistik Indonesia 2018" menyebutkan bahwa kasus-kasus perceraian yang terjadi di Indonesia meningkat setiap tahunnya, pada tahun 2017 yaitu berjumlah 374.516 kasus perceraian. Bandingkan dengan jumlah seluruh kasus perceraian di pada tahun 2016 sebanyak 365.654 kasus perceraian dan di tahun 2015 sebanyak 353.843 kasus perceraian.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, jika dibuat perhitungan presentase laju kenaikan kasus perceraian di Indonesia setiap tahunnya, maka didapatkan bahwa terjadi kenaikan sebesar 11.811 kasus perceraian atau 3,33 persen dari tahun 2015 ke tahun 2016. Sementara kenaikan pada tahun 2016 ke tahun 2017 sebesar 8.862 kasus perceraian atau 2,42 persen. Data yang dimiliki oleh BPS tersebut, khususnya pada data di 2017, adalah sesuai dengan jumlah cerai talak dan cerai gugat pada data milik Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Dirjen Badilag) Mahkamah Agung pada tahun yang sama.
Faktor penyebab cerai dikutip dari pernyataan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK, menyebutkan bahwa pengajuan gugatan cerai sering kali dilakukan oleh pihak istri. Salah satu sebabnya, perempuan dan anak kerap kali menjadi korban dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
ADVERTISEMENT
Sedangkan faktor penyebab perceraian berdasarkan yurisdiksi Pengadilan Agama seluruh Indonesia lebih banyak didominasi faktor perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus, faktor ekonomi, dan meninggalkan salah satu pihak (hukum online 2018).
Merujuk data 29 Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia periode 2017 (Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Badilag, MA), terdapat beberapa faktor penyebab perceraian. Pertama, zina dengan jumlah perkara 1.896 . Selanjutnya, ke-2, mabuk dengan jumlah perkara 4.264; ke-3, mandat dengan jumlah perkara 1.189 perkara; ke-4, judi dengan jumlah perkara 2.179; ke-5, meninggalkan salah satu pihak dengan jumlah perkara 70.958. Ke-6, dihukum penjara dengan jumlah perkara 4.898. Selanjutnya, ke-7, poligami dengan jumlah perkara 1.697; ke-8, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan jumlah perkara 8.453; ke-9, cacat badan dengan perkara sebanyak 432; ke-10, perselisihan dan pertengkaran terus menerus dengan jumlah perkara sebanyak 152.575; ke-11, kawin paksa dengan perkara sebanyak 1.976; ke-12, murtad dengan jumlah perkara 600; ke-13, ekonomi dengan jumlah perkara 105.266; serta ke-14, lain-lain sebanyak 7.799 perkara.
ADVERTISEMENT
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Dari catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan (CATAHU), Komnas Perempuan tahun 2019 menemukan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan yang dilaporkan sepanjang tahun 2018, di mana terdapat sejumlah temuan, pola dan trend kekerasan, yaitu kekerasan banyak terjadi di ranah ruang privat, yaitu antara korban dan pelaku berada dalam suatu relasi perkawinan, kekerabatan, atau relasi intim lainnya baik dalam lingkup rumah tangga maupun di luar rumah tangga. Kasus ini merupakan kasus yang dominan dilaporkan atau dikategorikan dalam Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).
Sedangkan, pelaporan kasus Marital Rape (perkosaan dalam perkawinan) mengalami peningkatan pada tahun 2018. Hubungan seksual dengan cara yang tidak diinginkan dan menyebabkan penderitaan terhadap istri mencapai 195 kasus pada tahun 2018.
ADVERTISEMENT
Mayoritas kasus perkosaan dalam perkawinan dilaporkan ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta P2TP2A atau pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak (sebanyak 138 kasus), selebihnya dilaporkan ke organisasi masyarakat dan lembaga lainnya.
Komnas Perempuan menyebutkan rata-rata KDRT lebih banyak diselesaikan dengan cara memilih bercerai daripada mempidanakan. Sehingga dapat kita lihat juga tadi dari data perceraian pengadilan tinggi agama.
Sedangkan angka kekerasan terhadap istri yakni berjumlah 5.114 kasus. Menurut Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan di antaranya disebabkan budaya dan nilai-nilai masyarakat yang dibentuk oleh kekuasaan patriarki yaitu laki-laki secara kultural telah dipersilahkan menjadi penentu kehidupan.
Sehingga, penting kiranya pelatihan pranikah untuk mendapatkan bekal sebelum membangun rumah tangga mengingat kasus-kasus peningkatan kekerasan terhadap istri dan akan berdampak pada kesejahteraan anak dalam keluarga termasuk isu kesetaraan yaitu bila salah satu pihak ada keterbatasan-keterbatasan, maka diharapkan pelatihan pranikah ini akan memberikan beberapa saran, mekanisme, atau apa pun yang bisa membantu pasangan-pasangan yang akan menikah tersebut.
ADVERTISEMENT
Sertifikat Nikah untuk Pendidikan Kesetaraan
Hidup bahagia, rukun, damai dalam membina rumah tangga adalah nilai-nilai ideal dalam berumah tangga walau dalam ikatan perkawinan tersebut perlu kiranya diantisipasi beberapa persoalan yang muncul kemudian seperti isu KDRT, faktor hak dan kewajiban bersama suami istri, konsensual dan keputusan bersama, komunikasi dan berdiskusi, hak anak beserta masa depan anak.
Sejatinya, setiap hubungan pasangan suami istri akan berakibat utamanya terhadap anak-anaknya. Walau nanti, faktanya pun kehidupan rumah tangga tersebut belum tentu sukses maka hak dan kewajiban setelah perkawinan bubar pun juga harus menjadi pengetahuan baik suami maupun istri.
Perlu kesepakatan terlebih dahulu apakah pemberian sertifikat perkawinan tidak menjadi syarat wajib dari suatu pernikahan, karena masyarakat kita beragam dan ada beberapa kelompok masyarakat tidak mengenal mekanisme formal seperti ini, juga perlu diingat bahwa setiap orang mempunyai hak untuk menikah dan membentuk keluarganya sendiri dan sudah tercantum dalam Deklarasi HAM universal. Pemanfaatan teknologi digital aplikasi pendidikan pranikah bisa juga dilakukan karena lebih mudah diakses setiap orang, tidak berbayar dan lebih fleksibel waktunya.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun, pendidikan pranikah untuk sertifikat pranikah adalah salah satu bagian dari pendidikan akan kesetaraan.