Pesantren, Rasulullah, dan Akhir Ramadhan

irfannk
Guru di pesantren Darunnajah Jakarta dan dosen di Stai Darunnajah Jakarta dan Bogor, lulusan KMI Gontor 2004, ISID Gontor 2008, UNIDA Gontor 2016, USIM Malaysia
Konten dari Pengguna
18 Mei 2020 9:58 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari irfannk tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menyambut bulan suci Ramadhan Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menyambut bulan suci Ramadhan Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam sebuah tesis yang yang ditulis oleh Yakhsyallah Mansur yang kemudian dibukukan dengan judul “Ash-Shuffah pusat pendidikan Islam pertama yang didirikan dan diasuh Nabi Muhammad SAW”, memberikan beberapa teori baru tentang lembaga pendidikan Islam yang kita kenal dengan pesantren.
ADVERTISEMENT
Selama ini, Pesantren yang berasal dari dua suku kata ‘pe’ artinya tempat dan ‘santren’ atau santri, tempat santri, lebih sering dikaitkan dengan tempat pendidikan agama-agama sebelum Islam yang ada di Indonesia (Hindu/Budha). Seperti dikutip oleh Zamakh syari Dhofier bahwa pesantren berasal dari kata santri. Kata ini berasal dari bahasa tamil yang berarti guru mengaji. Ada juga yang mengatakan dari katan shastri yang dalam bahasa India memiliki arti orang yang tahu buku-buku agama suci Hindu. Juga ada pendapat yang menyebutkan kata shastri ini berasal dari kata shastra yaitu buku suci, buku agama dan pengetahuan.
Nurcholis Madjid, walaupun agak berbeda sedikit dengan pendapat di atas, masih menjelaskan pesantren dari asal katanya yaitu santri, menurutnya adalah orang-orang yang melek huruf, bisa membaca kitab-kitab bahasa arab, paling tidak bisa membaca Al-Qur’an. Juga ada yang berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari bahasa jawa cantrik, yaitu orang yang selalu mengikuti seorang guru, kemanapun guru itu pergi dan menetap yang dalam tradisi pewayangan bertujuan untuk mempelajari suatu keahlian.
ADVERTISEMENT
Dalam menjelaskan elemen yang membangun sebuah pesantren, Mastuhu menyebutkan beberapa hal yaitu kiai, pondok, masjid dan pengajaran kitab klasik. Sepertinya dari sinilah Yakhsyallah memulai penelitian tesisnya. Baginya ketika Rasulullah berada di Madinah, sebelum membangun sebuah kota yang menjadi awal peradaban Islam. Beliau telah membangun pusat pendidikan pesantrennya sendiri yang disebutnya dengan Ash-Shuffah.
Bagi penulis buku ini, seluruh aktivitas Rasulullah merupakan teladan yang harus diikuti, termasuk dalam masalah pendidikan, dari tangan dingin beliaulah, lahir pribadi-pribadi unggul yang mampu mewarnai peradaban dunia, melakukan pembebasan dari kesyirikan dan penindasan dibanyak tempat. Sampai michael hart, memposisikannya diurut pertama 100 tokoh yang mengubah dunia.
Selain faktor pribadi Rasulullah, baginya metode pengajarannya pun sangat modern yaitu metode at-tanwi’ wa at-taghyir, atau metode bervariasi. Dengan metode ini seluruh potensi para santrinya yaitu para sahabat bisa tumbuh dan berkembang dengan maksimal. Maka betulah apa yang dikatakan KH. Imam Zarkasyi, metode lebih penting dari materi, tapi guru dan jiwa guru lebih penting dari metode dan materi.
ADVERTISEMENT
Apabila elemen-elemen yang membangun pesantren kita qiyaskan ke dalam kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh Rasulullah, maka akan kita temukan bahwa Rasulullah adalah seorang kiai, para sahabat sebagai santri, Al-Qur’an dan hadits sebagai materi, masjid Nabawi sebagai tempat pendidikan dan pondokan, karena sebagian para sahabat merupakan ashabu ash-Shuffah yang tinggal di pelataran masjid Nabawi seperti Abu Hurairah, Suhaib ar-Rumi, Salman al-Farisi, Bilal bin Rabah dan banyak lagi yang lainnya.
Dalam makalahnya yang berjudul “Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam” Hamid Fahmy Zarkasyi menyebutkan dalam tradisi intelektual Islam, komunitas ilmuwan itu berkembang secara bertahap. Komunitas ilmuwan yang paling awal dan berfungsi sebagai medium transformasi ilmu pengetahuan wahyu adalah Bait al-Arqam. Namun yang lebih efektif dari itu
ADVERTISEMENT
adalah al-Suffah, yang artinya beranda atau serambil masjid dan komunitas intelektualnya disebut ashabu ash-Shuffah.
Tujuan utama ashabu ash-Shuffah adalah belajar dan mengamalkan Islam, dari sumbernya, yaitu
Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. Bagi Hamid karena objeknya adalah wahyu maka materi pembelajaran ashabu ash-Shuffah lebih luas dan kompleks. Oleh sebab itu, materi kajiannya tidak dapat disamakan dengan materi diskusi spekulatif di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan Barat (the cradle of western civilization).
Berkenaan dengan materi pendidikan yang diberikan Rasulullah kepada ashabu ash-Shuffah, ditemukan kurang lebih 118 kode yang mewakili komponen rinci pendidikan yang disederhanakan dalam 7 kategori, salah satunya adalah materi Ibadah, dalam materi ibadah ini, diantara yang terpenting untuk kita jelaskan pada saat ini adalah puasa dan I’tikaf, terutama karena sekarang kita berada di akhir bulan suci Ramadhan.
ADVERTISEMENT
Imam al-Bukhari menyebutkan beberapa hadits yang menjelaskan bahwa para sahabat terutama ashabu ash-Shuffah merupakan orang-orang yang paling sering beri’tikaf. Bahkan salah satunya alumni ash-Shuffah yaitu Abdullah bin Umar sering tidur untuk beri’tikaf di masjid nabawi ketika masir remaja dan belum berkeluarga.
I’tikaf sebagai salah satu metode pendidikan yang diberikan Rasulullah, pada saat ini mengenal beberapa istilah diantaranya yang sempat menjadi treding adalah mabit atau malam bina iman dan takwa. Karena memang salah satu tujuan I’tikaf adalah menguatkan keimanan dan ketakwaan dengan mengisi malam, hari terakhir bulan ramadhan dengan kegiatan ibadah yang beragam, dari mulai tadarus, qiyamul lain, motivasi agama atau cerama, dzikir dan lain-lainnya.
Dibeberapa pesantren seperti di Darunnajah dan cabangnya dikenal juga istilah haram atau ihram yaitu kegiatan akhir ramadhan untuk calon santri akhir tarbiyatul muallimin al-Islamiyyah (TMI). Kegiatan ini merupakan salah satu kegiatan pendidikan yang paling berkesan bagi mereka. Mereka melakukan hijrah di mana para santri yang lain pulang untuk melaksanakan puasa di rumah masing-masing. Para santri ini kembali meninggalkan rumah untuk mengisi hari, malam terakhir bulan ramahdannya dengan beri’tikaf dan bermacam kegiatan lainnya.
ADVERTISEMENT
Namun dalam kondisi pandemic covid 19 ini, dan pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menyebabkan kegiatan (mabit, haram, iharam) ini belum bisa dijalankan seperti biasanya, tetapi dengan bantuan teknologi, tunjuan dari kegiatan ini yaitu sebagai sarana pendidikan untuk mengoptimalkan ibadah di hari, akhir ramadhan beberapa pesantren berijtihad melaksanakan kegiatan ini secara online.
Para santri dan panitia yang berada di tempat tinggalnya digabungkan dengan aplikasi seperti zoom, google meet, grup whatapps dan media daring lainnya. Kegiatan seperti tadarus, tahajud, ceramah ramadhan dilakukan secara serentak di rumah masing-masing, panitia juga bekerjasama dengan wali santri untuk mengontrol keberlangsungan kegiatan ini.
Mengisi kegiatan hari, malam akhir ramadhan secara bersama merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri, karena kebersamaan bisa mendatangkan motivasi, saling mengingatkan dan menguatkan, oleh sebab itu ada juga komunitas yang memaksimalkan grup-grup whatapps untuk mengadakan tadarus online one day one juz atau pernah trending dengan istilah odoj.
ADVERTISEMENT
Hari-hari terakhir Ramadhan ini merupakan waktu terbaik yang sangat disayangkan apabila kita sia-siakan, Rasulullah menjadikan hari-hari ini untuk lebih giat mendidik dirinya dan para santrinya yaitu ashabu ash-shuffah. Oleh sebab itu, sebagai pengikutnya segala usaha perlu kita lakukan untuk mengoptimalkan ibadah di waktu ini. Kalau dulu kebanyakan para ashabu ash-shuffah merupakan orang-orang yang kekurangan secara materi dan memfokuskan diri untuk belajar dan mendidik diri, maka bagi kita kondisi pandemic covid 19 ini juga harus dijadikan sebagai salah satu pendorong, untuk meningkatkan diri, keimanan dan ketakwaan.
Muhammad Irfanudin Kurniawan, M.Ag
Dosen Stai Darunnajah Jakarta dan Bogor, Mahasiswa Doktoral Universiti Sains Islam Malaysia