Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Perang Tarif China-AS Kian Memanas Dampaknya Terhadap Perdagangan Global dan RI
14 April 2025 9:17 WIB
·
waktu baca 10 menitTulisan dari Husen Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Melansir dari laman Euronews, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada Rabu, 9 April 2025, mengumumkan kebijakan tarif impor baru sebesar 125 persen terhadap berbagai produk asal Tiongkok. Klarifikasi yang diberikan Gedung Putih pada hari berikutnya menyatakan bahwa angka tersebut merupakan tambahan dari tarif sebelumnya yang sebesar 20 persen, sehingga total tarif yang dikenakan terhadap Tiongkok mencapai 145 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tarif 25 persen yang dikenakan terhadap dua mitra dagang utama lainnya, yakni Meksiko dan Kanada, yang juga tengah menuai perdebatan luas.
ADVERTISEMENT
Trump menjelaskan melalui unggahan di media sosial bahwa kebijakan ini diambil karena Tiongkok dinilai tidak menghargai pasar global dan telah terlalu lama menjalankan praktik perdagangan yang tidak adil. Menurutnya, kebijakan tersebut menjadi sinyal berakhirnya era Tiongkok yang dalam pandangannya, "merampok" Amerika dan negara-negara lain. Ia juga mengklaim bahwa lebih dari 75 negara telah menghubungi perwakilan Amerika Serikat untuk merundingkan kesepakatan dagang baru setelah kebijakan tarif timbal balik diumumkan, meski pelaksanaannya sempat ditunda selama 90 hari.
Sebaliknya, Tiongkok tidak menanggapi ajakan negosiasi dan justru menyebut Amerika Serikat sebagai pihak yang bertindak agresif. Sebagai respons, pada Kamis, 10 April 2025, Tiongkok memberlakukan tarif sebesar 84 persen menjadi 125 persen terhadap barang-barang asal Amerika Serikat, meningkat dari tarif sebelumnya yang sebesar 34 persen. Pemerintah Tiongkok, melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri Lin Jian, menyatakan bahwa Amerika Serikat harus memperlakukan negara lain secara setara dan dengan rasa hormat jika ingin menyelesaikan persoalan melalui dialog. Ia juga menegaskan bahwa jika Amerika terus memaksakan perang tarif, Tiongkok akan memberikan respons hingga akhir.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Lin Jian menyampaikan bahwa Tiongkok tidak akan menerima tindakan hegemonik dan tekanan maksimal dari Amerika. Negara tersebut akan mengambil langkah-langkah tegas untuk melindungi kepentingan nasional, kedaulatan, dan keamanannya. Ia menambahkan bahwa perekonomian Tiongkok memiliki fondasi yang kuat, ketahanan yang luar biasa, dan potensi besar untuk menghadapi berbagai tantangan global, terutama dengan dukungan kepemimpinan dari Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok dan kerja sama dari 1,4 miliar rakyatnya.
Ketegangan tarif ini bermula dari kebijakan Trump pada Februari 2025 yang menerapkan tarif sebesar 10 persen terhadap seluruh produk asal Tiongkok, dengan alasan Tiongkok terlibat dalam imigrasi ilegal dan penyelundupan fentanil ke Amerika Serikat. Pada Maret 2025, tarif tersebut dinaikkan menjadi 20 persen. Lalu, pada 2 April 2025, Trump kembali mengumumkan kombinasi tarif universal sebesar 10 persen dan tarif timbal balik sebesar 34 persen terhadap berbagai negara, termasuk Tiongkok. Sebagai balasan, pada 4 April 2025, Tiongkok mengenakan tambahan tarif sebesar 34 persen terhadap produk Amerika. Tak tinggal diam, Trump kemudian menambahkan tarif sebesar 50 persen pada 9 April, yang menjadikan total tarif kumulatif terhadap produk Tiongkok mencapai 104 persen.
ADVERTISEMENT
Trump menyatakan bahwa kebijakan tarif ini bertujuan untuk menghidupkan kembali sektor manufaktur dalam negeri dengan mendorong perusahaan agar kembali berproduksi di Amerika. Ia menyebut bahwa negosiasi dengan Tiongkok tetap mungkin dilakukan, namun keputusan akhir ada di tangan Beijing, yang menurutnya masih belum mengetahui bagaimana harus memulai proses perundingan tersebut.
Dampak ke Perekonomian Global
Dilansir dari laman Liputan6, perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok menimbulkan tekanan besar terhadap perekonomian global. Mengingat kedua negara tersebut memiliki kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dunia, konflik perdagangan ini dikhawatirkan memperburuk situasi ekonomi secara menyeluruh. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan bahwa pada tahun 2025, AS dan Tiongkok akan menyumbang sekitar 43 persen dari total ekonomi global. Oleh karena itu, perlambatan ekonomi yang terjadi di kedua negara tersebut dipastikan akan berdampak negatif terhadap banyak negara lainnya.
ADVERTISEMENT
Kebijakan perdagangan Presiden AS Donald Trump yang menerapkan tarif impor resiprokal terhadap sejumlah negara, termasuk Tiongkok, memicu ketegangan dan aksi balasan dari negara-negara mitra dagang. Trump mengklaim bahwa tarif tersebut dapat mendorong pertumbuhan ekonomi AS, meskipun tidak semua pihak sepakat dengan pandangan tersebut. Langkah ini memicu reaksi dari berbagai negara yang merasa dirugikan, termasuk Tiongkok yang kemudian membalas dengan mengenakan tarif impor tinggi terhadap barang-barang dari AS.
Trump sempat mengumumkan penundaan penerapan tarif selama 90 hari terhadap lebih dari 75 negara yang sedang melakukan negosiasi dengan AS. Namun, kebijakan ini tidak berlaku untuk Tiongkok, yang tetap dikenakan tarif hingga 145 persen. Sebaliknya, Tiongkok juga membalas dengan tarif sebesar 125 persen untuk barang-barang dari AS. Ketegangan ini semakin memanaskan hubungan dagang kedua negara, memicu kekhawatiran akan terjadinya disrupsi besar dalam perdagangan global.
ADVERTISEMENT
Penundaan sementara tarif kepada sejumlah negara dianggap belum cukup untuk meredam dampak negatif terhadap perekonomian dunia. Banyak ekonom menilai bahwa ketidakpastian kebijakan perdagangan AS telah menciptakan tekanan tambahan yang menahan laju investasi global. Negara-negara berkembang yang bergantung pada ekspor ke AS, seperti Vietnam, tetap menghadapi tarif minimum sebesar 10 persen, yang sebelumnya lebih rendah. Hal ini berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut, bahkan menjerumuskan beberapa di antaranya ke dalam resesi.
Ekonom dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI), Ronny P Sasmita, menilai bahwa perang dagang ini sudah lama berlangsung dalam bentuk perang dingin, namun kini meningkat tajam setelah kebijakan tarif diberlakukan secara ekstrem. Ia menambahkan bahwa meskipun penundaan tarif selama 90 hari dilakukan, dampaknya terhadap ekonomi global tetap signifikan, karena AS dan Tiongkok adalah pilar utama dalam perdagangan internasional. Negara-negara yang berorientasi pada ekspor, termasuk Indonesia, akan turut terdampak oleh perlambatan ekonomi global.
ADVERTISEMENT
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, menyatakan bahwa dinamika kebijakan tarif yang berubah-ubah menyebabkan ketidakpastian dalam perdagangan global. Meskipun Trump menyatakan bahwa akan ada penundaan selama tiga bulan, ketidakjelasan arah kebijakan tetap menjadi kekhawatiran besar bagi banyak negara. Perubahan peta perdagangan juga terjadi, dengan negara-negara seperti Indonesia mulai meningkatkan impor dari AS sebagai upaya untuk menyeimbangkan neraca perdagangan, yang pada akhirnya bisa menekan posisi perdagangan maupun pasar dalam negeri.
Di sisi lain, pengamat hubungan internasional Dinna Prapto Raharja menganggap langkah AS bukan hanya sekadar strategi ekonomi, melainkan bagian dari agenda hegemonik yang sistematis terhadap tatanan ekonomi global. Menurutnya, kebijakan tersebut memperlakukan negara maju dan berkembang secara seragam tanpa mempertimbangkan kapasitas masing-masing. Hal ini membuat posisi negara berkembang semakin tertekan. Ia juga menyebut bahwa AS cenderung tidak transparan dalam proses negosiasi, dan kecil kemungkinan bahwa tarif-tarif tersebut akan dihapus sepenuhnya.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, konflik dagang antara AS dan Tiongkok bukan hanya berdampak pada kedua negara, melainkan menimbulkan efek domino bagi kestabilan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global. Ketidakpastian kebijakan, aksi balasan tarif, dan disrupsi pada rantai pasok internasional menciptakan situasi yang rentan, terutama bagi negara-negara yang sangat tergantung pada ekspor.
RI Kena Imbas
Dikutip dari CNBC Indonesia, ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok turut memberikan dampak terhadap stabilitas pasar keuangan di Indonesia. Salah satu indikasinya terlihat dari tingginya jumlah dana asing yang keluar dari pasar saham domestik dalam beberapa waktu terakhir, di mana para investor lebih memilih untuk mengalihkan dananya ke aset yang dinilai lebih aman atau safe haven. Setelah libur panjang Lebaran, terjadi lonjakan arus keluar modal asing, terutama pada hari pertama pembukaan pasar, yakni pada hari Selasa, dengan nilai penjualan bersih asing mencapai Rp3,87 triliun. Bahkan dalam dua hari berikutnya, investor asing masih terus mencatatkan penjualan bersih di seluruh sektor saham. Secara keseluruhan, sejak awal tahun, total dana asing yang keluar dari pasar saham Indonesia telah mencapai angka sebesar Rp35,64 triliun.
ADVERTISEMENT
Selain dari sisi pasar keuangan, potensi ekspor Indonesia ke Tiongkok juga berisiko mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh melemahnya permintaan barang dari Tiongkok, yang merupakan imbas dari penerapan tarif tinggi oleh Amerika Serikat terhadap produk impor dari negara tersebut. Selama tiga tahun terakhir, ekspor nonmigas Indonesia ke Tiongkok tergolong cukup besar, yakni selalu melebihi angka US$60 miliar setiap tahunnya pada 2022, 2023, dan 2024. Namun, dengan adanya penurunan permintaan terhadap produk-produk asal Tiongkok, permintaan terhadap bahan baku dari Indonesia yang digunakan dalam rantai pasok produk tersebut juga ikut terdampak, sehingga barang-barang mentah asal Indonesia berisiko kehilangan pasarnya.
Di sisi lain, kondisi ini juga mempengaruhi prospek pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat dan Tiongkok, yang diperkirakan akan mengalami perlambatan. Perlambatan ini berpotensi menekan kemampuan kedua negara tersebut dalam melakukan investasi langsung ke luar negeri, termasuk ke Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tahun 2024, nilai Penanaman Modal Asing (PMA) dari Tiongkok ke Indonesia tercatat sebesar US$8,1 miliar atau sekitar Rp136 triliun. Apabila tren perlambatan ekonomi ini berlanjut, bukan tidak mungkin aliran PMA dari Tiongkok yang selama ini terus menunjukkan kenaikan tiap tahunnya, akan mulai melambat atau bahkan menurun.
ADVERTISEMENT
Yang Harus Dilakukan Indonesia
Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI), Anggawira, menilai bahwa Indonesia perlu memperkuat pasar domestik dan mendukung sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagai respons terhadap ancaman perang dagang global. Situasi ini muncul karena adanya potensi banjir produk dari negara seperti China, Thailand, dan India ke pasar dalam negeri, akibat kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, meskipun pelaksanaannya terhadap Indonesia masih ditunda selama 90 hari.
Anggawira menekankan pentingnya kampanye "Bangga Buatan Indonesia" yang lebih nyata dan bukan sekadar slogan. Ia mendorong agar pemerintah serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lebih memprioritaskan pembelian produk lokal melalui pemberian insentif yang tepat. Ia juga menggarisbawahi pentingnya transformasi UMKM, mengingat sektor ini menyumbang lebih dari 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Namun, sebagian besar UMKM masih beroperasi secara informal dan belum terintegrasi secara digital. Oleh karena itu, percepatan digitalisasi UMKM, kemudahan akses pembiayaan, serta pelatihan untuk peningkatan kualitas produk dan strategi branding perlu menjadi fokus utama.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, UMKM di Indonesia tidak cukup hanya bertahan, tetapi perlu berkembang dan naik kelas agar dapat berkontribusi lebih besar terhadap perekonomian nasional.
Pandangan senada disampaikan oleh Hermanto Tanoko, salah satu pengusaha terkaya di Indonesia. Ia mengakui bahwa konflik tarif antara AS dan China berpotensi membuka jalan bagi produk dari China dan India masuk ke Indonesia. Meski begitu, ia optimis bahwa ekonomi Indonesia tidak akan terlalu terdampak oleh konflik tersebut karena pertumbuhan ekonomi yang stabil dan tingkat inflasi yang rendah.
Hermanto memandang Donald Trump sebagai negosiator yang andal dan memperkirakan bahwa pada akhirnya akan tercapai kesepakatan dagang. Ia mendorong masyarakat Indonesia untuk lebih memilih produk dalam negeri guna memperkuat perekonomian nasional. Dukungan terhadap produk lokal seperti pakaian, makanan, dan sepatu dinilai penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia secara berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Sebagai mahasiswa menurut saya, memanasnya perang tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok merupakan wujud nyata dari rivalitas ekonomi dua kekuatan besar dunia yang memiliki implikasi luas, termasuk bagi Indonesia. Kebijakan tarif impor yang ekstrem, seperti yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump, mencerminkan pendekatan unilateral dan agresif yang tidak hanya menimbulkan ketegangan bilateral tetapi juga menciptakan ketidakpastian dalam sistem perdagangan internasional. Sikap saling membalas antara kedua negara ini telah memperkeruh stabilitas ekonomi global karena Amerika Serikat dan Tiongkok menyumbang hampir separuh dari perekonomian dunia.
Bagi Indonesia, situasi ini menempatkan kita dalam posisi yang rawan. Di satu sisi, kita berpotensi menjadi pasar pelarian bagi limpahan produk dari negara-negara yang terdampak, seperti Tiongkok dan India. Namun di sisi lain, melemahnya permintaan global, terutama dari Tiongkok sebagai mitra dagang utama dapat menekan kinerja ekspor Indonesia dan memperlambat aliran investasi asing. Data arus keluar modal asing dari pasar saham Indonesia menunjukkan bagaimana ketidakstabilan global bisa langsung berdampak terhadap kepercayaan investor terhadap pasar domestik kita.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, saya memandang bahwa sudah seharusnya pemerintah Indonesia tidak hanya bersikap reaktif tetapi juga mengambil langkah strategis untuk memperkuat kemandirian ekonomi nasional. Kampanye “Bangga Buatan Indonesia” harus lebih dari sekadar narasi; ia harus diwujudkan dalam bentuk nyata seperti insentif pembelian produk lokal oleh pemerintah dan BUMN. UMKM sebagai tulang punggung ekonomi nasional harus didukung melalui digitalisasi, kemudahan akses pembiayaan, dan pelatihan untuk meningkatkan daya saing produk lokal.
Indonesia harus bisa membaca peluang di balik krisis, misalnya dengan meningkatkan ekspor ke negara-negara alternatif atau memperkuat kerja sama ekonomi regional seperti ASEAN. Kita tidak boleh terjebak menjadi korban dari dinamika negara besar. Sebaliknya, Indonesia harus hadir sebagai aktor yang cerdas, strategis, dan adaptif dalam menghadapi ketegangan global ini.
ADVERTISEMENT
Muhammad Husen, Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Tanjungpura, Pontianak.