Politik Rasial dalam Sepak Bola: Antara Jerman dan Perancis

maulana ihsan
Menyukai Filsafat, Politik dan Kebijakan Publik.
Konten dari Pengguna
25 Juli 2018 17:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari maulana ihsan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“I will no longer be playing for Germany at international level whilst i have this feeling of racism and disrespect”
ADVERTISEMENT
...............
Piala dunia 2018 boleh saja usai, tetapi ragam cerita yang mewarnai ajang empat tahunan tersebut adalah sisi yang tetap menarik dicermati dan boleh jadi ikut menentukan alur sejarah tim-tim yang berlaga.
Cuitan gelandang Timnas Jerman Mesut Ozil dalam akun twitternya @MesutOzil1088 diatas hari ini (22/7/2018), menambah cerita tentang kegagalan juara piala dunia 2014 tersebut. Bukan hanya tentang keputusan Ozil untuk mundur dari timnas, tetapi alasan yang ia urai cukup panjang dan mengejutkan.
Semua berawal dari pertemuannya dengan Presiden Turki, Erdogan pada 14 Mei 2018 di London sebulan sebelum Piala Dunia Rusia 2018 dimulai. Dalam pertemuan tersebut, Ozil bersama pemain yang berdarah “leluhur” Turki lainnya seperti Gelandang Manchester City, Ilkay Gundogan dan Penyerang Everton, Cenk Tosun ikut berfoto dengan Erdogan.
(Sumber: dw.com)
ADVERTISEMENT
Lini masa media sosial dan berbagai surat kabar di Jerman mengkritik pertemuan tersebut. Sempat mereda, tetapi setelah gelaran piala dunia 2018 selesai, beberapa media Jerman kembali mengungkit peristiwa tersebut sebagai salah satu penyebab kegagalan Jerman.
Ozil menyebut standar ganda beberapa media Jerman yang menjadikan pertemuan tersebut dan latar belakang leluhurnya yang berbangsa Turki sebagai headline untuk gambaran tentang piala dunia yang buruk dan penjelasan langsung atas kekalahan di Rusia. Ozil membandingkan perlakuan media terhadap dirinya dengan Lothar Matthaus saat bertemu dengan Vladimir Putin yang tanpa teguran dari DFB (PSSI-nya Jerman).
Politik Rasial Jerman
Hubungan politik Jerman dan Turki memang sejak lama menegang, utamanya sejak Erdogan berkuasa. Walaupun bersekutu di NATO dan menjadi salah satu mitra dagang terbesar bagi Turki, dibawah Kanselir Angela Merkel Jerman adalah negara terdepan yang menghalangi upaya Turki untuk masuk dalam keanggotaan Uni Eropa.
ADVERTISEMENT
Disisi lain, Biro Statistik Federal Jerman pada tahun 2017 seperti yang dilansir oleh Turkinesia mencatat Jerman adalah rumah bagi sekitar 1 juta 483 ribu orang Turki (guest workers). Sumber tidak resmi lainnya bahkan menyebut sampai angka 3 juta (termasuk yang berkebangsaan Turki, tetapi berwarga negara Jerman) yang bahkan sudah sampai pada generasi ketiga.
Pada pemilu Jerman tahun lalu, ada dua hal yang menjadi catatan terkait gelombang politik sayap kanan yang berwatak diskriminan, rasis dan mengkampanyekan anti imigran. Pertama, untuk pertama kalinya setelah enam dekade kelompok politik sayap kanan yang diwakili oleh Alternative für Deutschland (AfD) memasuki Bundestag (parlemen). Kedua, saingannya kelompok politik yang berhaluan tengah kanan yang diwakili oleh partai Kanselir Jerman Angela Merkel, Christlich Demokratische Union (CDU) memperoleh suara terendah sejak 12 tahun, meskipun menang.
ADVERTISEMENT
Gelombang politik sayap kanan yang mulai dominan dalam perpolitikan Jerman inilah yang ditenggarai ikut andil mempengaruhi opini media dan publik dalam memandang kekalahan Timnas Jerman di Piala dunia Rusia 2018.
Ozil secara eksplisit dalam alasannya menyebut, “Certain German newspapers are using my background and photo with President Erdogan as right wing propaganda to further their political cause”.
Sebenarnya, dalam persepakbolaan Jerman (bundesliga) adanya pengaruh kelompok politik sayap kanan yang “tercermin” misalnya dalam suporter Ultras SC Freiburg kurang berpengaruh bila dibanding dengan keterbukaan kelompok pendukung tim terkenal seperti Borussia Dortmund, Bayern Muenchen dan Shalke 04 terhadap warga imigran dan pemain turunan imigran itu sendiri.
Maka, tidak mengherankan bila sebelum gelombang politik sayap kanan mencuat dalam perpolitikan Jerman, pemain keturunan seperti Mesut Ozil, Sami Khedira, Lukas Podolski, Miroslav Klose, Jerome Boateng, dan Skhodran Mustafi memainkan peran penting dalam keberhasilan Jerman keluar sebagai juara Piala Dunia 2014, dihargai, dibanggakan oleh publik dan media Jerman.
ADVERTISEMENT
Kemenangan Perancis
Timnas Perancis piala dunia Rusia 2018 adalah perpanjangan wujud dari slogan Revolusi Perancis tahun 1789: liberte (kebebasan), egalite (persamaan), dan fraternite (persaudaraan).
Dalam sepak bola Perancis, hal tersebut tertuang dalam semboyan black, blanc, beur yang dapat berarti “hitam, putih, arab”.Jika ditelusuri, Perancis adalah tim pada piala dunia Rusia 2018 dengan nilai multikultural tertinggi (91) seperti yang dimuat dalam situs netbet.com.
Ada 3 kategori yang masuk dalam kriteria multikultural , yaitu pemain yang merupakan pemain migrasi (player migrated), pemain putra dari generasi pertama imigran (parents migrated), dan pemain yang bermoyang imigran (ancestors migrated).
(Sumber: Multicultural Cup 2018, netbet.com)
Rinciannya, Perancis memiliki 4 pemain dari player migrated, 14 pemain dari parents migrated dan 3 pemain dari ancestors migrated.
ADVERTISEMENT
Dalam perpolitikan Perancis, persinggungan sepakbola dan politik rasial yang diwakili oleh kelompok sayap kanan Perancis dapat dilihat dalam sejarah mereka saat menjuarai dua piala dunia: 1998 dan 2018.
Pada tahun 1996/1997 kelompok sayap kanan dengan tokoh utamanya Jean Marie Le-Pen menjadi figur politik sentral di Perancis yang mengusung isu Nos encestres les Gaulois etaientt Blonds (nenek moyang kita adalah bangsa Gaulis yang berambut pirang). Le Pen menyinggung bahwa timnas Perancis kala itu yang terlalu multikultural sebagai sebuah kehilangan identitas bagi Perancis.
Pun, akhirnya Perancis menjuarai piala dunia 1998 dengan tim multikulturalnya. Siapa yang tidak mengenal bintang Perancis seperti Zidane, Thuram, Vieira, Trezeguet dan Henry? Mereka adalah para pemain imigran. Khusus untuk Zidane, ia adalah pesepakbola yang konsisten melawan propaganda kelompok sayap kanan Perancis.
ADVERTISEMENT
Pada pemilu Perancis tahun 2002 dan 2017, Zidane menyerukan kepada pemilih untuk menghindari propaganda dan ide-ide kelompok sayap kanan yang diwakili Partai Front Nasional. Bila tahun 2002, Jean Marie Le Pen yang menjadi kandidat, maka pada pemilu Perancis tahun 2017, putri bungsunya - Marine Le Pen - yang maju menantang Emmanuel Macron. Macron menang, Le Pen (Ayah dan anak) sebagai representasi sayap kanan kalah (lagi).
Dengan menjuarai piala dunia 2018, Perancis memberi kado pahit bagi kelompok sayap kanan. Kini, setidaknya di Perancis politik rasial telah kalah oleh sepak bola. Di Jerman, tampaknya politik rasial mulai membunuh sepakbola.
Sejarah sepak bola modern adalah entitas yang kompleks, tidak hanya tentang olahraga semata. Industrialisasi, entertainment, perang dan damai, kemanusiaan dan politik adalah wajah sepak bola saat ini.
ADVERTISEMENT