Kami Menginap dan Menjelajahi Museum Bahari di Malam Hari

4 Januari 2020 13:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Melihat kapal Sande Bahari di Museum Bahari Foto: Aulia Risyda Fauzi/ kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Melihat kapal Sande Bahari di Museum Bahari Foto: Aulia Risyda Fauzi/ kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
kumparan tiba di sebuah bangunan tua bercat putih sekitar pukul 20.00 WIB, Sabtu, 28 Desember 2019 lalu. Letaknya tepat berseberangan dengan Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta. Di masa kolonial, bangunan itu merupakan gudang penyimpanan hasil rempah-rempah VOC. Namun, kini telah beralih fungsi menjadi museum, tepatnya Museum Bahari.
ADVERTISEMENT
Pada malam hari, pencahayaan Museum Bahari ternyata tetap terang benderang. Ketika melangkahkan kaki ke dalam, sebuah lukisan kapal kora-kora yang dipajang di dinding lorong menyambut kami. Lukisan yang memotret pertempuran laut ini jadi penanda, di sinilah benda-benda bersejarah kemaritiman Indonesia disimpan.
Malam itu, kami bergabung dengan Komunitas Historia Indonesia (KHI) yang tengah melaksanakan kegiatan ‘Menginap di Museum’. Jumlah pesertanya kurang lebih 100 orang yang terdiri dari berbagai usia. Cukup banyak sehingga mampu membuang kesan sepi dan seram di bangunan berumur 300 tahun lebih itu.
Peserta 'Menginap di Museum'. Foto: Aulia Fauzi/kumparan
Setelah semua peserta siap dan mengisi perut, penelusuran malam pun dimulai dari Gedung Apung. Sebuah bangunan yang pada abad 17 hingga 18 Masehi ditempati oleh warga pribumi. Bangunan ini berlokasi di jalan Pakin. Nama jalan yang berasal dari bahasa Belanda yakni ‘packing’ yang berarti mengepak.
ADVERTISEMENT
Menurut penuturan pemandu museum, Amaruli, memang jalan Pakin menjadi tempat transit hingga pengepakan hasil rempah-rempah milik VOC pada zamannya. Tak aneh bila istilah Pakin muncul dalam sejarah lokasi itu.
Bangunan Museum Bahari. Foto: Aulia Fauzi/kumparan
Jika bergeser ke bagian tengah museum, maka akan ditemukan ruangan terbuka yang cukup luas. Tempat yang asyik untuk memandang langit di malam hari. Bukan cuma itu, dari tempat ini, pengunjung dapat melihat struktur bangunan Museum Bahari secara menyeluruh.
Amaruli menjelaskan, museum ini dibangun secara berangsur dan dibagi kedalam tiga blok. Yakni Blok A yang dibangun sejak tahun 1652 hingga 1719. Lalu, ada Blok C yang rampung pada tahun 1774. Sementara Blok B, pengerjaannya baru selesai pada tahun 1773.
ADVERTISEMENT
Karena museum ini berdiri di dekat pelabuhan, maka bangunan ini dirancang untuk tahan dari terjangan air, juga serangan musuh.
Oleh karena itu kayu yang digunakan besar-besar. Dipasang pula angkur, penguat bangunan yang tertanam kukuh di dinding bangunan. Selain itu Amaruli menyampaikan bahwa gudang ini juga dibangun dari campuran alami seperti air tebu, putih telur, air gula jawa, dan campuran batu gamping.
Bangunan Museum Bahari. Foto: Aulia Fauzi/kumparan
Meski sempat terbakar pada tahun 2018, sebagian besar bangunan Museum Bahari masih dipertahankan keasliannya. Salah satunya yang tidak pernah diubah adalah lantainya yang terbuat dari Batu Andesit.
Dengan ini, gedung bangunan Museum Bahari sendiri merupakan koleksi paling benilai dari museum ini. Selain ketahanannya yang tak lekang dimakan zaman, gedung ini juga merupakan salah satu gedung tertua yang ada di Jakarta.
ADVERTISEMENT

Ruang Diorama

Selepas membedah arsitektur bangunan, kami bergegas menyusuri diorama yang berada di lantai dua. Diorama ini dipadati oleh patung-patung para penjelajah dunia. Dari Marcopolo hingga Laksamana Cheng Ho.
Diorama Laksamana Cheng Ho. Foto: Aulia Fauzi/kumparan
Jika mengunjungi pada siang hari, mungkin kamu akan takjub melihat patung lilin yang nyaris sempurna menyerupai wajah para penjelajah tangguh ini. Namun, lain cerita jika kunjungan dilakukan pada malam hari.
Tatapan mata dari patung terasa lebih tajam. Tatapan mata kosong ini pun mampu membuat pengunjung, setidaknya kami, tak betah untuk lama-lama menatapnya. Setiap kali melangkah, lantai di ruangan diorama juga berdenyit. Lengkap sudah keseraman menyelimuti seluruh ruangan.
Patung Laksamana Malahayati. Foto: Aulia Fauzi/kumparan
Oleh karena itu, tak aneh bila banyak desas-desus cerita horor terkait ruang diorama ini. Sebut saja Agus Nurjaman, satpam yang sering kali bermalam di museum ini. Dia mengaku, pernah mengalami hal-hal mistis selama berjaga. Dia juga merasa bahwa ada aura berbeda yang muncul dari salah satu koleksi patung.
ADVERTISEMENT
“Saya di sini udah dua tahun, emang kalau di sini tuh yang namanya hal-hal gaib atau ganjil pasti ada. Seperti suara orang lari di lantai dua. Brug-brug,” ujar Agus kepada kumparan, Minggu (29/12) di Museum Bahari.
Namun, hal-hal mistis tersebut tidak pernah dialami Firman Faturohman sang pemandu museum ataupun Asep Kambali, pelopor acara Menginap di Museum. Mereka mengaku, tidak pernah menemukan kejadian aneh.
“Kalau saya malah semalam hitungannya mungkin kita membully ketakutan kita. Yang katanya ini bergerak atau apa, ngeliatin. Ya wajar, karena ada AC yang menggerakan rambut (patung) yang bergerak-bergerak. Padahal faktor-faktor itu datangnya dari kita sendiri. Itu sugesti,” terang Fatur.
Selain patung, ruang diorama juga berisi beberapa karung rempah-rempah. Ruangan ini menyimpan 35 jenis rempah dari 600 jenis rempah-rempah yang dimiliki Indonesia. Rempah-rempah yang disimpan tersebut di antaranya lada hingga kapulaga. Tak butuh waktu lama untuk mengenali keasliannya karena rempah-rempah itu mengeluarkan aroma yang sangat khas.
ADVERTISEMENT
Rempah-rempah ini jugalah yang dulunya menjadi primadona dan lumbung kekayaan VOC. Konon, dari rempah-rempah tadi, kongsi dagang Belanda ini bisa meraup keuntungan sebesar 7,9 triliun USD per tahun. Nominal yang sangat besar pada zamannya. Wajar bila gudang ini juga dulunya merupakan gudang tersibuk yang beroperasi di Batavia.
Rempah-rempah di Museum Bahari. Foto: Aulia Fauzi/kumparan

Perahu Bersejarah

Setelah puas melihat-lihat diorama, penelusuran kami berlanjut ke ruang penyimpanan benda kebaharian Nusantara. Di dalamnya terdapat koleksi perahu-perahu tradisional dan perlengkapan navigasi pelayaran seperti miniatur menara mercusuar dan jangkar, meriam VOC hingga kompas.
Adapun perahu-perahu yang dipamerkan di Museum Bahari terdiri dari benda asli dan miniatur.
Replika Kapal di Museum Bahari. Foto: Aulia Fauzi/kumparan
Menurut penuturan pemandu museum, Firman Faturohman, salah satu koleksi perahu kebanggaan Museum Bahari adalah Perahu Cadik Karere yang berasal dari Papua. Sayangnya, perahu ini tidak dapat kami lihat sebab berada di ruangan yang masih direnovasi pasca kebakaran tahun 2018.
ADVERTISEMENT
Padahal perahu yang tidak memiliki layar ini memiliki banyak keunikan dari segi bahan baku hingga ukiran. Ia terbuat dari satu batang pohon Seiba yang dikeruk. Perahunya sering kali dihias dengan cara diukir, dilukis, hingga dipahat. Motif hiasanya melukiskan biota laut seperti burung camar, anjing, dan kodok. Sebagai pemanis, di ujung haluan perahu terdapat ukiran kepala burung yang eksotik.
Selain dipakai melaut, perahu ini juga sering kali dijadikan mas kawin oleh masyarakat Papua. Panjangnya yang mencapai 14,3 meter ini mampu menampung muatan sebanyak 50 orang.
Perahu Jukng Barito di Museum Bahari. Foto: Aulia Fauzi/kumparan
Walau tak dapat melihat kecantikan Kapal Cadik Karere, kami bisa melihat sejumlah perahu yang tak kalah menarik seperti Cadik Nusantara, Sande Bahari, kapal Phinisi hingga perahu Jukung Barito.
ADVERTISEMENT
Sejumlah perahu Nusantara ini menjadi saksi bisu tangguhnya nenek moyang Indonesia kala menjadi seorang pelaut. Kecerdasan mereka dalam menaklukan lautan terwujud dari beragam bentuk dan fungsi perahu tersebut. Hebatnya lagi, perahu-perahu ini juga memiliki peran dalam persebaran budaya yang ada di Indonesia.

Menara Syahbandar

Muara dari penjelajahan malam ini adalah Menara Syahbandar. Kami menaiki tangga-tangga 'Menara Goyang,' menelusuri ruang-ruangnya dan melihat koleksi di dalamnya. Dari puncak menara inilah kami juga bisa melihat Pelabuhan Sunda Kelapa.
Melihat Kota Jakarta dari Puncak Menara Syahbandar. Foto: Aulia Fauzi/ kumparan.
Dulunya menara ini berfungsi untuk memantau kapal-kapal yang keluar masuk kota Batavia lewat jalur laut. Tak hanya itu, menara ini juga berfungsi sebagai kantor pabean yaitu pengumpulan pajak atas barang-barang yang dibongkar di pelabuhan Sunda Kelapa pada masa kolonial.
ADVERTISEMENT
Tak banyak orang tahu, di dekat menara ini juga terdapat titik nol kilometer Jakarta sebelum dipindahkan ke Monumen Nasional. Titik ini kemudian diabadikan menjadi prasasti dan ditandatangani oleh mantan Gubernur Jakarta, Ali Sadikin pada tahun 1977.
Menara Syahbandar. Foto: Aulia Fauzi/kumparan
Pukul 01.00 WIB, kaki kami gontai akibat lelah menyusuri seluruh bangunan Museum Bahari dan Menara Syahbandar. Acara Menginap di Museum kemudian ditutup dengan menonton film dokumenter Samudraraksa dan diskusi panjang seputar sejarah Indonesia. Kami baru bisa memejamkan mata sekitar pukul 03.00 WIB.
Keseruan menjelajah dan menginap di museum tidak akan berakhir sampai di sini. Asep Kambali, founder KHI berencana akan membuat acara menginap yang lebih seru lagi.
Saat ditemui kumparan, ia memberi bocoran mengenai museum yang akan dijadikan tempat bermalam selanjutnya. Salah satu tempat yang ia sebut adalah Museum Taman Prasasti.
ADVERTISEMENT
“Museum Fatahilah itu bakal, museum bekas Dewan Pengadilan zaman Belanda itu yang sekarang jadi Museum Keramik, Museum Wayang, termasuk kita lagi pertimbangkan, ini museumnya, museum kemarau, Museum Taman Prasasti,” ujar Asep.
ADVERTISEMENT
Jadi, menginap di museum tidak seseram yang dibayangkan bukan? Apakah kamu tertarik untuk mencobanya?