Apple Watch, Fitbit, dkk Dipakai untuk Pantau Gejala Long Covid, Ini Hasilnya

12 Juli 2021 8:42 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Fitbit Charge 2. Foto: Dan Clifton (CC BY-NC-ND 4.0)
zoom-in-whitePerbesar
Fitbit Charge 2. Foto: Dan Clifton (CC BY-NC-ND 4.0)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejak booming di dekade 2010-an akhir, jam tangan pintar (smartwatch) menuai popularitas sebagai gadget kesehatan personal bagi pengguna. Berbagai brand teknologi merilis smartwatch mereka sendiri yang dilengkapi fitur sensor pemantau kesehatan. Dan kini, sensor-sensor tersebut tampaknya semakin relevan di tengah pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Sebuah penelitian di jurnal JAMA baru-baru ini mengungkap masalah kesehatan jangka panjang yang dialami oleh mantan pasien COVID-19 atau yang biasa dikenal sebagai Long COVID-19. Uniknya, tak lagi menggunakan observasi tradisional, para peneliti AS dalam riset tersebut mengandalkan smartwatch Fitbit untuk memantau gejala yang timbul dari Long Covid.
Riset ini bermula ketika para ilmuwan hendak mencari cara baru dalam memantau kesehatan masyarakat di tengah pandemi corona. Salah satu cara yang potensial adalah dengan melihat data kesehatan dari jam tangan pintar. Setidaknya, satu dari lima warga AS menggunakan smartwatch atau gelang pintar lainnya yang memiliki fitur pelacak kesehatan.
Pada 25 Maret 2020 hingga 24 Januari 2021, para peneliti di pusat riset Scripps Research Translational Institute di California, AS, kemudian membuka pendaftaran relawan riset guna mencari tahu gejala Long Covid yang terdeteksi lewat smartwatch. Para relawan diminta untuk mengunduh aplikasi penelitian MyDataHelps dan setuju untuk membagikan data dari Fitbit, Apple Watch, atau jam pintar lainnya. Mereka juga menggunakan aplikasi untuk melaporkan gejala penyakit dan hasil tes COVID-19.
ADVERTISEMENT
Dari 37.146 orang yang mendaftar, para peneliti mengerucutkan analisis riset mereka dari 875 orang yang menggunakan smartwatch Fitbit. Relawan riset tersebut kemudian dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari 234 orang yang positif COVID-19, sedangkan kelompok kedua berisi 641 orang negatif corona yang punya gejala infeksi pernapasan lain.
Fitbit Versa. Foto: Janitors via Flickr (CC BY 2.0)
Ilmuwan melaporkan bahwa kedua kelompok tidur lebih banyak dan berjalan lebih sedikit setelah mereka sakit, dan diikuti dengan detak jantung meningkat. Meski keduanya berbagai gejala yang mirip, perubahan ini lebih terasa pada kelompok dengan COVID-19.
“Ada perubahan yang jauh lebih besar dalam detak jantung istirahat untuk individu yang memiliki Covid dibandingkan dengan infeksi virus lainnya,” kata Jennifer Radin, seorang ahli epidemiologi di Scripps yang memimpin riset, kepada The New York Times. “Kami juga memiliki perubahan yang jauh lebih drastis dalam langkah dan tidur.”
ADVERTISEMENT
Peningkatan detak jantung yang berkepanjangan ini mungkin merupakan tanda bahwa COVID-19 mengganggu sistem saraf otonom, yang mengatur proses fisiologis dasar, kata peneliti. Jantung berdebar dan pusing yang dilaporkan banyak orang yang baru sembuh dari COVID-19 mungkin merupakan gejala gangguan ini.
“Banyak orang yang terkena COVID-19 akhirnya mengalami disfungsi otonom dan semacam peradangan berkelanjutan, dan ini dapat berdampak buruk pada kemampuan tubuh mereka untuk mengatur denyut nadi mereka,” terang Radin.
Dibandingkan dengan orang dengan infeksi pernapasan lainnya, pasien COVID-19 membutuhkan waktu lebih lama untuk kembali ke detak jantung dasar dan penanda kesehatan lainnya.
petugas kesehatan merawat pasien corona di ruang ICU di sebuah rumah sakit pemerintah di Jakarta, Selasa (30/6). Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
Rata-rata, pasien COVID-19 butuh 79 hari agar detak jantung mereka kembali turun, 32 hari untuk tingkat aktivitas fisik mereka untuk kembali ke rata-rata awal, dan 24 hari untuk kuantitas tidur mereka kembali normal. Meski demikian, ada sebagian kecil (13,7 perseb) pasien COVID-19 yang terus mengalami peningkatan denyut jantung selama lebih dari 133 hari, atau sekitar 4,5 bulan.
ADVERTISEMENT
Meski berhasil menjabarkan detail gejala kesehatan yang muncul pada pasien COVID-19 lewat smartwatch, para peneliti menjelaskan limitasi dari studi mereka.
“Data gejala dikumpulkan hanya selama fase infeksi akut, yang membatasi kemampuan kami untuk membandingkan perubahan fisiologis dan perilaku jangka panjang dengan gejala jangka panjang,” tulis peneliti dalam laporan yang terbit pada 7 Juli 2021.
Untuk itu, para peneliti berharap di masa depan ada studi baru dengan ukuran sampel yang lebih besar dan hasil yang lebih komprehensif. Kedua hal itu penting untuk lebih memahami faktor-faktor yang terkait dengan variabilitas antar-individu dalam pemulihan COVID-19, kata peneliti.
Menurut Robert Hirten, ahli gastroenterolog sekaligus pakar wearables device di Icahn School of Medicine Mount Sinai, riset yang dilakukan Scripps Research Translational Institute ini “menarik” dan “penting”, khususnya perihal potensi smartwatch sebagai alat pemantau Long Covid bagi pasien corona.
ADVERTISEMENT
“Ini adalah studi yang menarik, dan saya pikir ini penting,” ujar Hirten, yang tidak terlibat dalam penelitian baru tersebut. “Wearable device menawarkan kemampuan bagi kita untuk dapat memantau orang secara diam-diam dalam jangka waktu yang lama untuk melihat secara objektif — bagaimana sebenarnya virus itu memengaruhi mereka.”