Cerita Butet Manurung Tentang Makna Cantik Bagi Perempuan Rimba

26 September 2018 13:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Butet Manurung saat menghadiri Beauty Talkshow Dove #CantikSatukanKita (Foto: dok. Avissa Harness/ kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Butet Manurung saat menghadiri Beauty Talkshow Dove #CantikSatukanKita (Foto: dok. Avissa Harness/ kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Untuk merayakan keberagaman kecantikan perempuan Indonesia dan mendukung terciptanya lingkungan yang positif dan inklusif, Dove membuat gerakan kampanye bertajuk #CantikSatukanKita.
ADVERTISEMENT
Dove menjelaskan bahwa di tahun 2017 mereka telah melakukan riset kepada 300 perempuan Indonesia yang diberi nama Indonesia Beauty Report 2017 yang hasilnya menyimpulkan bahwa perempuan Indonesia masih banyak yang meragukan kecantikannya sendiri karena adanya standar kecantikan tertentu.
Namun hal tersebut ternyata tidak berlaku bagi perempuan-perempuan rimba. Standar kecantikan yang mereka miliki tidak diukur dari penampilan fisik, melainkan dari kemampuan mereka dalam melakukan berbagai hal. Hal ini disampaikan oleh Butet Manurung, pelopor pendidikan di kawasan terpencil yang banyak bertemu dengan perempuan rimba di berbagai daerah.
Saur Marlina Manurung atau yang akrab disapa Butet Manurung dalam acara peluncuran kampanye Dove #CantikSatukanKita, Selasa (25/9) di Jakarta, bercerita bahwa perempuan rimba tidak pernah meragukan kecantikan yang mereka miliki.
ADVERTISEMENT
Butet sendiri adalah seorang perempuan asal Medan, Sumatera Utara yang memiliki keinginan kuat untuk hidup di hutan sejak kecil. Meski sempat ditentang oleh orang tuanya, pada tahun 1999 Butet memantapkan diri untuk menjelajahi hutan di daerah Sumatera.
Butet Manurung saat mengajar di Sokola Rimba (Foto: IG: @butet_manurung)
zoom-in-whitePerbesar
Butet Manurung saat mengajar di Sokola Rimba (Foto: IG: @butet_manurung)
Tidak hanya menjelajah, ibu dua anak ini juga memiliki tekad mulia, yaitu ingin memberikan pendidikan kepada orang-orang di pedalaman hutan. Setelah berjuang kurang lebih lima bulan dan melewati berbagai penolakan, Butet akhirnya diterima oleh masyarakat rimba di Jambi. Ia mulai hidup bersama orang rimba di Jambi, tepatnya di hutan bukit Duabelas pada tahun 2000.
“Bagi masyarakat adat, pendidikan itu tidak ada dalam adat budaya mereka. Jadi ketika mereka mengizinkan saya untuk mengajar, mereka mengingatkan bahwa jika terjadi malapetaka, itu semua karena ulah saya yang membuat mereka melanggar adat,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu, Butet dan rekan-rekannya mulai menjelajahi daerah lain dan mendirikan Sokola Rimba yang kini sudah tersebar di 16 daerah. Mulai dari Aceh, Jambi, Flores, Halmahera, Papua, Sumba, Sulawesi Selatan, hingga Jember.
Oleh karena itu, tidak heran jika Butet begitu dekat dan mengenal karakter para perempuan-perempuan di pedalaman hutan.
Butet Manurung bersama Orang Rimba dari hutan bukit Duabelas. (Foto: IG: @butet_manurung)
zoom-in-whitePerbesar
Butet Manurung bersama Orang Rimba dari hutan bukit Duabelas. (Foto: IG: @butet_manurung)
“Perempuan rimba di Jambi dulu menganggap saya tidak cantik karena saya tinggi dan hidung saya terlalu mancung. Karena definisi cantik bagi mereka itu bertubuh kecil, mungil, dan hidungnya pesek,”cerita Butet Manurung saat sesi talkshow Dove #CantikSatukanKita.
Menurut Butet, karakter geografis dan kebudayaan membuat standar kecantikan mereka berbeda dengan perempuan di luar rimba. Karena mereka tinggal di hutan, maka tubuh mungil bisa memudahkan mereka untuk berjalan di hutan.
ADVERTISEMENT
Definisi cantik di semua daerah juga berbeda-beda. Seperti di Papua misalnya, perempuan disana harus bisa memanggul dan mencari sagu, jadi memiliki otot dan tubuh yang kuat merupakan sebuah kecantikan bagi mereka.
Masyarakat rimba di Jambi menganggap bahwa perempuan yang cerewet dan pemarah justru mendapat banyak perhatian dari laki-laki. Karena bagi laki-laki rimba, jika perempuan itu cerewet maka mereka akan selalu memastikan anak-anaknya mendapat makan yang cukup.
“Setiap masyarakat adat memiliki tingkat kecantikan tersendiri. Definisi cantik bagi mereka menurut saya lebih adil, karena mereka lebih menilai seseorang dari apa yang dilakukan, bukan dari apa yang terlihat atau secara fisik. Mereka tidak dipaksa untuk menjadi orang lain dan mereka memiliki acuan bahwa perempuan harus bisa bekerja,” ungkap perempuan berusia 46 tahun ini.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya memiliki standar kecantikan yang berbeda, tetapi perempuan di rimba juga sangat berbeda dengan perempuan di luar. Perempuan sangat diistimewakan di dunia rimba, mereka sangat dihormati, dan sangat dimuliakan. Bahkan mereka yang mewarisi semua harta nantinya.
Dan untuk laki-laki, ketika mereka sudah bertunangan dengan perempuan yang menjadi pilihannya. Mereka sudah harus tinggal bersama keluarga perempuan untuk mengabdi dan memberi makan semua keluarga perempuan. Jadi kedudukan perempuan sudah sangat tinggi bahkan sejak sebelum menikah.
“Pada masyarakat rimba di Jambi, laki-laki tidak boleh sembarangan memandang perempuan. Jika mereka ingin tersenyum kepada perempuan, mereka harus tersenyum tanpa memandang. Tetapi perempuan boleh secara bebas memandangi laki-laki, namun tidak boleh membalas senyumannya. Jika membalas, maka mereka akan dinilai sebagai perempuan yang tidak anggun dan tidak baik,” ungkap Butet.
ADVERTISEMENT
Perempuan rimba juga saling memiliki keterikatan yang kuat. Mereka saling mendukung satu sama lain. Sejak kecil, mereka tidak akan tinggal jauh dari keluarganya. Perempuan akan membangun rumah sendiri yang dekat dengan rumah ibunya. Mereka akan belajar bersama tentang keahlian yang harus dimiliki oleh perempuan rimba.
Bagi perempuan rimba, karakter dan kemampuan diri mereka yang menentukan kecantikan dirinya. Selama mereka mampu melakukan keahlian perempuan, maka mereka akan menilai diri mereka cantik, dan perempuan rimba tidak pernah meragukan hal itu.