kumplus- Lipsus Mikroplastik di Udara Jakarta- COVER

Waspada Polusi Mikroplastik di Udara Jakarta (1)

3 Januari 2022 11:55 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sebuah labu ukur bervolume dua liter diletakkan di atap gedung Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Ancol, Jakarta Utara, dengan ketinggian 28 meter dari tanah. Labu ukur itu diisi 250 ml air dengan corong berdiameter 20 cm yang kemiringannya sekitar 45 derajat.
“Kami mau melihat apakah ada mikroplastik di udara Jakarta,” kata Reza Cordova, peneliti oseanografi BRIN, kepada kumparan, Rabu (29/12).
Mikroplastik adalah partikel plastik yang panjangnya mulai dari 1 mikron (0,0001 cm) sampai 5.000 mikron (0,5 cm) dalam bentuk fiber/serat (memanjang), fragmen (tidak beraturan), dan foam/busa polistirena serta granula (bulat).
Reza menjadi koordinator dalam penelitian tersebut. Ia dibantu lima peneliti lain, yakni Anna Ida Sunaryo Purwiyanto, Tri Prartono, Etty Riani, Yuli Naulita, dan Alan Frendy Koropitan.
Anna Ida mengatakan, labu ukur dipakai untuk mengambil sampel mikroplastik dalam kurun Maret 2018 sampai Februari 2019. Pada periode itu, sampel diambil selama tiga hari setiap bulannya, yakni tiap tanggal 16, 17, dan 18. Sampel-sampel tersebut langsung dianalisis di laboratorium Pusat Penelitian Oseanografi LIPI.
“Jadi yang didapat hari ini apa, kami ambil sampelnya, bersihkan, lalu pasang lagi untuk hari kedua,” ucap Anna.
Ilustrasi Lab LIPI. Foto: LIPI
Proses analisis di laboratorium dilakukan bertahap. Pertama, sampel mikroplastik yang masuk labu ukur berisi air disaring dengan ukuran 5 mm sampai 200 mikron. Kedua, mikroplastik yang tersaring diberi cairan hidrogen peroksida (H2O2) untuk menghilangkan sedimen seperti lumut atau lumpur yang mungkin menempel padanya.
“Kalau tidak dibersihkan [dengan H2O2], akan susah diidentifikasi di mikroskop. Takutnya salah identifikasi, semisal rambut yang seperti benang nanti dikira serat kain padahal bukan,” jelas Anna.
Ketiga, mikroplastik diidentifikasi menggunakan mikroskop untuk mengetahui bentuk dan panjangnya. Terakhir, keempat, mikroplastik dimasukkan ke dalam spektrometer fourier-transform infared untuk dicek kandungan senyawa kimianya.
“Alat itu untuk mengetahui jenis mikroplastik, apakah polyester, polystyrene, polybutadine, atau polyethylene,” ujar Anna.
Ilustrasi mikroplastik. Foto: Getty Images
Dari serangkaian uji lab tersebut, para peneliti menemukan jawaban inti: udara Jakarta terkontaminasi mikroplastik sebanyak 3 sampai 40 partikel per meter persegi per hari, atau rata-rata 15 partikel per meter persegi per hari.
Selain itu, jumlah mikroplastik lebih banyak pada musim hujan daripada musim kemarau. Pada musim hujan Maret–April 2018 dan November 2018–Februari 2019, didapat 9–23 partikel mikroplastik per meter persegi per hari, sementara pada musim kemarau Mei–Oktober 2018, didapati 1,9–5 partikel per meter persegi per hari.
“Asumsinya, kalau hujan, partikel mikroplastik menempel ke butiran air hujan. Karena semakin berat [terbawa air hujan], jadi makin cepat turun dan masuk labu ukur,” kata Anna.
Di Jakarta, riset kandungan mikroplastik di udara ini adalah yang pertama kali. Sebelumnya, penelitian mikroplastik sebagai polutan baru lebih fokus di perairan atau Teluk Jakarta.
Sementara di Indonesia, penelitian mikroplastik di udara Jakarta merupakan yang kedua setelah Surabaya pada 2019. Dalam penelitian di Surabaya oleh dosen Teknik Lingkungan ITS Arie Dipareza Syafei dkk, ditemukan kandungan mikroplastik berjumlah 110 sampai 1.771 partikel per meter persegi per hari di udara Surabaya.
Perbandingan ukuran mikroplastik dan partikel lain. Ilustrasi: Tim Kreatif kumparan
Di Jakarta, penelitian Reza dkk mengungkap bahwa mikroplastik di udara ibu kota mayoritas berukuran 300–500 mikron (87,88%), dan sisanya berukuran 500–1.000 mikron (12,12%). Ukuran 300–500 mikron pula yang mendominasi penemuan mikroplastik di udara Dongguan, Shanghai, dan Yantai-China, serta di London. Sementara di Surabaya dominan ukuran 500–1.000 mikron.
Mikroplastik di udara Jakarta mayoritas berbentuk fiber (86,36%), fragmen (10,61%) dan foam (3,03%). Temuan banyaknya mikroplastik berbentuk fiber juga serupa seperti di Paris (45% dari semua mikroplastik), Dongguan (90,11%), Surabaya (97,46%), London (97,7%), Yantai di timur China (60%), dan negara bagian Victoria di Australia (45,7–100%).
Sementara dari jenis susunan senyawa kimia, mayoritas mikroplastik di udara Jakarta merupakan polister berbentuk fiber (81,82%), polybutadine berbentuk fiber dan fragmen (masing-masing 7,58%), dan polistirena berbentuk foam (3,03%).
Hasil penelitian tersebut dimuat dalam Marine Pollution Bulletin dengan judul “The deposition of atmospheric microplastics in Jakarta-Indonesia: The coastal urban area” pada 9 Desember 2021.
Peneliti BRIN Muhammad Reza Cordova. Foto: ipb.ac.id

Dari mana asal polusi mikroplastik?

Berdasarkan jenis polimernya, mayoritas mikroplastik di udara Jakarta merupakan polister berbentuk fiber. Artinya, polusi mikroplastik berasal dari serat kain di pakaian. Seiring penggunaannya, serat kain pakaian—yang kini didominasi bahan sintetis—terlepas ke udara.
“Sebenarnya saat kita bergerak itu ada gesekan mikroplastik walaupun hanya 1–2 partikel yang lepas. Penelitian kolega kami di Inggris menyatakan, semakin sering pakaian dicuci, akan semakin cepat lepas benang [serat kain] tersebut,” ucap Reza.
“Serat kain ini enggak semuanya menempel. Pakaian kita kan mayoritas bahannya sintetis. Semisal digosok-gosok bajunya, kadang suka ada serat kain yang lepas, itu mikroplastik,” imbuh Anna.
Selain dari baju yang dipakai sehari-hari, sumber polusi mikroplastik jenis polister bisa berasal dari industri tekstil. “Seperti sablon, pasti ada yang terkikis serat kainnya setelah disablon dan diangin-angin, dijemur, itu bisa lepas [serat kainnya],” ujar Anna.
Namun, perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikannya. Menurut Reza, berdasarkan sejumlah riset yang telah ada, industri tekstil menyumbang polusi mikroplastik ke air melalui pembuangan limbahnya, bukan ke udara.
Ilustrasi kain polister. Foto: Shutter Stock
Dominasi mikroplastik berjenis polister di udara juga ditemukan di 39 kota di China, negara bagian Victoria di Australia, Madrid, Meksiko, dan Paris. Ini juga tak lepas dari budaya fesyen di sebagian tempat tersebut karena masyarakatnya gemar berganti-ganti pakaian.
“Kalau di negara maju, mikroplastik banyak yang fiber karena gaya hidup, fashion culture,” kata Reza.
Sumber polusi mikroplastik lainnya berasal dari abrasi ban mobil maupun motor. Ini diketahui dari polimer jenis polybutadine yang jumlahnya mencapai 15,16% pada penelitian tersebut. Terlebih, lokasi sampel berada dekat dengan Tol Lingkar Dalam Jakarta.
Sementara mikroplastik berjenis polistirena sebesar 3% berasal dari sampah wadah makanan (styrofoam).
Juru Bicara Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Yogi Ikhwan, mengatakan temuan soal mikroplastik di udara ini merupakan fakta baru yang akan dipelajari. “Kami baru tahu sekarang, setelah ada [penelitian di] jurnal ini.”
Pemprov DKI hingga kini terus berupaya menekan penggunaan plastik, misalnya dengan melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai di pusat perbelanjaan, baik pasar rakyat maupun minimarket.
Ilustrasi mikroplastik di pantai. Foto: Shutter Stock

Seberapa banyak polusi mikroplastik di udara Jakarta?

Dibandingkan penelitian di tempat lain, temuan mikroplastik di udara Jakarta (3–40 partikel per meter persegi per hari) masih tergolong rendah. Di Surabaya, misalnya, mikroplastik di udaranya mencapai 110–1,771 partikel per meter persegi per hari. Sementara di Paris 110 partikel per meter persegi per hari, di Dongguan 36 partikel per meter persegi per hari, di Hamburg 275 partikel per meter persegi per hari, dan di London 771 per meter persegi per hari.
Walau demikian, jumlah yang lebih rendah di Jakarta bukan berarti bisa diabaikan, sebab hasil penelitian dipengaruhi oleh lokasi dan ketinggian tempat, serta kepadatan penduduk di wilayah itu.
Mayoritas sampel riset mikroplastik di udara dilakukan di pusat kota dengan ketinggian rata-rata 15 meter. Khusus di Surabaya, tempat pengambilan sampel berada di tiga jalan utama dengan ketinggian hanya 1,2 meter.
Dari segi populasi, kepadatan penduduk di Paris mencapai 7.900 penduduk per kilometer persegi, China 3.373 penduduk per kilometer persegi, Jerman 1.487 penduduk per kilometer persegi, dan London 5.701 penduduk per kilometer persegi.
Sedangkan penelitian Reza dkk dilakukan di Ancol yang notabene dekat dengan garis pantai, sehingga polusi mikroplastik kemungkinan banyak tersapu angin ke Teluk Jakarta.
Selain itu, sampel diambil pada ketinggian 28 meter (lebih tinggi dari rata-rata pengambilan sampel di kota-kota besar di dunia). Kepadatan penduduk Ancol tempat lokasi sampel diambil pun hanya 99 jiwa per kilometer persegi. Dengan kata lain, sampel belum merepresentasikan Jakarta, melainkan hanya wilayah Ancol di Jakarta Utara.
Kawasan Ancol, Jakarta. Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
Awalnya Reza dkk mengira bahwa pada ketinggian 28 meter, udara di Ancol masih cukup bersih dan tidak terkontaminasi. Nyatanya, ternyata ada kandungan mikroplastiknya.
“Ketika di gedung tinggi saja banyak [polusi mikroplastik], apalagi di jalanan yang berdekatan dengan aktivitas masyarakat di pusat kota,” kata Reza.
“Temuan 3–40 partikel mikroplastik ini di lokasi yang tinggi, di daerah coastline. Tapi kalau sampling diambil di Bundaran HI mungkin hasilnya jauh lebih tinggi daripada di Ancol,” timpal Anna.
Penelitian Reza dkk ini merupakan riset awal yang perlu menjadi perhatian. Yogi Ikhwan mengatakan, belum bisa disimpulkan apakah mikroplastik sudah mencemari udara Jakarta, sebab mikroplastik belum masuk dalam Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU).
Sesuai Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri LHK, parameter ISPU terdiri atas partikulat (PM10), partikulat (PM2.5), karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida (SO2), ozon (O3), dan hidrokarbon (HC).
Bahaya Mengintai di Udara Jakarta. Foto: Tim Kreatif kumparan
Menurut Reza, ukuran mikroplastik di udara Jakarta yang panjangnya 300–500 mikron masih dapat terhirup atau terinhalasi. Namun, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), partikel yang bisa terhirup manusia hingga masuk paru-paru umumnya di bawah 30 mikron.
“Sebenarnya kalau yang diinhalasi, jangankan 30 mikron, yang 1 milimeter (1.000 mikron) saja bisa masuk ke dalam hidung kita,” ujar Reza.
Anna Ida mengatakan, alat yang digunakan saat penelitian hanya bisa menyaring minimal 200 mikron, sehingga partikel yang berukuran kurang dari 200 mikron tak terdeteksi. Oleh sebab itu, bisa saja ada partikel mikroplastik berukuran di bawah 200 mikron di udara.
Anna pun memperbaiki metode penyaringan itu dalam penelitian lain untuk disertasi S3-nya di IPB. Ia mengambil sampel mikroplastik di Muara Dadap, Tangerang, selama dua bulan dengan ketinggian sekitar 1–2 meter. Ini lebih rendah dari sampel di Ancol yang diambil di 28 meter. Ia juga menggunakan alat yang bisa menyaring mikroplastik di udara sampai 0,45 mikron.
Hasil penelitian mandiri Anna menemukan bahwa partikel mikroplastik di Muara Dadap berjumlah puluhan per meter persegi per hari. Adapun ukurannya banyak yang di bawah 2,5 mikron.
Peneliti IPB Anna Ida Sunaryo Purwiyanto. Foto: Research Gate
“Mikroplastik di bawah 200 mikron, bahkan 20 mikron atau 5 mikron, ya sama seperti virus. Kalau itu ditemukan jadi problem karena semakin kecil ukurannya, akan semakin mudah masuk ke dalam tubuh. Ukuran sel yang diserap hingga saluran darah di paru-paru itu kurang dari 15 mikron,” kata Reza.
Masuknya mikroplastik ke dalam tubuh bukan cuma lewat udara. Menurut Reza, sumber mikroplastik yang masuk ke tubuh utamanya melalui air mineral dalam kemasan (AMDK), kedua dari udara, dan terakhir melalui makanan seperti biota laut.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2016, sebanyak 31,3% masyarakat Indonesia mengonsumsi air minum dari AMDK. Jumlah ini merupakan yang tertinggi dibandingkan sumber konsumsi air lain seperti air ledeng, pompa, sumur, air hujan, mata air, dan lain-lain.
Menurut data tersebut, apabila dihitung sesuai populasi masyarakat, pada 2016 sekitar 81,88 juta jiwa masyarakat Indonesia mengonsumsi AMDK. Padahal berdasarkan studi Mason dkk pada 2018 mengenai AMDK, sebanyak 93% dari 259 sampel botol AMDK yang diambil dari berbagai negara, termasuk Indonesia, mengandung mikroplastik.
Mason dkk mengambil sampel AMDK di Medan, DKI Jakarta, dan Bali. Hasilnya, AMDK di tiga kota tersebut mengandung mikroplastik dengan ukuran 6,5–100 mikron sejumlah 3.722 partikel di Medan, 133 partikel di Jakarta, dan 4.713 partikel di Bali.
Berdasarkan riset terbaru Laboratorium Kimia Anorganik Universitas Indonesia dan Greenpeace Indonesia pada September 2021, ditemukan partikel mikroplastik berukuran rata-rata 25,57 mikron sampai 27,06 mikron di air minum dalam kemasan galon sekali pakai. Kandungannya 80 juta–95 juta partikel per liter.
Ilustrasi galon air. Foto: Getty Images
Berdasarkan analisis konsentrasi, air minum dalam kemasan galon sekali pakai mengandung mikroplastik paling banyak 5 miligram per liter. Temuan ini tidak melebihi batas aman yang ditetapkan WHO sebesar 20 miligram per liter. Namun, menurut Greenpeace Indonesia, bila air minum di galon sekali pakai dikonsumsi dalam jangka panjang, risikonya bisa tinggi bagi kesehatan manusia.
Dosen dan peneliti lingkungan Fakultas Biologi UGM, Andhika Puspito, mengatakan bahwa paparan mikroplastik melalui biota laut yang dimakan manusia juga tak boleh dikesampingkan.
Berdasarkan risetnya tahun lalu terhadap ikan hasil tangkapan nelayan di laut selatan Yogyakarta, ditemukan belasan mikroplastik dalam daging ikan. Kandungan mikroplastik di ikan itu mayoritas berjenis polyethylene.
“Polyethylene itu sumbernya dari kantong plastik, tas kresek, atau botol minuman,” kata Andhika.
Menurutnya, konsumsi biota laut yang mengandung mikroplastik dalam waktu lama juga bisa berdampak pada kesehatan manusia. Belum lagi jika mikroplastik yang termakan ikan turut membawa unsur pencemar lain.
“Mikroplastik bisa berikatan dengan pencemar lainnya. Semisal logam berat atau pestisida bisa menempel pada mikroplastik. Ini akan menjadi lebih bahaya ketika mikroplastik masuk dalam tubuh manusia,” ucap Andika.
Reza dan Andhika berharap pemerintah memperhatikan berbagai temuan mengenai mikroplastik ini, baik di air maupun udara. Keduanya mengusulkan agar mikroplastik ditetapkan sebagai ISPU dan Baku Mutu Air Laut.
Penetapan ISPU atau Baku Mutu Air Laut merupakan wewenang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sejak temuan parasetamol di Teluk Jakarta beberapa waktu lalu, Kementerian LHK membentuk gugus tugas dari berbagai instansi untuk meneliti seluruh emerging pollutants atau polutan-polutan baru, termasuk mikroplastik.
Nantinya, gugus tugas ini bakal menetapkan batas aman bagi seluruh emerging pollutants di laut, sungai, maupun udara.
Dampak mikroplastik, bisa jadi, memang tak main-main.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten