Fenomena Astronomi dan Mitos soal Wabah Penyakit

14 Mei 2020 14:07 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi hujan meteor Foto: NASA/JPL
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hujan meteor Foto: NASA/JPL
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Meramalkan suatu kejadian dengan melihat benda-benda langit seperti meteor, komet, dan asteroid telah menjadi kepercayaan lintas generasi, salah satunya dalam kebudayaan masyarakat Jawa. Menurut Dr. Sri Murni, M.Kes, dosen Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia, tradisi mengaitkan fenomena astronomi dengan peristiwa tertentu sebenarnya telah ada sejak zaman Mesopotamia, sekitar 4.000 tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Kemunculan benda-benda di luar angkasa, lanjutnya, kerap dikaitkan sebagai pertanda datangnya wabah penyakit. Wabah penyakit menular COVID-19 seperti yang kita alami saat ini dalam masyarakat Jawa dikenal dengan istilah pagebluk. Bagi masyarakat Jawa, khususnya yang tinggal di sepanjang Pantai Selatan, kerap mengaitkan pagebluk dengan mitos Ratu Pantai Selatan.
Pagebluk ditandai dengan banyaknya korban yang tidak tertolong karena pagi sakit, sore meninggal atau sebaliknya. Orang Jawa yang tinggal di sepanjang Pantai Selatan amat mempercayai jika ada pagebluk itu artinya Ratu Pantai Selatan sedang menggelar hajatan,” ujar Sri, saat dihubungi kumparanSAINS, Selasa (12/5).
Ilustrasi hujan meteor Foto: Flicker/Jeff Sullivan
Dalam antropologi, dikenal kajian folklore yang mempelajari kepercayaan masyarakat terhadap suatu wabah penyakit. Manifestasi kepercayaan lantas melahirkan sejumlah ritual untuk mengusir atau menangkal wabah tersebut.
ADVERTISEMENT
Ritual itu pada akhirnya memiliki banyak fungsi. Pertama, manusia diingatkan tentang siapa dirinya yang ternyata tidak mampu melawan virus, kuman, bakteri sumber penyakit, dan mengingat kembali kepada Sang Pencipta.
Kedua, manusia diingatkan tentang hidup harmoni bersama alam. Alam dirusak menyebabkan polusi sumber penyakit yang berdampak pada kehidupan manusia itu sendiri. Pandemi COVID-19 memberi pembelajaran bagaimana lingkungan menjadi lebih bersih dan sehat dengan pembatasan gerak interaksi manusia. Misal, munculnya lumba-lumba di sepanjang sungai Venesia, Italia, seperti yang dilaporkan pada Maret 2020 lalu. Atau, langit Jakarta yang lebih biru tanpa gangguan polusi sejak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan untuk memutus rantai penularan virus corona.
Asteroid raksasa 1998 OR2. Foto: Dr. Gianluca Masi/Virtual Telescope Project
Ketiga, manusia diingatkan untuk hidup harmoni dengan sesamanya. Pembatasan jarak dan pembatasan sosial setidaknya mengurangi friksi dan konflik yang terjadi karena interaksi intens. Keharmonisan hubungan Tuhan-Manusia-Alam perlu dijaga.
ADVERTISEMENT
“Apabila salah satu dari tiga unsur itu terganggu maka bencana, wabah penyakit, akan menimpa umat manusia sebagai sebuah peringatan. Harusnya manusia belajar dari setiap kejadian seperti wabah penyakit menular. Namun, kadang setelah wabah itu berlalu, kepongahan dan keserakahan manusia kembali muncul,” jelas Sri.
Selain dipercaya sebagai kemunculan suatu wabah penyakit, fenomena jatuhnya meteor juga erat menjadi pengarah hidup bagi sebagian orang. Lapisan masyarakat tertentu seperti nelayan dan petani, misalnya, masih menganut perbintangan untuk memulai suatu kegiatan yang berkaitan dengan mata pencaharian mereka.
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
***
Yuk! Bantu donasi atasi dampak corona.