Saksi Ungkap Kaitan Perusahaan Ketua Komisi III DPR Herman Hery dengan Bansos

14 Juni 2021 20:49 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Komisi III Herman Hery di Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan, Rabu, (30/10/2019).
 Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Komisi III Herman Hery di Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan, Rabu, (30/10/2019). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Ketua Komisi III DPR Herman Hery disebut punya keterkaitan dengan proyek bansos. Perusahaan milik politikus PDIP itu yakni PT Dwi Mukti Graha Elektrindo disebut merupakan pemasok barang untuk vendor bansos.
ADVERTISEMENT
Hal itu disampaikan oleh saksi bernama Ivo Wongkaren. Ia merupakan pegawai yang berada di grup perusahaan tersebut.
"Untuk bansos ini, saya kerja di grup PT Dwi Mukti Graha Elektrindo, punya Pak Herman Hery. Saya tidak langsung di Dwi Mukti tapi di grupnya," kata Ivo Wongkaren di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, dikutip dari Antara, Senin (14/6).
Ivo menjadi saksi untuk mantan Menteri Sosial Juliari Batubara. Politikus PDIP itu didakwa menerima suap Rp 32,482 miliar dari 109 perusahaan penyedia bansos COVID-19.
"Saya pernah menjabat sebagai direktur di PT Dwi Mukti sekitar 2017-2018. Kami sebenarnya suplai bahan-bahan bangunan dan elektronik serta Dwi Mukti punya pabrik listrik untuk peralatan listrik," ungkap Ivo.
Kementerian Sosial salurkan bantuan sosial (bansos) untuk lanjut usia (lansia) terdampak pandemi corona di 5 provinsi. Foto: Kemensos
Menurut Ivo, PT Dwi Mukti terlibat untuk pengadaan bansos sembako COVID-19 di Kemensos karena diajak direktur sekaligus pemilik PT Anomali Lumbung Artha bernama Teddy yang ingin ikut pengadaan bansos. Keduanya, pada awal April 2020 lalu, pergi ke kantor Kemensos untuk mengajukan penyediaan bansos.
ADVERTISEMENT
Keduanya lalu bertemu dengan Sekretaris Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial (Linjamsos) M.O. Royani. Dari Royani, keduanya lalu berkenalan dengan Kabiro Umum Kemensos Adi Wahyono yang juga menjabat sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam pengadaan bansos dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Matheus Joko Santoso.
Adi Wahyono dan Matheus Joko saat ini turut berstatus sebagai terdakwa. Keduanya didakwa bersama-sama menerima suap dengan Juliari Batubara.
"Saya hanya ingin memastikan proses pembayaran, bagaimana surat pemesanan dan proses lainnya dan dijelaskan oleh Pak Adi dan Pak Joko bahwa pembayarannya 'by progress' artinya begitu ada tanda terima (bansos) baru barang bisa dibayar," ungkap Ivo.
Akhirnya PT Anomali memesan barang-barang bansos ke PT Dwi Mukti.
"PT Anomali buka PO (purchase order) ke kami, kami beli dari pabrik, ada minyak goreng, biskuit, sarden, dan lainnya, semua lengkap ada perjanjian tertulisnya juga," tambah Ivo.
Koordinator MAKI Boyamin Saiman menunjukkan sampel barang bukti berupa paket Bansos COVID-19 yang akan diserahkan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (16/12). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
Jaksa KPK lalu membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Ivo Nomor 15 yang menunjukkan bahwa PT Dwi Mukti Graha Elektrindo menyuplai sembako untuk PT Anomali Lumbung Artha dalam bansos sembako penanganan COVID-19 mulai tahap 3, 5, 6, dan 7 dengan rincian:
ADVERTISEMENT
1. Tahap 3 sebesar 550 ribu paket dengan nilai Rp300 ribu/paket
2. Tahap 5 sebesar 300 ribu paket dengan nilai Rp300 ribu/paket
3. Tahap 6 sebesar 350 ribu paket dengan nilai Rp270 ribu/paket
4. Tahap 7 sebesar 306.900 paket dengan nilai Rp270 ribu/paket sehingga totalnya mencapai 1.506.900 paket.
Perusahaan lain yang juga membeli sembako ke PT Dwi Mukti adalah PT Junatama Foodia dan PT Famindo.
"Direktur PT Junatama namanya Andi Fauzan bicara ke saya katanya mau ikut bansos. Dia dengar dari media kebetulan kita suplai untuk PT Anomali dan Andi tanya bisa suplai juga tidak, lalu saya sampaikan ya bisa saja kalau dapat surat pembelian dari Kemensos ya sama saja akhirnya dia bisa dapat SPPPBJ (Surat Penunjukan. Penyedia Penunjukan Penyedia Barang Jasa)," ungkap Ivo.
ADVERTISEMENT
PT Junatama mengerjakan bansos untuk tahap 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 11 yang masing-masing 200 ribu paket dengan nilai per paket Rp 300 ribu
Sedangkan PT Famindo mengerjakan paket tahap 8, 9, 10, 11, dan 12 dan PT Tara Optima Prima Gro untuk tahap 12 dengan kuota 2 x 250 ribu paket.
"Selain PT Famindo 250 ribu paket, PT Junatama Foodia Grasindo 250 ribu paket, PT Integra Padma Mandiri 250 ribu, dan PT Cita Mitra Arta 250 ribu juga adalah perusahaan-perusahaan yang ambil PO di Saudara?" tanya jaksa KPK M Nur Azis.
"Dua pertama itu benar, kalau yang lain saya harus cek lagi," jawab Ivo.
"Kenapa PT Dwi Mukti malah tidak pernah memasukkan penawaran?" tanya jaksa.
Kementerian Sosial salurkan bantuan sosial (bansos) untuk lanjut usia (lansia) terdampak pandemi corona di 5 provinsi. Foto: Kemensos
"Karena ini bukan bidang kami, kami juga tidak pernah kerja dengan Kemensos dan Dwi Mukti sebenarnya untuk suplai grup kami sendiri karena kami punya hotel, kami sebenarnya hanya 'purchasing' dan tidak untuk tender di tempat lain," ungkap Ivo.
ADVERTISEMENT
Atas setiap suplai paket sembako tersebut, PT Dwi Mukti, menurut Ivo, mendapat keuntungan Rp 28.000-Rp 30.000 per paket.
Terkait keluar masuk uang, Ivo mengatakan melaporkannya ke Herman Hery.
"Saya lapor penggunaan uang perusahaan setiap putaran, sudah beli sekian, penggunaan sekian tapi tidak terlalu detail. Beliau (Herman Hery) juga hanya menyampaikan jangan sampai ada keterlambatan karena mengakibatkan anomali tidak bisa membayar ke Dwi Mukti," kata Ivo.
Dalam sidang sebelumnya disebutkan bahwa untuk pengadaan 1,9 juta paket bansos sembako COVID-19 tahap 7-12, yakni 1 juta paket dimiliki oleh Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Herman Hery; sebesar 400 ribu paket dimiliki mantan Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ihsan Yunus; 200 ribu paket dimiliki Juliari Batubara; dan 300 ribu dikoordinasikan oleh Kabiro Umum Kemensos Adi Wahyono dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) bansos COVID-19 dengan istilah Bina Lingkungan.
ADVERTISEMENT

Posisi Herman Hery

Ketua KPK Firli Bahuri dan Ketua Komisi III Herman Hery. Foto: Paulina Herasmaranindar/kumparan
Dalam persidangan, Ivo Wongkaren menjelaskan komposisi kepemilikan saham perusahaan penyuplai barang bansos sembako itu. Termasuk keterkaitan Herman Hery.
"Apa pemilik PT Dwi Mukti adalah Herman Hery?" tanya jaksa penuntut umum (JPU) KPK M Nur Azis.
"Iya, Beliau anggota DPR dari PDIP, ketua komisi III," jawab Ivo.
Dalam situs resmi DPR, tercantum bahwa Herman Hery pernah menjabat di Dwi Mukti Group sebagai CEO/Owner. Namun, disebutkan bahwa jabatan itu dalam kurun tahun 1995-2004.
"Sebagai pemilik?" tanya jaksa.
"Pemilik saham 100 persen, 'direct' dan 'indirect' Pak Herman Hery," jawab Ivo.
"Tahu dari mana pemilik 100 persen saham?" tanya ketua majelis hakim Muhammad Damis.
"Dari anggaran dasar perusahaan, saya pernah baca," jawab Ivo.
ADVERTISEMENT
"Di dalam anggaran dasar disebut kepemilikan saham tunggal?" tanya hakim Damis
"Direct dan indirect, ada atas nama istrinya, ada atas nama anaknya," jawab Ivo.
"Berarti bukan dia sendiri, tidak logis kalau perusahaan terbatas pemegang saham hanya 1, menurut UU Perseroan Terbatas pemegang saham minimal 2," tambah hakim Damis.
"Kalau Vonny Kristiani siapa?" tanya jaksa.
"Istri Beliau," jawab Ivo.
"Floreta Tanne?" tanya jaksa.
"Masih Saudara Beliau," jawab Ivo.
"Stevano Rizki?" tanya jaksa.
"Anak Beliau," jawab Ivo.
Ivo mengaku tidak menduduki jabatan pengurus saat pelaksanaan bansos dilakukan pada April-November 2020. Ia pun mengaku sudah kenal dengan Juliari Batubara sejak 10-15 tahun lalu.
"Kenal ketua Ikatan Motor Indonesia, saya di bawah asosiasi motor, gocar," ungkap Ivo.
ADVERTISEMENT
Terkait dugaan keterlibatan Herman Hery, KPK pernah memeriksanya dalam rangka penyelidikan. Namun, ia tidak menjelaskan lebih lanjut soal pemeriksaannya itu. Ia hanya menyebut kedatangannya untuk memberikan klarifikasi.
Dalam kasus ini, Juliari Batubara didakwa menerima suap terkait bansos COVID-19. Tak tanggung-tanggung, dalam dakwaan disebutkan bahwa total suap yang diterima oleh politikus PDIP itu mencapai Rp 32,4 miliar.