Pasal Penghinaan dan Kritik di KUHP Dinilai Membingungkan

7 Desember 2022 17:43 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Acara diskusi soal penyempitan ruang publik oleh lembaga survei KedaiKOPI, Selasa (6/12).  Foto: Luthfi Humam/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Acara diskusi soal penyempitan ruang publik oleh lembaga survei KedaiKOPI, Selasa (6/12). Foto: Luthfi Humam/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
KUHP yang baru saja disahkan DPR menuai polemik sebab dinilai memuat pasal-pasal yang membingungkan dan multitafsir seperti pasal 240, 241, 218, dan 219.
ADVERTISEMENT
Di antara pasal multitafsir itu adalah Pasal 240, sebagai berikut:
(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.
(4) Aduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara tertulis oleh pimpinan pemerintah atau lembaga negara.
Ketua Komisi III, Bambang Wuryanto melaporkan tingkat II/pengambilan keputusan atas RUU tentang KUHP pada sidang Paripurna di gedung parlemen DPR, Jakarta, Selasa (6/12/2022). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Dalam Penjelasan:
ADVERTISEMENT
Yang dimaksud dengan “menghina” adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak kehormatan atau citra pemerintah atau lembaga negara, termasuk menista atau memfitnah. Menghina berbeda dengan kritik yang merupakan hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa atau menyampaikan pendapat yang berbeda dengan kebijakan pemerintah atau lembaga negara. Dalam negara demokratis, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan pemerintah atau lembaga negara. Pada dasarnya, kritik dalam ketentuan ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pemerintah” adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang dimaksud dengan “lembaga negara” adalah MPR, DPR, DPD, MA, dan MK.
ADVERTISEMENT
Penggiat HAM sekaligus Plt. Ketua Bidang Studi Hukum Pidana dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Asfinawati, menyoroti penjelasan pasal tersebut mengurai kritik bersifat konstruktif. Padahal, tak melulu kritik itu konstruktif.
“Itu justru membingungkan ya. Karena kita berdebat, yang konstruktif apa? Biasa mereka bilang harus ada sarannya dong. Lho yang digaji siapa, kok kita disuruh kasih saran. Bukannya ada mereka tuh yang dengan segenap kementerian dan lembaga yang bikin riset, kenapa masyarakat diharuskan untuk memberikan saran,” ucap Asfinawati di acara diskusi KedaiKOPI pada Selasa (6/12).
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) 2017-2021 itu mencontohkan potret Sumarsih yang berjuang mengungkap kasus kematian anaknya dalam tragedi Semanggi, tapi tak membuahkan hasil.
"Kalau dia marah karena negara tidak mengungkap kebenaran siapa pelaku sebenarnya yang bukan cuma aktor lapangan, kemudian dia mengeluarkan kata-kata kasar karena marah itu, masa dia di penjara? Bukankah yang salah itu negara sehingga ada orang yang sangat marah karena haknya terganggu dan dia menjadi bisa ditafsirkan kasar? Itu kan tetap kritik seharusnya," bebernya.
ADVERTISEMENT
Kecuali, kata Asfinawati, kalau orang marah misal menyoroti fisiknya Presiden Jokowi yang tidak ada hubungannya dengan cara memerintah. Itu baru masuk penghinaan personal.
"Tetapi kan pertanyaannya untuk apa ada pasal sendiri kan sudah ada pasalnya penghinaan umum," tuturnya.
Dengan adanya pasal-pasal KUHP yang ‘mengistimewakan’ lembaga negara, maka membuat tidak ada persamaan masyarakat di mata hukum.
“Nanti kalau pejabat sekarang di KUHP sekarang ditambahin 1/3 lagi. Artinya menghina pejabat lebih penting daripada menghina rakyat dan itu lagi-lagi menunjukkan tidak ada persamaan di depan hukum,” ujar dia.