MA Kabulkan Gugatan Rachmawati soal Mekanisme Pemenang Pilpres 2 Calon

7 Juli 2020 17:46 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bendera Merah Putih berkibar di Gedung MA Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Bendera Merah Putih berkibar di Gedung MA Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan pendiri Yayasan Pendidikan Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri dkk yang mempersoalkan aturan penetapan capres terpilih dalam Pilpres apabila hanya diikuti 2 paslon.
ADVERTISEMENT
Aturan tersebut termaktub dalam Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU (PKPU) Nomor 5/2019 yang berbunyi:
Dalam hal hanya terdapat 2 Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pasangan calon terpilih.
MA dalam putusan perkara nomor 44 P/HUM/2019, menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UU Pemilu dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan itu diketok pada 28 Oktober 2019 atau 4 bulan setelah KPU menetapkan Jokowi-Ma'ruf sebagai pemenang Pilpres 2019. Sementara putusan lengkapnya baru diunggah pada 3 Juli 2020.
"Menyatakan ketentuan Pasal 3 ayat (7) PKPU RI Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," bunyi putusan perkara yang ditangani Supandi selaku ketua majelis serta Irfan Fachruddin dan Is Sudaryono masing-masing sebagai anggota.
Rachmawati Soekarnoputri. Foto: Garin Gustavian Irawan/kumparan
Gugatan ini diajukan Rachmawati ke MA pada sekitar Mei 2019 atau sebulan setelah pencoblosan pada April 2019. Rachmawati yang merupakan pendukung paslon 02, Prabowo-Sandiaga, menilai Pasal 3 ayat (7) PKPU cacat hukum karena bertentangan dengan UU Pemilu dan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Saat itu, Rachmawati meminta KPU menghentikan implementasi pasal tersebut, termasuk proses penghitungan suara hingga putusan MA terbit.
Setelah membaca argumen hukum Rachmawati selaku pemohon dan KPU sebagai termohon, MA pada akhirnya menyatakan Pasal 3 ayat (7) PKPU 5/2019 tak memiliki kekuatan hukum mengikat.
MA menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 416 UU Pemilu dan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 yang mengatur adanya syarat minimal perolehan suara bagi paslon terpilih. Syarat tersebut yakni capres dan cawapres terpilih harus memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pilpres dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bunyi lengkap UU Pemilu sebagai berikut:
1) Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 jumlah provinsi di Indonesia;
2) Dalam hal tidak ada Pasangan Calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 2 (dua) Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
3) Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 2 (dua) Pasangan Calon, kedua Pasangan Calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
ADVERTISEMENT
MA menilai syarat dalam UU tersebut mencerminkan presiden yang dipilih rakyat haruslah mencerminkan presiden yang mendapatkan dukungan dari mayoritas rakyat pemilih dalam Pilpres.
"Baik dalam bentuk kuantitas maupun dukungan yang tersebar di provinsi-provinsi dan pasangan calon capres/cawapres dalam konstelasi pilpres tidak hanya terkonsentrasi di beberapa wilayah padat penduduk saja. Sedangkan daerah-daerah yang dianggap kurang strategis (luas secara geografis namun sedikit jumlah pemilihnya) terabaikan dan tidak terakomodir keinginan serta aspirasinya dalam proses kampanye mengenai visi, misi, dan program masing-masing peserta Pilpres, oleh karena Presiden Republik Indonesia ialah sebagai lambang NKRI dan simbol pemersatu bangsa," jelas MA dalam pertimbangannya.
Mahkamah Agung (MA) Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
MA menambahkan, apabila syarat tersebut tidak diterapkan dalam Pilpres mendatang, bukan tidak mungkin ke depan capres-cawapres hanya fokus memenangkan Pilpres di daerah-daerah strategis saja seperti pulau Jawa dan beberapa provinsi yang jumlah pemilihnya besar.
ADVERTISEMENT
"Sehingga representasi suara rakyat di daerah-daerah yang dianggap kurang strategis (wilayahnya luas secara geografis, namun jumlah pemilihnya sedikit) akan hilang begitu saja berdasarkan prinsip simple majority yang tentunya justru bertolak belakang dengan maksud dibuatnya UU Pemilu yang merupakan penjabaran ulang terhadap norma yang terkandung dalam Pasal 6A ayat 3 UUD 1945," ucap hakim MA.
Sementara itu Komisioner KPU, Hasyim Asy'ari, menilai putusan MA tersebut tak membatalkan hasil Pilpres 2019 yang menempatkan Jokowi-Ma'ruf sebagai pemenang.
Sebab, Jokowi-Ma'ruf dalam Pilpres 2019 mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum, tepatnya sebanyak 85.607.362 suara atau 55,50%.
Komisioner KPU Hasyim Asyari. Foto: Paulina Herasmaranindar/kumparan
Selain itu, kata Hasyim, paslon Jokowi-Ma'ruf juga unggul di lebih dari setengah jumlah provinsi yang ada di Indonesia. Dalam Pilpres 2019, Jokowi-Ma'ruf menang di 21 provinsi, sementara Prabowo-Sandi menang di 13 provinsi.
ADVERTISEMENT
"Hasil Pilpres 2019 dengan pemenang Paslon 01 Jokowi-Amin sudah sesuai dengan ketentuan formula pemilihan (electoral formula) sebagaimana ditentukan oleh Pasal 6A UUD 1945 (konstitusional)" ucap Hasyim dalam keterangannya.
Adapun Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, mengatakan syarat sebaran suara di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia pernah dibahas di MK pada 2014. Saat itu pihaknya menguji aturan yang tercantum di Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres.
Suasana sidang Pengujian Materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Titi menggugat pasal tersebut lantaran Pilpres 2014 hanya diikuti 2 paslon yakni Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Ia menilai ketentuan harus ada putaran kedua jika tak memenuhi syarat hanya memboroskan anggaran dan memicu ketidakstabilan politik.
MK akhirnya memutuskan syarat dalam Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres inkonstitusional bersyarat sepanjang Pilpres hanya diikuti dua paslon.
ADVERTISEMENT
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
***
Saksikan video menarik di bawah ini.