Komisi III DPR Jamin Pasal Contempt of Court Tak Ancam Kebebasan Pers

18 September 2019 21:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pers Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pers Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Komisi III DPR menjelaskan ketentuan Pasal 281 di revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang segera disahkan. Pasal itu mengatur contempt of court atau penghinaan terhadap proses peradilan.
ADVERTISEMENT
Aturan tersebut dinilai bisa memberangus kemerdekaan pers. Sebab kritik terhadap putusan hakim bisa dianggap menghina dan terancam pidana 1 tahun penjara. Berikut bunyi pasalnya:
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II, Setiap Orang yang:
a. tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;
b. bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau
c. secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.
ADVERTISEMENT
Namun ancaman terhadap kebebasan pers itu ditepis anggota Komisi III DPR Fraksi PPP, Arsul Sani. Ia mengatakan wartawan tidak perlu takut dengan aturan yang ada di dalam pasal itu.
Sebab, menurut Arsul, pasal itu tidak serta merta bisa memidanakan para jurnalis yang merekam dan meliput kegiatan atau proses pengadilan.
"Yang diributkan oleh teman-media media kan ada tuh, Pasal 281 ayat 4 kalau enggak salah, tanpa izin hakim, tidak boleh kemudian merekam, menyebarluaskan itu bagian dari contempt of court. Itu proses persidangan. Kalau bacanya pasal itu tok, maka itu benar memang pasal itu akan menjerat para wartawan, semua yang di pressroom nanti akan kena palu hakim," ujar Arsul di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9).
ADVERTISEMENT
"Tetapi ini harus dibaca, saya harus menjelaskan ini karena yang menulis penjelasannya adalah saya. Itu kita kasih penjelasan bahwa yang dimaksud proses persidangan dalam pasal tersebut adalah proses persidangan yang tertutup," imbuhnya.
Lebih lanjut, Arsul menilai jika persidangan itu terbuka, maka jurnalis tidak bisa dipidana. Sebaliknya jika ada seorang wartawan yang merekam dan meliput kegiatan sidang yang sifatnya tertutup, maka yang bersangkutan bisa dipidanakan.
Arsul Sani saat diwawancara di Gedung DPR. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
"Atau proses persidangan di mana hakim telah memyampaikan kepada yang hadir bahwa itu tidak boleh disiarkan. Bahwa yang ini tidak boleh kaya di (kasus) Jessica itu lho disiarkan live oleh TV. Tidak boleh. Tapi kalau hakimnya enggak ngomong apa-apa, ya siarkan ke seantero jagad ya silakan aja," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Arsul menambahkan, kekhawatiran serupa juga datang dari kalangan advokat. Sebab advokat yang mengkritisi putusan hakim terancam dipidanakan. Namun menurut Arsul itu tidak benar. Dia menjelaskan, selama seseorang melawan atau menentang putusan pengadilan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, maka itu tidak bisa dipidanakan.
"Saya kan advokat, semua teman saya juga protes, karena di sana dikatakan setiap orang yang menentang putusan, perintah pengadilan, akan dipidana sekian-sekian. Nah di situ saya kasih juga penjelasan, yang dimaksud dengan perintah pengadilan dalam proses persidangan itu adalah melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum," jelas Arsul.
"Contoh, ada perintah dari ketua pengadilan dari eksekusi pengosongan, terus yang dilakukan oleh pengacaranya taruh preman di situ banyak, nah itu bisa dipidana. Tapi kalau yang dilakukan oleh pengacaranya itu mengajukan perlawanan atau bantahan ya enggak bisa dipidana. Karena itu sesuai dengan jalur hukum," tutupnya.
ADVERTISEMENT