Ilustrasi senja di Kota Tua Jakarta

Jakarta, Kota yang Lahir di Atas Lumpur

27 Januari 2020 18:41 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jakarta lahir dari lumpur sungai yang mengalirinya. Dulu manusia yang mendiaminya berdamai dengan air, kini malah menantangnya. Lalu datanglah banjir.
Jan Pieterszoon Coen akhirnya menghembus napas terakhir setelah tiga hari sakit perut. Ia diyakini terkena wabah disentri dan kolera yang tengah merebak di pemukiman Batavia. Hari itu bertarikh 21 September 1629 di Batavia, kota yang dibangun oleh Coen itu sedang dalam malapetaka.
Kota itu terjebak dalam pengepungan pasukan Mataram dan lumpur Sungai Ciliwung yang mengendap di kanal-kanal Oud Batavia, menyebar penyakit. Boleh dikata, Coen adalah penguasa pertama yang nyawanya direnggut oleh Sungai Ciliwung.
Prahara lumpur Ciliwung memang tak lepas dari tangan besi Coen membangun Batavia menjadi kota benteng. Gubernur Jenderal Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) itu pertama-tama membangun tiga kanal untuk mengurai banjir dari Sungai Ciliwung pada 1619.
Tapi pembangunan ini justru membawa bencana. Lumpur Ciliwung tak dapat dikendalikan oleh kanal, material yang dibawa sungai dari gunung-gunung di Selatan Jakarta itu mengendap di kanal lalu menyebar penyakit. Hulu Ciliwung itu adalah Gunung Gede Pangrango, Halimun, dan Salak.
“Korban pertama dari kesalahan, keangkuhan terhadap ekologi (Sungai Ciliwung) tersebut ya Belanda. Belanda datang dia kemudian menerapkan arsitektur ruang yang tidak mempedulikan sama sekali konsep arsitektur ruang di Timur,” ucap Sejarawan JJ Rizal di Komunitas Bambu, Depok, Jawa Barat, Kamis (23/1).
Aliran Sungai Ciliwung diambil pada 1918. Foto: Dok. Leiden University Libraries
Tangan Belanda mengurus Ciliwung inilah, kata Rizal, yang menjadi biang kerok banjir Jakarta. Coen memaksa pembangunan Batavia agar mirip dengan kota-kota di Belanda untuk mengendalikan aliran Ciliwung.
Pembangunan kanal yang dilakukan Coen tak hanya di Oud Batavia (Kota Tua) saja. Sejarawan Restu Gunawan menuliskan dalam disertasinya Kala Air Tidak Lagi Menjadi Sahabat: Banjir dan Pengendaliannya di Jakarta Tahun 1911-1985, bahwa pembangunan kanal oleh Coen dilanjutkan dengan pembangunan parit hingga pelebaran kanal yang ada.
Pembangunan ini juga dilanjutkan oleh Gubernur Jenderal VOC setelahnya, seperti Antonio van Diemen (1635-1645). Ia membangun kanal mengelilingi tembok kota dan membuat larangan pembuatan pemukiman dari kayu atau bambu di dekat rumah tembok.
Kanal di luar kota sendiri juga mulai dibuat seiring dengan maraknya pembukaan perkebunan tebu. Namun kanal ini mengotori sungai karena limbah panen tebu.
Selain itu kanal menjadi sarana transportasi hasil bumi dari selatan dan juga penghubung kota benteng dengan beberapa bastion di sekitarnya. Beberapa villa mewah milik petinggi VOC seperti Jacob Mossel (Gubernur Jenderal VOC pada 1750-1761) di tikungan Kali Ciliwung, sekarang RSPAD Gatot Subroto, juga kemudian dihubungkan oleh kanal.
Kondisi Kali Ciliwung. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Pembangunan kanal dilakukan juga menyambungkan beberapa sungai di Jakarta. Misal saja pada 1682, seorang tuan tanah, Vincent Van Moock, membangun terusan dari Sungai Cisadane ke Sungai Angke. Ia mendapat imbalan karena terusan ini dipercaya membantu penggelontoran terusan di Batavia bagian hilir.
Tetapi mutu air yang buruk memaksa penutupan sementara saluran ini. Penutupan baru dibuka setelah dibangun pintu air untuk mengendalikan terusan dari Cisadane. Lagipula pada musim kemarau muara di Batavia mengering dan menjadi menjadi sarang nyamuk dan penyakit, terutama malaria.
Beroperasinya pintu air ini tetap mengancam Batavia dengan banjir. Dan biaya perawatan saluran tetap tinggi karena ancaman longsor.
Pembangunan kanal-kanal ini membuat Batavia menjadi kota yang indah ‘pada abad 16-17 hingga dijuluki Queen of The East. Tetapi pembangunan kanal ini juga berakibat menumpuk lumpur di muara. Aliran sungai Ciliwung yang berkelok harusnya mampu mengurangi sedimentasi tetapi sistem kanal yang lurus justru memperlancar lumpur hingga ke muara.
Penumpukan lumpur di muara ini membuat penyakit di musim kemarau karena menjadi sarang nyamuk dan bakteri. Pada saat itu penduduk masih menggunakan sungai sebagai saluran pembuangan. Sedangkan di musim kemarau banjir terjadi karena pendangkalan muara.
Petugas BPBD Kota Bogor memantau tinggi muka air sungai Ciliwung di Bendung Katulampa, Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (1/1/2020). Foto: ANTARA FOTO/Arif Firmansyah
VOC sendiri sudah membangun Bendung Katulampa secara sederhana bebarengan dengan kebutuhan irigasi pertanian di sekitar Bogor dan Depok. Pembangunan ini disetujui oleh Gubernur Jenderal Gustaaf Willem van Imhoff. Tetapi kondisinya masih sangat sederhana sehingga mudah rusak.
“Pemerintah memutuskan untuk membangun bendungan permanen Katulampa pada 13 April 1911,” tulis Restu Gunawan.
Namun selesainya bendungan itu tak mampu menahan banjir besar yang melanda Jakarta. Puncak banjir terjadi pada 1918. Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johan Paul van Limburg Stirum lantas membangun Kanal Banjir Barat dimulai dengan Pintu Air Manggarai hingga Muara Angke.
Hingga kini Bendung Katulampa sendiri masih menjadi sarana vital untuk menghadang banjir Jakarta. Tetapi pada masa kemerdekaan banjir tetap terus terjadi.
Restu memberikan catatan bahwa penguasaan tanah di Jakarta cenderung tak terkontrol karena bertambahnya jumlah penduduk. Beberapa kawasan wetland (bertanah basah) yang seharusnya tidak dihuni dipaksa untuk dibangun.
Kawasan ini tak hanya meliputi lingkup kawasan basah Sungai Ciliwung saja, tetapi juga sungai lain di Jakarta. Misalnya saja wilayah Kuningan dan Pondok Jaya Mampang yang menjadi floodplain bagi Sungai Krukut.
Sejarawan JJ Rizal. Foto: Marcia Audita/kumparan
Sejarawan JJ Rizal mengungkap salah satu jalan untuk menekan banjir itu adalah mengembalikan hakikat Sungai Ciliwung. Beberapa kawasan di bagian selatan Jakarta aliran Ciliwung masih alami dengan sempadan rimbun yang dapat menahan air dan lumpur.
“Wilayah-wilayah inilah yang seharusnya dikembangkan oleh pemerintah agar Jakarta tidak banjir. Jangan kemudian dibangun beton karena itu sama saja mengulang kegagalan Belanda,” tegasnya.
Ia mengingatkan Jakarta lahir sebagai peradaban di pinggir kali yang menghormati semua sungai. Sistem yang dibawa Belanda dengan kanal-kanalnya justru merusak fungsi alamiah aliran sungai. Tak ayal jika Batavia selalu terancam banjir.
Dulu masyarakat Betawi sendiri menghormati sungai. Hal terbukti dengan berbagai ritual yang kini punah, seperti Ngancak yakni memberikan sedekah pada sungai. Beberapa perlambangan binatang sungai seperti buaya menjadi hewan sakral. Tak hanya itu makanan Betawi berupa ikan sungai juga banyak.
Infografik Banjir Jakarta. Foto: Dimas Prahara/kumparan
Bentuk budaya dari lauk makanan, cerita rakyat, hingga binatang sakral ini menunjukkan betapa akrabnya Betawi dengan sungai. Jika hubungan ini sudah tak harmonis maka sungai bakal menjadi malapetaka bagi siapapun yang mendiami lingkungan sekitarnya,
Tio, seorang pegiat naturalisasi sungai Ciliwung di kawasan Tanjung Barat, Jakarta Selatan, mengaku mendapatkan resep untuk memelihara lingkungan sekitar sungai dari para tetua. Beberapa tanaman Pakis yang ia tanam di Taman Gintung, Sungai Ciliwung, Tanjung Barat terbukti dapat menahan laju air dan lumpur sebelum mengalir ke Jakarta.
Tanaman itu terendam air jika banjir datang. Tetapi ketika air surut maka akan menjadi wilayah publik.
“Konsep yang dari dulu sih sebenarnya, yang udah nenek moyang turunin. Jadi, gimana cara bersinergi kita sama sungai, itu ada beberapa pohon yang harus kita tanem,” ucap Tio ketika ditemui di Tanjung Barat pada Jumat (24/1).
Area Bermain di Taman Gintung. Foto: Ratmia Dewi/kumparan
Sejarawan Alwi Shahab menuliskan dalam bukunya Queen of The East, bahwa Jakarta memang kampungnya air. Nama-nama tempat di ibukota identik dengan rawa, pulo (Pulau), tegal (tegalan), dan Jati (hutan jati). Misal saja Rawa Bangke, Rawa Buaya, Tegal Parang, Kramat Pulo, dan lainnya.
Tempat itu biasa menjadi tempat parkir air ketika hujan deras turun. Tanah lapang yang kosong biasa menjadi penampung air. Ketika pemukiman merambah ke tempat-tempat itu, sudah dipastikan mereka akan kena banjir.
“Kalau dulu hujan dapat ditampung di rawa, pulo, hutan, dan tegalan yang banyak terdapat di Jakarta. Kini tidak ampun lagi menyerang penduduk yang telah menjadi penghuninya. Ekologi Jakarta sudah makin runyam dan rusak sejak dibangunnya Pluit, Muara Karang, Pantai Indah Kapuk, dan banyak tempat lagi menjadi perumahan elit,” tulis Alwi.
Ilustrasi senja di Kota Tua Jakarta Foto: Shutter Stock
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten