IDI: 159 Dokter Meninggal karena Corona, di Jatim 28% Praktik Pribadi

16 November 2020 17:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas ambulans yang mengenakan pakaian hazmat, tiba di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta Utara, Kamis (5/3). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Petugas ambulans yang mengenakan pakaian hazmat, tiba di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta Utara, Kamis (5/3). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat sudah ada 159 dokter di Indonesia meninggal dunia melawan corona. Wakil Ketua Umum IDI, dr. Moh Adib Khumaidi, mengatakan, sebagian besar dokter yang gugur bukan bekerja di RS rujukan COVID-19.
ADVERTISEMENT
"Pada saat kita rinci dari 159 dokter itu, bahkan dia yang kerja di rujukan COVID-19, itu rendah, yang sebagian besar dia tidak bekerja di tempat yang jadi rujukan COVID-19, ini jadi gambaran risiko terjadi pada seluruh aspek pelayanan," ujar Adib dalam talkshow di Graha BNPB, Senin (16/11).
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr. Moh. Adib khumaidi, SpOT Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Adib merinci, 159 dokter tersebut sebagian besar merupakan dokter umum. Untuk itulah, IDI terus mengingatkan dokter untuk menerapkan sistem keamanan di fasilitas kesehatan.
"Karena dari 159 dokter yang meninggal, 84 itu dokter umum, data di Jawa Timur, 28 persen dari praktik pribadi, 22 persen dari Puskesmas, artinya ada problem sistem safety di tempat Faskes tersebut," kata Adib.
Selain 159 dokter, per 10 November, sudah ada 114 perawat meninggal dunia. Saat ini, IDI fokus untuk mendukung sarana dan prasarana pencegahan COVID-19 untuk melindungi tenaga kesehatan.
ADVERTISEMENT
"Itu satu gambaran ada suatu problem yang kita perbaiki, edukasi yang sesering mungkin ke Tenakes yang saat ini bekerja berkaitan safety culture dan behaviour safety-nya," ungkap Adib.
Ilustrasi corona. Foto: Maulana Saputra/kumparan
"Tapi pada saat kita bicara culture yang harus diterapkan dan bahkan jadi suatu bagian yang harus dilakukan 1-2 tahun ke depan sebagai AKB (Adaptasi Kebiasaan Baru) harus didukung preventif, didukung sarana prasarana, fasilitas kesehatan, di mana kita bekerja di tempat yang risiko minimal atau tidak ada risiko," imbuh Adib.
Adib menyebut, melalui tim mitigasi, IDI sudah membentuk program doctor safe and doctor protect. Program ini dilakukan untuk memprioritaskan dokter yang sakit.
"Kalau ada yang sakit segera diobati, karena kunci utama di COVID-19 adalah timing, pada saat kita timing bagus yang segera mendapat penanganan dan di tempat pelayanan yang punya sarana prasarana, insyaallah dia akan sembuh, dan beberapa contoh kasus kita mendapatkan itu," kata Adib.
ADVERTISEMENT