Guru Besar FISIP UI: Penyusunan Statuta UI Tidak Cermat, Cacat Materiil

27 Juli 2021 14:08 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anggota Dewan Guru Besar UI, Prof Dr Sudarsono.  Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Anggota Dewan Guru Besar UI, Prof Dr Sudarsono. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Profesor Sudarsono, anggota Guru Besar FISIP Universitas Indonesia (UI) menyayangkan adanya ketidaktelitian penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) Statuta UI Nomor 75/2021 yang merupakan hasil revisi dari PP lama.
ADVERTISEMENT
Dosen yang merupakan anggota Dewan Guru Besar (DGB) Universitas Indonesia tersebut menyoroti Pasal 41 ayat 5 dalam PP 75/2021 yang berbunyi:
Rektor sebagai pimpinan satuan pendidikan tinggi berhak mengangkat dan/atau memutuskan jenjang jabatan akademik, termasuk jabatan fungsional peneliti, fungsional lektor kepala, dan guru besar, berdasarkan hasil penilaian terhadap kualifikasi akademik, kompetensi, dan pengalaman yang dimiliki.
Sudarsono menilai, frasa 'mengangkat dan/atau memutuskan' pada ayat tersebut berpotensi menimbulkan kecacatan materiil dari sudut pandang hukum administrasi.
Alasannya, frasa tersebut tidak mengatur secara rigid terkait penurunan jabatan yang ditulis sebagai kewenangan Rektor.
"Bila Pasal 41 ayat (5) itu dimaksudkan untuk mengatur kewenangan Rektor terkait promosi pejabat fungsional UI, maka paket pengaturannya adalah juga harus termasuk demosi, bahkan mestinya juga mutasi dan pemberhentian," ungkap Sudarsono, Selasa (27/7).
Kampus Universitas Indonesia, Depok. Foto: Universitas Indonesia
Sudarsono mengurai, frasa 'mengangkat' dalam Pasal 41 ayat 5 hanya akan mengatur terkait promosi jabatan. Sedangkan tidak ada rincian soal aturan kewenangan demosi atau penurunan jabatan. Ia yakin hal itu justru memicu penafsiran yang berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
"Frasa "mengangkat" dalam Pasal 41 ayat (5) tentu hanya terkait dengan promosi. Pertanyaannya, di mana Pasal yang mengatur tentang demosi? Apakah kata "memutuskan" itu yang dimaksud sebagai kewenangan demosi atau sebagai pemberhentian?" tuturnya.
Masalah lain yang bisa timbul, imbuhnya, jika terkait kewenangan demosi tidak diatur maka akan memicu sengketa demosi di kemudian hari. Menjadi kewenangan siapa demosi itu dalam PP 75/2021 tidak jelas.
"Bila kelak timbul sengketa demosi, misalnya antara seorang dosen dengan pimpinan Departemen, Fakultas atau pimpinan UI, kemudian dibawa ke PTUN, pertanyaannya: hakim TUN, dan para pihak yang berperkara akan bekerja berdasarkan pasal mana?" tuturnya.
Sudarsono menegaskan, para perancang Statuta UI seharusnya bekerja dengan lebih cermat, sehingga mengurangi potensi timbulnya cacat materiil PP 75/2021.
ADVERTISEMENT
Polemik Statuta UI ini pertama mengemuka ketika Rektor UI Ari Kuncoro terungkap merangkap sebagai Wakil Komisaris BRI sejak Februari 2020. Padahal pada saat itu, statuta UI melarang rektor rangkap jabatan menjadi pejabat BUMN.
Terkait polemik ini, ternyata Presiden Jokowi menerbitkan PP baru Statuta UI pada 2 Juli 2021 yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75/2021 yang merupakan hasil revisi dari PP lama. Salah satu isinya rektor boleh merangkap sebagai komisaris.
PP tersebut menuai polemik dan Dewan Guru Besar UI dalam rapat pleno 23 Juli 2021 juga telah memutuskan secara bulat bahwa PP 75/2021 memiliki cacat formil dan menuntut pencabutan PP tersebut.
===