Denny Indrayana: Hukuman Ringan Hakim Guntur Hamzah Bukti Tukar-Guling di MK

21 Maret 2023 16:24 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (24/7/2020).  Foto: ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (24/7/2020). Foto: ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Guru besar hukum tata negara, Denny Indrayana, mengaku sudah tak yakin atas independensi dan integritas mayoritas hakim di Mahkamah Konstitusi saat ini.
ADVERTISEMENT
Salah satunya penyebabnya, kata Denny, adalah sanksi ringan yang diterima oleh Hakim Guntur Hamzah atas pelanggaran etik yang ia lakukan.
Guntur Hamzah terbukti melanggar etik karena mengubah kalimat dalam vonis terkait pergantian Aswanto selaku Hakim Konstitusi oleh DPR. Meski demikian, Guntur Hamzah hanya mendapat vonis ringan, yaitu teguran tertulis.
"Hukuman sanksi ringan kepada Hakim Guntur Hamzah atas kesalahan yang sangat fundamental, yaitu mengubah putusan MK, adalah indikasi kuat bahwa hukuman itu adalah tukar-guling untuk Hakim Guntur memutus perkara di MK sesuai kepentingan kekuasaan yang melindunginya," ucap Denny dalam keterangannya, Selasa (21/3).
"Hakim-hakim yang kehilangan integritas akhirnya tetap bertahan di MK dan menyebabkan MK kehilangan independensi dan kewibawaan institusionalnya," lanjutnya.
Denny menilai, sejak perubahan UU MK yang memperpanjang masa jabatan hakim MK menjadi 15 tahun atau hingga usia 70 tahun, maka sebenarnya para hakim konstitusi ini sudah mendapat gratifikasi jabatan. Mereka, kata Denny, sudah kehilangan moralitasnya sebagai negarawan.
ADVERTISEMENT
"Ditambah dengan pemberhentian sewenang-wenang kepada Hakim Aswanto, MK semakin kehilangan independensinya. Maka, berharap banyak untuk MK menunjukkan wibawanya sebagai pengawal konstitusi, saya khawatir, ibarat punguk merindukan bulan," tegasnya.
Denny melanjutkan, keberadaan hakim konstitusi yang berkomporomi dengan pelanggar konstitusi dan toleran dengan kepentingan politik sesaat bisa membahayakan. Termasuk juga membahayakan bagi kualitas Pemilu 2024 mendatang.
"MK sebagai pemutus akhir sengketa Pemilu 2024 berpotensi akan tetap diisi oleh mayoritas hakim konstitusi yang mengambil keputusan demi menuntungkan kekuasaan, kontestasi parpol, atau capres dengan imbalan menyelematkan posisinya sebagai hakim konstitusi," pungkasnya.