BEM Hingga AJI Kritik Tindakan Represif Polisi Saat Bubarkan Mahasiswa

25 September 2019 17:10 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Konferensi Pers LBH Jakarta terkait Demo Mahasiswa 24 September. Foto: Ricky Febrian/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Konferensi Pers LBH Jakarta terkait Demo Mahasiswa 24 September. Foto: Ricky Febrian/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Aksi unjuk rasa mahasiswa menolak UU KPK, RKUHP, dan RUU lainnya yang dinilai bermasalah pada Selasa (24/9) berakhir ricuh. Banyak pihak yang menyayangkan tindakan aparat kepolisian yang dinilai represif ketika membubarkan massa.
ADVERTISEMENT
Kepala Tim Kampanye Amnesty International Indonesia, Puri Kencana Putri, menyebut tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian aneh karena tidak sesuai dengan aturan yang ada.
"Apa ukuran dari Polres Jakarta Pusat sebagai komandan kompi dengan mengambil status warna merah sehingga dilakukan penyemprotan water canon hingga penembakan gas air mata," kata Puri di LBH Jakarta, Rabu (25/9).
Puri menilai polisi tidak mampu mengambil langkah negosiasi dengan massa mahasiswa. Ia juga menyayangkan tidak ada upaya dari polisi untuk mempersuasi massa mahasiswa.
"Kapolres tidak mampu mengambil negosiasi dan tidak ada ungkapan yang persuasif yang keluar dari mulut Kapolres seperti yang dilakukan oleh Kapolres Jakarta Pusat pada saat kejadian 21-22 Mei," tuturnya.
Hal ini juga disetujui oleh Presma Universitas Siliwangi. Salah seorang perwakilan Presma Universitas Siliwangi menyayangkan tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian ketika membubarkan massa mahasiswa. Menurutnya, aparat bertindak tidak sesuai dengan SOP yang ada.
ADVERTISEMENT
"Ada beberapa teman kami masih di rumah sakit dan masih ada di Polda. Tindakan yang dilakukan kemarin tidak sesuai SOP yang ada. Pergerakan mahasiswa kemarin itu bukan terjadi hanya di Jakarta, tapi terjadi di seluruh Indonesia dalam waktu yang bersamaan," ujar Wakil Presma Universitas Siliwangi.
Tidak hanya mahasiswa, Aliansi Jurnalis Independen juga menyayangkan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap sejumlah jurnalis. Divisi Advokasi AJI, Joni, mengungkapkan mereka mengalami kekerasan karena merekam tindakan represif yang dilakukan terhadap massa mahasiswa.
Konferensi Pers LBH Jakarta terkait Demo Mahasiswa 24 September. Foto: Ricky Febrian/kumparan
"Di Jakarta ada 4, Makassar 3, dan sehari sebelumnya ada 3. Wartawan Kompas.com, ID Times, Katadata, mereka mengalami kekerasan oleh polisi karena merekam kekerasan yang terjadi. Semalam juga mobil Metro TV dirusak oleh massa," ungkap Joni.
ADVERTISEMENT
"Di Makassar juga dapat laporan. Wartawan Antara, inikata.com, Makassar Today mengalami pemukulan karena merekam kekerasan yang dilakukan polisi. Di Papua juga ada 3 wartawan, seperti sudah di target oleh kepolisian," lanjutnya.
Joni menilai aksi kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap wartawan polanya hampir sama saat unjuk rasa 21-22 Mei di Bawaslu. Saat itu, kata dia, banyak aparat kepolisian yang melarang mereka mengambil gambar.
"Hampir seluruh daerah yang ada unjuk rasa, jurnalis ikut jadi korban dari aparat. Hari ini juga masih berlangsung aksi, kami juga terus memantau. Kekerasan yang terjadi sama seperti di kejadian 21-22 Mei di mana polisi tidak mau direkam saat melakukan kekerasan," tuturnya.
Selain kekerasan, Presma Universitas Negeri Semarang juga melaporkan tindakan aparat kepolisian yng menghalangi mereka untuk berangkat ke Jakarta. Menurut dia, tindakan yang dilakukan aparat kepolisian sudah berlebihan.
ADVERTISEMENT
"Kami dapat penghalangan sampai 3 kali. Di Brebes dirazia dengan alasan tidak masuk akal. Saat sampai Tol Cirebon diputar balik lagi ke arah Semarang karena dapat intimidasi dari polisi. Saya rasa ini terlalu berlebihan. Dari kampus juga intimidasi yang kita dapat itu berlebihan," kata perwakilan Presma Universitas Negeri Semarang.