Peluit

Wasit Terjepit di Dalam Pusaran Mafia Bola

26 Mei 2019 15:24 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peluit (ilustrasi) Foto: Ben Stansall
zoom-in-whitePerbesar
Peluit (ilustrasi) Foto: Ben Stansall
ADVERTISEMENT
Bicara sosok Thoriq Munir Alkatiri akan menjadi keanehan di artikel ini. Ia penuh dengan prestasi. Tengok saja gelar wasit terbaik Liga 1 (2014 dan 2018). Titel yang sama direngkuhnya pada turnamen pramusim tahun 2015 dan 2016.
ADVERTISEMENT
Integritas Thoriq tak perlu dipertanyakan. Pria 30 tahun itu bahkan sudah memiliki lisensi FIFA dan masuk jajaran wasit Elite AFC.
Menjadi salah satu wasit terhebat Tanah Air, apakah Thoriq lepas dari cacian? Nyatanya tidak. Keputusannya di lapangan ada saja yang dianggap salah oleh penikmat sepak bola, bahkan oleh si klub yang bertanding.
Cacian terhadap wasit bukan hal baru di sepak bola Indonesia sebaik apa pun korps pengadil memimpin. Seruan semisal “Wasit g*bl*k!” kerap dinyanyikan suporter.
Verbal sudah. Giliran soal fisik. Tak jarang wasit menerima tindak kekerasan usai atau sebelum memimpin sebuah pertandingan.
Ancaman atau intimidasi bak perjanjian yang ada dalam kontrak ketika seseorang memutuskan menjadi wasit. Pertanyaan berikut, seperti apa korps pengadil lapangan hijau menanggapi intimidasi tersebut?
ADVERTISEMENT
“Senior saya pernah cerita, di ruang wasit seseorang dari klub menghampiri dan meletakkan sebuah senjata api serta uang. Dia disuruh memilih. Normalnya manusia, ia akan pilih uang dibanding ditembak mati. Konsekuensinya, ia harus berat sebelah. Lalu, ada di Makassar kalau intimidasi dilakukan sebelum bertanding. Ruangan wasit disemprot pembunuh serangga untuk mengancam,” ujar seorang wasit—selanjutnya disebut Mr. X.
Ungkapan klise bahwa wasit juga manusia memang tak salah. Thoriq memang sebagian kecil dari wasit-wasit Tanah Air yang mampu mengesampingkan ancaman tadi. Ia lebih mengedepankan integritasnya sebagai pengadil dibanding harus memihak salah satu klub yang barang tentu menggangu integritasnya.
Kalaupun Thoriq membuat keputusan kontroversial, itu tak lepas dari kekhilafannya sebagai manusia biasa. Pasalnya, namanya selalu jauh dari anggapan ‘wasit yang berat sebelah’.
ADVERTISEMENT
Wasit (ilustrasi). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Lalu, bagaimana rekan seprofesi Thoriq yang tak mampu mengabaikan intimidasi tadi?
“Setiap tuan rumah pasti minta mau menang. Namun, ada fakta di lapangan kalau misalnya komposisi pemain mereka pas-pasan. Jika tuan rumah menang ‘kan sulit dipercaya. Kami juga sebagai wasit harus lebih pintar dari mereka. Ya, bila mau dibantu, contoh saja, keberpihakan wasit 55 berbanding 45 persen buat tuan rumah. Jangan terlihat memihak banget dan jangan tampak menyakiti salah satunya,” kata Mr. X kepada kumparanBOLA.
Memihak menjadi jalan tengah agar wasit terhindar dari ancaman. Pendeknya, mereka ingin cari aman. Cerita soal intimidasi dari tuan rumah sudah sering terdengar. Rasanya, budaya itu belum berubah hingga kini.
Salah seorang mantan wasit (Mr. Y), yang meminta identitasnya dirahasiakan, membenarkan hal itu. Ia sungguh menyayangkan kalau praktik semacam itu masih halal hingga kini.
ADVERTISEMENT
“Banyak cara untuk ‘meraih kemenangan’ misalnya dengan mengancam wasit. Dulu, kalau Vigit Waluyo di Deltras Sidoarjo itu pasti bawa bodyguard. Itu langsung datang ke ruangan wasit dan tiba-tiba memukul,” tutur Mr. Y saat dijumpai kumparanBOLA di Jakarta.
Mr. Y juga menyebutkan salah satu klub yang dahulu berbasis di Kalimantan kepada kami. Menurutnya, manajer klub tersebut selalu mengintimidasi wasit secara langsung.
Vigit sendiri terbukti sebagai pemain lama. Ia diringkus Satgas Antimafia Bola karena diduga melakukan penyuapan kepada mantan anggota Komite Disiplin PSSI, Dwi Irianto alias Mbah Putih, untuk memuluskan langkah PS Mojokerto Putra lolos ke Liga 1
Intimidasi cuma salah satu cara saja membuat wasit berat sebelah. Praktik kasar itu tak bisa mempan dijalankan ke semua wasit. Masih ada upaya lebih halus yang membuat sang pengadil lapangan ‘luluh’ untuk memihak salah satu klub.
ADVERTISEMENT
Memberikan sejumlah uang kepada wasit menjadi jalan elegan agar si hakim lapangan memihak. Tak cuma itu, bahkan cara tersebut bisa memuluskan langkah yang lebih besar seperti pengaturan laga.
Dalam skandal mafia bola yang sudah memasuki proses pengadilan pun membenarkan praktik tersebut. Dalam kesaksiannya di Pengadilan Negeri (PN) Banjarnegara, Lasmi Indaryani (pelapor skandal pengaturan laga) menyebut bahwa ada pertemuan antara Johar Lin Eng dengan para wasit.
“Waktu itu Tika (Anik Yuni Artikasari) bilang kepada saya, Pak Johar pinjam rumah untuk bertemu dengan wasit-wasit. Katanya, Pak Johar mau memberikan pengarahan kepada wasit-wasit yang bakal memimpin di Liga 3, khususnya Jawa Tengah,” kata Lasmi.
Priyanto (kiri) dan Anik Yuni Kartikasari jalani persidangan perdana kasus Mafia Bola di Pengadilan Negeri Banjarnegara, Jawa Tengah (6/5). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Tak jelas memang isi dalam pertemuan itu. Namun, kemudian hari terungkap kalau pengarahan itu dimaksudkan untuk memuluskan langkah Persibara Banjarnegara yang ingin promosi ke Liga 2.
ADVERTISEMENT
Salah satu wasit yang hadir dalam pertemuan itu, Nurul Safarid, akhirnya pun terciduk dalam skandal pengaturan pertandingan. Ia didakwakan menerima uang sebesar Rp45 juta untuk laga-laga yang harus diatur.
Mr. X sempat menyangkal soal penawaran uang tadi. Namun, ibarat memakan buah simalakama, jalan menerima tawaran rupiah harus dilakukan.
“Saya dengar dari teman-teman, (mereka) dihubungi seseorang menawarkan sejumlah uang. Ya, mau bagaimana lagi. Jadinya, ya, menganggap itu rezeki saja. Kalau tidak diambil pun, nanti wasit yang bahaya ‘kan. Efeknya, di lapangan jadi pusing sendiri. Satu sisi harus menerapkan peraturan yang benar, di sisi lain memikirkan keamanan. Sebetulnya praktik semacam ini jangan cuma wasit yang disalahkan. Toh, kinerja wasit ini akan benar kalau tidak diganggu persoalan demikan,” ujar Mr. X.
ADVERTISEMENT
Penawaran uang kepada wasit juga punya beragam cara. Mantan wasit lain yang dihubungi kumparanBOLA, Mr. Z, mengalami dua cara dalam praktik pemberian uang tersebut.
Pertama, klub yang masih dibanjiri uang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) begitu jor-joran ‘membayar’ wasit agar memihak. Cara kedua, dengan konsep semacam bapak asuh.
“Dulu klub ‘kan pakai dana APBD. Wah seperti raja minyak saja dulu klub itu. Semua tim maunya menang, apalagi tuan rumah. Namun, kalau zaman dulu itu ‘kan wasit yang bayar memang si tuan rumah, bukan PSSI. Jadi, kami datang di sebuah daerah, terus mengajukan ke klub tuan rumah soal transportasi, uang harian, dan sebagainya. Itu sebetulnya hak wasit. Karena yang bayar tuan rumah jadinya memengaruhi kerja wasit juga. Apalagi kalau ada tambahan (bayaran). Artinya, wasit akan loyal ke tuan rumah dong. Masak, tuan rumah yang menjamu harus kita ‘bunuh’? Tidak mungkin seperti itu. Yang bayar, ya, harus dilindungi juga.”
ADVERTISEMENT
“Memihak salah satu tim belum tentu ada ancaman. Namun, karena pembayaran tadi. Ada saja meomennya untuk ‘mencederai’ tim tamu. Pintar-pintarnya wasit saja agar yang disakitin merasa tidak sakit,” katanya.
Konsep kedua atau bapak asuh tadi, menurut penuturan sumber kumparanBOLA itu, harus menurut apa pun pesanan sang bapak. Pasalnya, si bapak asuh tadi ‘menyekolahkan’ wasit-wasit untuk mengambil lisensi.
“Mau tidak mau harus nurut. Dia ‘kan yang menyekolahkan wasit-wasit ini. Jadi, ibarat pekerjaan saja. Kalau tidak nurut, nanti tidak dipakai lagi,” ujarnya.
Wasit memang tak bisa lepas dari potret hitam sepak bola kalau tidak ada yang memulainya. Andaikan saja tuan-tuan pemilik uang tak menyentuh wasit untuk memuluskan langkah timnya meraih kemenangan, pengadil lapangan pun akan bekerja sesuai regulasi Laws of the Game. Kalau praktik itu tidak berhenti, ya, apa boleh buat, wasit sampai kapan pun akan bertuan.
ADVERTISEMENT
====
*Simak liputan kumparanBOLA seputar kasus mafia bola yang berawal di Banjarnegara lewat topik "Membongkar Mafia Bola".
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten