Sunderland

Sunderland Til I Die: Jentaka Panjang si Kucing Hitam

6 April 2020 17:40 WIB
comment
37
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hanya ada satu Bradley Lowery. Foto: Reuters/Russell Cheyne
zoom-in-whitePerbesar
Hanya ada satu Bradley Lowery. Foto: Reuters/Russell Cheyne
Ketika kejayaan belum bisa ditulis lagi, kisah lama digenggam sampai mati.
Sunderland pernah menuliskan cerita hebat di Britania Raya. Industri mereka maju, 16 galangan kapal menjadi pilar utama yang menopang perekonomian kota kecil di timur laut Inggris ini. Dua puluh lima persen kapal-kapal di seluruh dunia diproduksi di kota itu.
Naiknya Margaret Thatcher ke tampuk kekuasaan sebagai perdana menteri pada 1979 mengubah Inggris. Liberalisasi perekonomian dalam skala masif menjadi nama tengahnya.
Entah berapa banyak perusahaan negara yang mengalami swastanisasi. Industri-industri yang dianggap tak memberi keuntungan maksimal ditutup.
Mantan Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher. Foto: DANIEL JANIN / AFP
Kebijakan itu mengacaukan Inggris. Ratusan ribu orang kehilangan pekerjaan, ribuan keluarga babak-belur dihajar kesulitan ekonomi. Kelas pekerja Inggris mengecap bagian terpahit, terlebih karena anggaran pendidikan dan olahraga ikut dikurangi.
Sunderland pincang seketika. Pilar-pilar mereka bertumbangan sejak awal 1980-an. Bahkan pada 1988, dua galangan kapal terakhir di kota itu tutup. Pekerja-pekerja asing datang, membangun kejayaan di kota Sunderland lewat pabrik Nissan.
Keberadaan perusahaan itu tak banyak membantu Sunderland. Bar-bar dipenuhi orang-orang yang kelimpungan mencari pekerjaan. Bir-bir murah menjadi sajian pereda nyeri bagi mereka yang dirongrong keputusasaan.
Satu-satunya yang dapat membikin orang-orang Sunderland lupa akan nasib buruk mereka adalah Sunderland AFC.
Kecewanya Jermain Defoe saat Sunderland harus terdegradasi. Foto: Lee Smith/Reuters
Klub sepak bola itu berdiri pada 1879. Sampai 1900-an awal, mereka masyhur. Empat kali menjadi juara First Division yang di era modern berubah nama menjadi Premier League. Dua gelar juara pada divisi tertinggi ini direngkuh lagi pada 1912/13 dan 1935/36.
Setelahnya, Sunderland malang-melintang di divisi dua dan tiga. Percik gempita itu muncul lagi pada 1973, saat mereka merajai Piala FA. Jatuh-bangun yang lebih banyak jatuhnya belum selesai, hingga akhirnya mereka sampai pada 1985.
Seperti itu komentator berseru saat Sunderland memastikan satu tempat di laga pemungkas Piala Liga Inggris 1985. Sayangnya, pesta tak mencapai klimaks. Sunderland kalah 0-1 dari Norwich City di partai puncak.
Belakangan Sunderland tak ubahnya kota mereka. Pada 2016/17 Sunderland harus terdegradasi dari Premier League untuk pertama kalinya dalam 10 musim terakhir.
Sunderland hanya mencatatkan 24 poin dari keseluruhan 38 laga, hasil dari enam kemenangan, enam imbang, dan 26 kekalahan. Sunderland juga menjadi tim dengan jumlah kebobolan terbanyak ketiga pada musim tersebut. Mereka kemasukan 69 gol, hanya lebih baik dari Swansea City (70 gol) dan Hull City (80 gol).
Nasib Sunderland tidak membaik selama berlaga di Championship 2017/18. The Black Cats alias 'Si Kucing Hitam' kembali finis di dasar klasemen sehingga terdegradasi ke League One.
Sunderland sebagai klub sepak bola tak ubahnya kesialan lain dalam kumpulan cerita muram Kota Sunderland. Kesedihan dan kekecewaan macam ini yang digambarkan oleh Fulwell 73 dalam film serial dokumenter berjudul 'Sunderland Til I Die'.
Season 1 yang rilis pada 2018 dibuka dengan adegan seorang pastor bersama dengan para suporter sedang mendoakan Sunderland di Gereja St.Mary.
“Mari kita berdoa untuk klub sepak bola Sunderland dan kota kita. Bimbing kami dalam cinta kami terhadap kota dan kesebelasan kami. Untuk cinta yang lahir dari gairah. Bantu kami melewati segala amarah dan kekesalan kami,” demikian bunyi doa tersebut.
Para pemain Sunderland merayakan gol di Piala FA 2012. Foto: ANDREW YATES / AFP
Fragmen ini berlebihan jika ditampilkan dalam dokumenter atau cerita yang berkisah tentang sepak bola Italia. Namun, tidak demikian jika yang kita bicarakan adalah sepak bola Negeri Ratu Elizabeth.
Dalam buku yang berjudul 'The Italian Job: A Journey to the Heart of Two Great Footballing Cultures', Gianluca Vialli dan Gabrielle Marcotti menjelaskan perbedaan antara suporter Inggris dan Italia.
Suporter Inggris adalah orang-orang yang menghidupi jargon “If you can’t support when we lose, you can’t support us when we win”. Tak peduli kalah atau menang, suporter akan terus bersama klub. Bagi mereka menjadi suporter adalah identitas.
Marah, kesal, mengumpat, melempar para petinggi dengan botol-botong kosong, menyumpahi, menangis kecewa, itu sudah pasti. Namun, semarah-marahnya suporter Inggris, tak sedikit dari mereka yang akan kembali datang ke stadion jelang kompetisi dimulai untuk memperbarui tiket musiman masing-masing.
Stadion Sunderland Foto: Lee Smith/Reuters
Begitu meninggalkan antrean di depan loket tiket itu mereka bersiap untuk kembali duduk di bangku masing-masing, tempat di mana mereka menghabiskan dua atau tiga jam setiap akhir pekan.
Nukilan ini direfleksikan lewat fragmen pembuka yang menggambarkan kekecewaan para suporter kepada petinggi klub saat Sunderland degradasi pada akhir 2016/17.
Ketika bos-bos itu memasuki mobil mereka masing-masing, sejumlah suporter memberikan tepuk tangan. “Well done, lads. Kalian sudah menghancurkan tim ini.”
Tentu saja para suporter itu sedang menyindir. Yang ingin digambarkan di sini, Sunderland adalah kota pekerja dan sepak bola menjadi elemen utamanya.
Darren Bent dan Kenwyne Jones merayakan gol Sunderland pada 2009. Foto: GRAHAM STUART / AFP
“Hidup di Sunderland susah. Tim kami adalah satu-satunya rasa manis yang masih bisa kami kecap. Sekarang kalian menghancurkannya. Kalian membuat kepahitan dalam hidup kami terasa begitu pekat.”
Jika dapat dibedah, sindiran para suporter tersebut mungkin bakal berbunyi demikian.
***
Optimisme dan kebaruan membutuhkan simbol. Sunderland pada 1990-an sebenarnya menunjukkan gelagat bahwa mereka benar-benar ingin bangkit. 'Kan mereka juara liga enam kali dan kampiun Piala FA dua kali, ya, harus bisa melawan keterpurukan.
Terlepas dari masalah kelayakan dan standar keamanan, untuk itulah Sunderland membangun stadion baru: Stadium of Light.
Gerbang Stadium of Light. Foto: GRAHAM STUART / AFP
Nama stadion ini tak secerah perjalanannya. Bahkan di awal masa perencanaan saja sudah ditolak. Tadinya Sunderland berencana untuk membangun stadion baru mereka di dekat pabrik Nissan.
Namun, perusahaan ini melayangkan gugatan akan perencanaan tersebut. Sunderland mengambil langkah lain. Mereka mempertimbangkan Monkwearmouth sebagai lokasi strategis untuk membangun stadion baru. Lantas, di tempat inilah Stadium of Light berdiri hingga sekarang.
Dalam kolomnya di The Guardian yang berjudul 'What Makes a Great Football Atadium?', Sam Diss menjelaskan apa artinya stadion bagi sebuah klub atau tim. Markas tersebut lebih dari sekadar rumah, stadion adalah identitas.
Pun demikian dengan Stadium of Light. Selain galangan kapal, tambang batu bara menjadi penopang perekonomian Sunderland. Mounkwearmouth tadinya dikenal sebagai pusat galangan kapal dan industri batu bara di area urban Sunderland.
Di depan stadion didirikan patung Davy lamp yang merupakan lampu yang ditemukan oleh Sir Humphry Davy pada 1815 dan biasa digunakan oleh para pekerja tambang. Patung itu adalah penghormatan dari orang-orang Sunderland kepada para pekerja tambang.
Sungai Wear di Sunderland. Foto: ANDY BUCHANAN / AFP
Pembangunan Stadium of Light pada akhirnya menjadi paradoks. Pada satu sisi ia menggambarkan sekuat apa identitas orang Sunderland, di sisi lain ia bicara bahwa identitas [dan kejayaan] itu kini tinggal cerita.
'Sunderland Til I Die' Season 1 yang terdiri dari delapan episode bercerita tentang kebanggaan dan cinta para suporter yang bertahan di tengah keterpurukan.
Persoalan yang ditampilkan tak hanya dirasakan secara kolektif, tetapi juga individu. Sebagai contoh, bagaimana mereka menggambarkan kesulitan Simon Grayson yang didapuk sebagai pelatih saat Sunderland memulai perjalanan mereka di Championship.
Jelang 2017/18, Grayson ditunjuk sebagai pengganti David Moyes yang gagal mempertahankan Sunderland berlaga di Premier League.
Sayangnya, nasib Grayson tak demikian. Ia cuma bertahan empat bulan. Sunderland bahkan sudah menelan kekalahan dan menerima amukan para suporter di laga pramusim. Selama ditangani Grayson, Sunderland mencatatkan tiga kemenangan, tujuh imbang, dan delapan kekalahan.
Awalnya, para suporter menyebut Grayson pelatih yang baik, tetapi tak didukung tim yang mumpuni. Di tengah jalan, suporter menyebut Grayson sebagai manajer terburuk yang pernah memimpin Sunderland.
Mannone mengawal gawang Sunderland. Foto: Getty Images
Persoalan secara individu juga digambarkan lewat wawancara kiper terbaru mereka, Robbin Ruiter, yang didatangkan dengan status bebas transfer dari Utrecht.
Dalam laga, hanya ada satu tempat yang tersedia bagi kiper. Posisi ini tidak seperti penyerang. Ada penyerang tengah, kanan, kiri dalam suatu tim. Namun, tidak demikian dengan kiper.
Itulah sebabnya penjaga gawang tak hanya punya beban menjaga gawang dari kemasukan gol, tetapi juga menjaga agar posisinya tak direbut kawannya sendiri. Melawan lawan dan kawan, seperti itulah Ruiter menarasikan laga yang mesti dihadapi setiap kiper.
'Sunderland Til I Die' tak berhenti pada Season 1. Pada 1 April 2020, Season 2 resmi dirilis. Rangkaian episodenya diawali dengan kepemilikan baru Sunderland, dari Ellis Short menjadi Stewart Donald. Era baru Sunderland tidak ditandai dengan gelar juara, tetapi lunasnya utang-utang Short.
Orang-orang utama yang muncul di Season 2 masih serupa Season 1. Kita akan menemukan Peter Farrer, sopir taksi yang sudah menonton laga Sunderland langsung di stadion sejak 1963, dan Joyce Roma yang bekerja sebagai koki tim.
Orang-orang lama masih di sana, memberikan apa yang ada pada mereka untuk membuat Sunderland tetap hidup meski tim kesulitan untuk memastikan para pemain tidak pergi meninggalkan klub. Pada akhirnya, yang abadi adalah suporter. Halah.
Meski demikian, Season 2 menjadikan aspek finansial sebagai fokus film. Bila direduksi menjadi satu kata keenam episode di Season 2 adalah tentang uang.
Beban gaji pemain yang harus mereka tanggung dalam setahun adalah 34 juta poundsterling atau sekitar 687 miliar rupiah. Tim League One, saudara-saudara.
Para pemain Sunderland pada 2010. Foto: GRAHAM STUART / AFP
Menonjolkan aspek finansial dalam Season 2 tidak berlebihan. Toh, pada dasarnya, Fulwell 73 memproduksi film yang dapat disaksikan di Netflix ini untuk menggaet investor.
"Cinta mati kami kepada klub yang belum bisa beranjak dari League One ini kami bawa sampai mati. Namun, kami tak mengumbar dongeng. Cinta suporter saja tak cukup. Sunderland butuh uang agar tak mati, Sunderland butuh akal sehat supaya bisa bangkit."
Barangkali itulah yang sekarang diteriakkan mereka yang mencintai Sunderland sampai mati.
Catatan editorial:
Di masa social distancing seperti ini, kami akan berusaha mengulas film dan buku tentang sepak bola dan olahraga.
Sebagian bukan film atau buku baru, tetapi mungkin ini saat yang tepat untuk kembali menonton film dan membaca buku lama. Atau jangan-jangan ini menjadi waktu yang tepat untuk--akhirnya--menonton film dan membaca buku yang sudah lama tertumpuk.
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!
Ayo, ikutan Home of Premier League dan menangi uang tunai Rp50.000.000. Buruan daftar di sini.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten