Sejarah Sponsor Liga Indonesia: Lika-liku Berkelit dari Kehadiran Pemerintah

9 April 2020 22:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pertandingan lanjutan Liga I Indonesia antara Persib Bandung melawan Bhayangkara FC di Stadion PTIK, Jakarta, Rabu (23/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
zoom-in-whitePerbesar
Pertandingan lanjutan Liga I Indonesia antara Persib Bandung melawan Bhayangkara FC di Stadion PTIK, Jakarta, Rabu (23/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Penggabungan dua kompetisi, Perserikatan dan Galatama, pada 1994 menjadi tonggak kemajuan industri sepak bola Indonesia. Memang, klub peserta di Liga Indonesia (LI) musim 1994 masih mengandalkan APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah).
Perlahan PSSI dan operator kompetisi menyuguhkan sistem sponsorship yang bisa membuat klub mandiri tanpa bantuan APBD. Sponsor untuk liga pun masuk, bahkan menjadi titel kompetisi.
Pada musim pertama LI (1994), produk rokok bernama Dunhill resmi menyokong utama liga dengan menggelontorkan uang Rp4,5 miliar per musim. Alhasil, nama kompetisi pun berubah menjadi Liga Dunhill.
Produsen rokok asal Inggris Raya itu cuma bertahan dua musim mensponsori LI. Selama berlabel Liga Dunhill, Persib Bandung dan Mastrans Bandung Raya tampil sebagai kampiun.
Berita baiknya, masuknya Dunhill sekaligus memperkenalkan subsidi untuk klub sebesar Rp100 juta. Jumlah hadiah pun terbilang wah saat itu, Rp75 juta untuk juara, Rp50 juta (runner-up), dan Rp25 juta bagi pemain terbaik.
Industri rokok sedang naik daun. Mereka punya kepentingan memperluas pasar dengan "membakar" uang. Sepak bola yang mengumpulkan massa banyak menjadi tujuan pemasaran.
Tim Persib era Liga Indonesia 1994/95 bereuni. Foto: Persib
Tak heran lepas dari Dunhill, LI masih bisa menggandeng produsen rokok lain. Kali ini berasal dari Amerika Serikat, yaitu Kansas.
Kansas yang menawarkan diri sebagai sponsor titel mengguyur LI dengan dana Rp5,35 miliar. Jumlah subsidi yang dijanjikan pun masih sama, Rp100 juta kepada setiap klub.
Kerja sama Kansas dan LI juga tak berlangsung panjang, cuma dua musim dari 1996/96 (Persebaya juara) sampai 1997/98. Liga Kansas pun harus berhenti di tengah jalan akibat kondisi politik dan ekonomi Indonesia tak kondusif. Buntutnya, Kansas hengkang sebagai sponsor pada tahun kedua.
Kisah sponsor liga menjadi berliku. Usai krisis moneter pada 1998, kompetisi dilanjutkan.
Sayangnya, tak ada sponsor masuk seperti empat musim sebelumnya. Ibaratnya, LI kembali ke tahun-tahun sebelum 1994 di mana tak ada nama sponsor yang melekat sebagai titel kompetisi.
Beruntung, krisis mendatangkan sponsor cuma berjalan satu musim saja. Pada 1999/00, LI bisa menggandeng Bank Mandiri sebagai sponsor titel, kali pertama disokong perusahaan perbankan.
Persija Jakarta juara Liga Indonesia 2001 di bawah asuhan Sofyan Hadi. Foto: Persija Jakarta
Nama Liga Bank Mandiri bertahan cukup lama dari 1999 hingga musim 2004. Tak heran jika Bank Mandiri bisa menopang LI selama lima musim. Saat itu, Bank Mandiri merupakan bank terbesar di Indonesia.
Selama lima periode Liga Bank Mandiri empat tim Perserikatan berjaya. Mereka ialah PSM Makassar (1999/00), Persija Jakarta (2001), Persik Kediri (2003), dan Persebaya Surabaya (2004). Sementara tim jebolan Galatama cuma Petrokimia Putra yang berhasil kampiun pada 2002.
Catatan kontribusi panjang Bank Mandiri kepada LI akhirnya bisa dilewati Djarum. Perusahaan rokok asal Kudus, Jawa Tengah, tersebut menjadi sponsor titel selama tujuh musim (2005-2012).
Sepanjang Djarum menjadi penyokong utama, ada tiga nama kompetisi yang dipakai. Pada musim 2005-2007 titel liga bernama Liga Djarum Indonesia.
Namanya kemudian berganti menjadi Djarum Liga Super Indonesia pada 2008. Tiga musim berikutnya, tak ada embel-embel Djarum di titel liga, melainkan menyematkan nama ‘Super’—salah satu produk Djarum—sehingga menjadi Liga Super Indonesia.
Sebetulnya, Djarum masih ingin bekerja sama lebih dari tujuh tahun. Namun, ada tiga batu sandungan yang dihadapi sekaligus pada musim 2011/12.
La Nyalla menjabat Ketua Umum PSSI pada 2015 saat PSSI dibekukan Kemenpora. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Yang membuat Djarum harus angkat kaki dari LI ialah keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengendalian Produk Tembakau. Dalam Pasal 36, jelas-jelas mengatur produsen produk tembakau dilarang mensponsori kegiatan lembaga dan perorangan.
“Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau yang mensponsori suatu kegiatan lembaga dan/atau perorangan hanya dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut (1). Tidak menggunakan nama merek dagang dan logo produk tembakau termasuk brand image produk tembakau (a). Tidak bertujuan untuk mempromosikan produk tembakau (b). Sponsor sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilarang untuk kegiatan lembaga dan/atau perorangan yang diliput media (2).”
Kondisi itu kian diperparah dualisme PSSI yang berujung munculnya dua kompetisi, Liga Super Indonesia dan Liga Primer Indonesia.
Hantaman badai belum berhenti. Menteri Dalam Negeri mengeluarkan larangan APBD digunakan untuk membiayai klub profesional yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah Tahun 2012 Bab V Nomor 23.
Klub-klub LI kelimpungan. Mereka mesti segera beralih ke PT—ada beberapa klub yang sudah menjadi PT lebih dulu—dan mencari sumber dana di luar APBD.
“Pendanaan untuk organisasi cabang olahraga profesional tidak dianggarkan dalam APBD karena menjadi tanggung jawab induk organisasi cabang olahraga dan/atau organisasi olahraga profesional yang bersangkutan.”
Permendagri tersebut sejalan dengan amanat Pasal 1 (15) dan 29 (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.
Suasana pembukaan kompetisi Sepak Bola Liga 1 Indonesia 2020 di Gelora Bung Tomo (GBT), Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (29/2). Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono
“Bahwa pembinaan dan pengembangan olahraga profesional dilakukan oleh induk organisasi cabang olahraga dan/atau organisasi olahraga profesional.”
“Bahwa cabang olahraga profesional adalah olahraga yang dilakukan dalam bentuk uang atau bentuk lain yang didasarkan atas kemahiran olahraga.”
Tiga alasan itu yang membuat Djarum akhirnya meninggalkan LI. Meski demikian, nama Liga Super Indonesia tetap melekat hingga 2015 dengan meyakinkan bahwa kata ‘Super’ bukan merupakan produk dari Djarum.
Layaknya beberapa nama kompetisi level tertinggi di berbagai negara yang menggunakan kata ‘Super’, seperti Liga Super Malaysia, Liga Super Turki, Liga Super Argentina, dan lainnya.
Putus kerja sama dengan Djarum, LI tak lagi mendapat sponsor titel. Kondisi finansial pun tidak pasti. PSSI dan operator sibuk membenahi buntut dualisme pada 2011-2012, semisal unifikasi liga.
Suasana pembukaan kompetisi Sepak Bola Liga 1 Indonesia 2020 di Gelora Bung Tomo (GBT), Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (29/2). Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Lepas dari kekisruhan dualisme, perusahaan perbankan kembali menjadi juru selamat, seperti halnya Bank Mandiri. Bank QNB Indonesia berhasil dirangkul setelah dua musim sebelumnya tanpa sponsor titel.
Patut disayangkan nama Liga QNB cuma bertahan dua bulan. Kompetisi musim 2015 dibekukan setelah PSSI mendapat hukuman dari FIFA akibat intervensi pemerintah.
Kemenpora dan PSSI berselisih. Kemenpora bersikeras mencoret Persebaya dan Arema karena tidak lolos verifikasi Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI). Namun, federasi tetap menggulirkan liga dengan 18 tim, termasuk Bajul Ijo dan Singo Edan.
Pemerintah melalui Kemenpora lantas membekukan PSSI. Perselisihan itu akhirnya membuat FIFA turun tangan dan memberi sanksi kepada federasi. Kompetisi sepak bola di Indonesia tidak diakui FIFA selama dua tahun ke depan.
Sepanjang 2015-2016 tak ada kompetisi. Kekosongan hanya diisi turnamen saja.
Hukuman FIFA dicabut pada 2017. Artinya, kompetisi resmi di bawah PSSI bisa digulirkan kembali. PT Liga Indonesia Baru (LIB) pun diperkenalkan sebagai operator anyar.
Logo resmi Shopee Liga 1 2019. Foto: Dok. Media Indonesia Baru
Tak seperti sebelumnya, kali ini sponsor langsung didapat setelah lepas dari krisis. Perusahaan penyedia jasa angkutan daring (dalam jaringan) dan pemesanan tiket serta hotel daring bergabung menjadi sponsor titel.
Go-Jek Traveloka Liga 1 mewarnai kompetisi musim 2017. Setahun berselang, hanya Go-Jek yang bertahan menjadi sponsor titel. Pada akhirnya, Go-Jek pun menarik diri pada tahun keduanya.
Beruntungnya, gairah kompetisi Tanah Air yang kembali membuat beragam perusahaan berbondong-bondong mengincar sebagai sponsor titel.
PT LIB tak kesulitan mencari pengganti Go-Jek. Pada musim 2019, sebuah perusahaan perdagangan elektronik, Shopee, mengisi kekosongan sponsor titel yang ditinggalkan Go-Jek.
Hingga musim kompetisi 2020—berhenti sementara akibat wabah virus corona—Shopee memperpanjang kerja samanya sebagai sponsor titel.
***
Catatan Editor: Tulisan ini merupakan bagian kedua dari 'Sejarah Sponsor Liga Indonesia'. Anda bisa membaca bagian pertamanya di sini: 'Sejarah Sponsor Liga Indonesia: Peleburan Dua Kompetisi Jadi Tonggaknya'.
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!