Ronaldinho dan Lapangan sebagai Kanvasnya

22 Maret 2017 12:34 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Paris (Ilustrasi) (Foto: Unsplash)
Starry, starry night
Paint your palette blue and gray
ADVERTISEMENT
Look out on a summer's day
With eyes that know the darkness in my soul
Shadows on the hills
Sketch the trees and the daffodils
Catch the breeze and the winter chills
In colors on the snowy linen land
Don McLean - Vincent (Starry, Starry Night)
Setahun sebelum wafat, Vincent van Gogh sempat menghabiskan hari-harinya di sebuah rumah sakit jiwa di Saint Remy, Prancis.
Tak ada yang memaksanya untuk tinggal di sana. Adiknya, Theo, bahkan sebelumnya sudah memintanya untuk berbagi rumah di Montmartre.
Tetapi Vincent tahu bahwa dia tak bisa terus-terusan merongrong sang adik. Lagipula, selama ini Theo sudah banyak membantu dirinya. Akhirnya, setelah sempat tinggal bersama sebentar, Vincent memutuskan untuk hijrah ke Arles, sebuah kota tua di Prancis bagian selatan.
ADVERTISEMENT
Kota itu, Arles, memang indah. Dibelah Sungai Rhone yang anggun, ia diharapkan bisa menjadi pelipur bagi Vincent yang hidupnya selalu diliputi kebingungan.
Namun rupanya semua sudah terlambat. Vincent van Gogh sudah kadung terperangkap di dunia yang kelewat abstrak. Dunia yang sesungguhnya hanya ada di alam pikirnya sendiri.
Itulah mengapa dia kemudian mencari bantuan ke rumah sakit jiwa itu. Setidaknya, kalau nanti di sana dia kembali menyakiti diri sendiri, bakal ada orang yang cepat bertindak.
Di rumah sakit jiwa itu, di kamarnya yang menghadap ke arah timur, Vincent menghabiskan hari-harinya menatap angkasa. Dia memang menyukai langit, terutama langit malam. Langit malam yang berbintang.
Setidaknya tiga kali Vincent van Gogh melukis langit malam. Pertama, pada musim gugur 1888 ketika dia melukis sebuah pemandangan malam dari teras sebuah kafe di Arles. Lalu, di bulan yang sama, dia kembali melukis pemandangan langit malam. Kali ini, tepian Sungai Rhone yang jadi latarnya.
ADVERTISEMENT
Terakhir, ketika dia sedang menghabiskan hari-harinya di Rumah Sakit Jiwa Santo Paulus. "Starry Night" judul lukisan itu. Di situ, dia mencoba menceritakan tentang bagaimana suasana desa yang ideal menurutnya. Ada bukit, pohon raksasa, gereja, dan sebuah tempat di mana rembulan bisa nampak sebesar mentari.
Lukisan "Starry Night" Vincent van Gogh. (Foto: Wikimedia Commons)
Lukisan itu dibuat Vincent saat kondisi mentalnya sedang ambruk-ambruknya. Para perawat di rumah sakit jiwa itu bahkan tak mengizinkan dirinya untuk melukis di kamar karena khawatir dia akan berbuat yang tidak-tidak dengan alat-alat lukisnya. Karena itu, setiap kali menatap langit malam itu, dia membuat sketsa untuk kemudian dia bawa ke studionya di lantai dasar rumah sakit.
Setahun lebih setelah lukisan "Starry Night" dia rampungkan, Vincent van Gogh menembak dadanya dengan sebuah pistol revolver. Setelah sempat dirawat selama dua hari, dia akhirnya menghembuskan nafas terakhir. Namun, sebelum itu dia sempat berbisik pada Theo, "Kesedihan ini akan abadi."
ADVERTISEMENT
***
Jika Vincent van Gogh mengabadikan kesedihan di atas kanvas, Ronaldo de Assis Moreira mengabadikan kegembiraan di atas lapangan hijau. Jika Vincent melukis dengan kuas dan cat minyak, Ronaldo Kecil alias Ronaldinho melukis dengan sepatu berpaku.
Lahir di Porto Alegre, perjalanan karier Ronaldinho di lapangan sepak bola berjalan nyaris tanpa hambatan pada awal-awal karier. Setelah berlindung di bawah panji Gremio, dia kemudian memutuskan untuk mengadu nasib ke Eropa.
Kota Paris menjadi tujuan Ronaldinho. Dan sama seperti Vincent van Gogh, di kota yang punya sejarah kelam itu, dia membangun mitos akan dirinya. Lewat tarian dan senyuman yang hampir setiap pekan dia pertontonkan di Parc des Princes, Ronaldinho menjadi sensasi.
Pintu rumah Ronaldinho pun diketuk. Sosok yang mengetuk pun tak sembarangan: raksasa Catalunya bernama Barcelona.
ADVERTISEMENT
Ketika itu, Barcelona sedang gundah gulana. Mereka belum kunjung mampu mengulangi kejayaan yang diberikan sebagai bentuk balas budi oleh Johan Cruyff. Walau sudah mencoba peruntungan dengan teman seperguruan Cruyff, Louis van Gaal, Barcelona tetap limbung.
Setelah melewati berbagai pergantian nakhoda, pilihan akhirnya mereka jatuhkan pada orang Belanda lain, Frank Rijkaard, yang juga merupakan alumnus perguruan Ajax di Amsterdam. Ronaldinho datang di era ini. Di era Rijkaard yang menjanjikan banyak perubahan. Di musim panas 2003.
Rijkaard menendang anasir-anasir negatif yang jadi simbol ke-Van Gaal-an di Barcelona. Pemain-pemain seperti Frank de Boer, Roberto Bonano, Philippe Christanval, Alfonso Perez, Patrik Andersson, Fabio Rochemback, Geovanni, dan Juan Riquelme dipersilakan angkat kaki.
Sebagai gantinya, bersama Ronaldinho datang pula Giovanni van Bronckhorst, Ruestue Recber, Rafa Marquez, serta Victor Valdes dan Andres Iniesta yang ditarik dari akademi. Inilah titik awal kebangkitan kembali Barcelona yang masih berlangsung sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
Ronaldinho, katalis kebangkitan Barcelona. (Foto: WIkimedia Commons)
Ronaldinho, seperti halnya dulu Johan Cruyff dan kini Lionel Messi, adalah katalis kejayaan Barcelona. Bersamanya, mereka menemukan kembali harga diri mereka sebagai klub yang lebih dari sekadar klub.
Bersama Ronaldinho, Barcelona menggugat Real Madrid yang dihuni para pesolek. Bahkan, pada awalnya Ronaldinho pun merupakan sosok yang didatangkan semata-mata karena Barcelona gagal mendapatkan David Beckham yang memilih Real Madrid. Ada semacam kesumat yang disalurkan dan dilampiaskan Barcelona lewat sosok pria periang ini.
Melawan Real Madrid yang angkuh dan tampan, Barcelona hadir dengan tarian riang Si Buruk Rupa. Bersama Ronaldinho, mereka senantiasa mengajak lawan-lawan mereka untuk berdansa sebelum menghujamkan belati tepat di dada. Riang, sekaligus mematikan.
Lima tahun Ronaldinho bermukim di Camp Nou dan dalam kurun waktu itu, Barcelona berhasil membuat proyek Galacticos sang rival menjadi kesia-siaan belaka. Mereka pun berhasil menjadi klub yang lebih dicintai pemirsa netral karena lebih mengedepankan kualitas dibanding tampilan luar. Malah, saking kagumnya dengan sosok Ronaldinho, suporter Real Madrid pernah sampai memberinya tepuk tangan meriah tatkala dia mengobrak-abrik Bernabeu.
ADVERTISEMENT
Namun, sebagaimana sosok periang yang sebelumnya sudah pernah ada seperti Magico Gonzales atau Paul Gascoigne, Ronaldinho kerap alpa bahwa dia adalah seorang pesepak bola profesional. Dia larut dalam kebahagiaan seperti halnya Van Gogh larut dalam kesedihan. Mereka berdua kemudian tenggelam dalam nikmatnya menenggak alkohol.
Kalah bersaing dengan si anak dewa, Lionel Messi, Ronaldinho pun angkat kaki. Setelahnya, dia mendarat di Milan dan meski sudah berusaha untuk meraih kembali kejayaannya, dia gagal. Seiring dengan Serie A dan Milan yang juga meredup, pijar Ronaldinho pun perlahan lenyap, hingga akhirnya dia memutuskan untuk pulang ke kampung halaman.
Tahun 2015 lalu menjadi tahun terakhir Ronaldinho menyepak bola secara profesional. Meski akhir kariernya tidak seindah yang dia (dan orang-orang) bayangkan, lukisan-lukisan yang dia guratkan di atas rumput Camp Nou tak pernah bisa dilupakan orang.
ADVERTISEMENT
Sampai sekarang, Ronaldinho masih menjadi salah satu simbol kebahagiaan, sebagaimana Vincent van Gogh menjadi salah satu ikon kesedihan. Malam di Bernabeu itu; malam di mana dia membuat publik tuan rumah bangkit dari kursi dan memberi aplaus meriah, adalah "Malam Berbintang" milik Ronaldinho. Malam itu, 19 November 2005, Ronaldinho menjadi abadi dan tak ada yang mampu mengambil itu darinya, termasuk nasib sekalipun.
***
Kemarin, Ronaldinho berulang tahun yang ke-37. Sebuah usia yang tanggung bagi seorang manusia. James Alex Snyder, seorang punk rocker dari Philadelphia, bakal menyebut orang-orang dengan usia tersebut "too young to die, too late to die young." Terlalu muda untuk mati, terlambat untuk mati muda.
Tetapi, Ronaldinho masih hidup. Bahkan, dia masih tampak bahagia meski masa kejayaannya sudah lewat hampir satu dekade silam. Dia masih mengumbar senyum dan kebahagiaan yang menular itu.
ADVERTISEMENT
Vincent van Gogh, sementara itu, wafat di usia yang ke-37. Di tengah lara yang tak tertahankan, dia memutuskan untuk meninggalkan dunia dengan caranya sendiri. Baginya, toh, selama itu juga dia hidup di dunianya sendiri.
Ronaldinho pun sebetulnya demikian. Dia tidak melihat lapangan seperti orang-orang kebanyakan. Dia tak melihatnya sebagai tempat untuk bermain sepak bola, melainkan tempat untuk meninggalkan impresi. Syukurnya, Ronaldinho sampai saat ini masih selamat dan untuk itu, perayaan dalam bentuk apapun tampaknya tidak akan berlebihan.
BONUS: