Menilik Bandung Premier League, Menyelami Gairah Sepak Bola Arus Bawah

4 Februari 2019 10:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Liga 1 dan Liga 2 Bandung Premier League. Foto: Instagram/@bandungpremierleague
zoom-in-whitePerbesar
Liga 1 dan Liga 2 Bandung Premier League. Foto: Instagram/@bandungpremierleague
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bandung dan Persib adalah dua hal yang musykil untuk dipisahkan. Keduanya telah melebur menjadi satu. Identik.
ADVERTISEMENT
Namun, perlahan kini Bandung memiliki identitas lain dalam tataran sepak bola. Ia adalah Bandung Premier League (BPL).
Ya, dalam beberapa pekan belakangan ini, perhatian pecinta sepak bola nasional tiba-tiba teralihkan ke Kota Kembang. BPL yang merupakan kompetisi level komunitas, sukses mencuat ke permukaan melalui terobosannya lewat penggunaan Video Assistant Referee (VAR).
Tak berlebihan menilai BPL nekat menggunakan VAR. Karena teknologi termutakhir besutan FIFA itu malah masih sebatas angan-angan bagi PT Liga Indonesia Baru selaku operator Liga 1.
Meski demikian, penggunaan VAR untuk kali pertama di Tanah Air tak lahir begitu saja. Ada proses panjang di belakangnya. Dari situ pula diketahui bahwa, meski berstatus sebagai liga amatir, BPL dikelola dengan profesional.
ADVERTISEMENT
Untuk mengetahui seluk-beluk BPL, mari simak perbincangan kumparanBOLA dengan CEO BPL, Doni Setiabudi, di Jakarta berikut ini.
Bagaimana ide awal mendirikan BPL?
Saya awalnya berpikir bagaimana membuat sebuah event yang berkesinambungan. Saya sebelumnya sudah biasa membuat event di Bandung yang sifatnya turnamen, jadi tiga hari selesai. Saya memikirkan ide yang lama, tapi dipakainya cuma 1-2 hari. Dari situ, saya coba ubah konsep. Event yang lama, satu-satunya ya liga, karena berkesinambungan bisa sampai 12-16 pekan. Saya sharing dengan teman-teman di Bandung untuk bikin liga. Tapi, responsnya kurang bagus karena faktor biaya. Uang pendaftaran biasanya Rp 2 juta sekali bayar. Tapi, kalau liga, mereka harus bayar tiap minggu selama 15 pekan. Di situ saya pesimistis, tapi tetap cari cara bagaimana mereka bisa terima. Di Bandung itu 'kan sering sekali ada pertandingan antara tim A lawan tim B, harga lapangan dan harga wasit dibagi dua. Saya berpikir itu bisa jadi satu cara. Jadi, dengan ikut liga, mereka tidak usah cari lapangan, lawan, dan wasit. Itu kami semua yang sediakan. Bagaimana musim perdana berjalan? Saya adakan sosialisasi dengan seluruh komunitas sepak bola di Bandung terlebih dahulu. BPL itu seperti apa, regulasinya bagaimana. Dari 76 komunitas yang hadir, itu mengerucut menjadi 24 tim. Di musim pertama, terdaftar menjadi 24 tim itu dan dibagi menjadi dua zona. BPL kick-off tanggal 14 Juli 2018. Tapi, karena musim pertama, belum bisa diberlakukan Liga 1 dan Liga 2 karena belum tahu siapa yang berhak main di situ. Dari 24 tim, kami bikin regulasi, peringkat 1-8 di Zona Barat dan peringkat 1-9 di Zona Timur di akhir musim naik ke Liga 1. Sedangkan, peringkat 9-12 itu turun ke Liga 2. Maka, musim kedua sudah ada Liga 1 sebanyak 16 tim, dan Liga 2 ada 16 tim, yang saat ini sedang berlangsung. Di akhri musim nanti akan ada promosi-degradasi. 3 tim peringkat terbawah di Liga 1 terdegradasi, dan dari Liga 2 naik 5 tim, karena untuk memenuhi kuota 18 tim. Di musim ketiga nanti, Liga 1 akan ada 18 tim, Liga 2 sebanyak-banyaknya. Kalau banyak dibikin 2 wilayah untuk Liga 2. Karena kami selalu melihat atmosfer yang paling seru di Liga 1. Waktu main juga berbeda, Liga 2 main di Sabtu, Liga 1 main Minggu.
ADVERTISEMENT
Ada alasan tersendiri memilih nama BPL? Saya kebetulan penggemar Manchester United, jadi tahunya Premier League. Tapi, penggunaan nama itu sebenarnya susah. Karena buat saya, bikin event itu nama jadi hal penting. Jadi, saya pikirkan betul-betul soal nama. Sempat ada opsi Bandung Community League, Bandung Super League, Bandung Super Sunday League. Tapi, setelah melihat banyak pilihan, saya ambil BPL. Kenapa? Karena liga yang paling dominan memang Liga Inggris saat ini. Atmosfernya ambil ke sana. Pertimbangan lain, BPL lebih mudah diingat. Tapi, nama Premier hanya boleh digunakan di Bandung. Di kota lain tidak boleh pakai Premier, mereka pakainya Super. Karena Premier ‘kan pionir ya. Ada berapa kota yang saat ini bergabung? Selain Bandung, ada juga Jakarta dengan Jakarta Super League (JSL), ada juga Palembang dan Padang. Sekarang, saya lagi garap di Bali, Surabaya, dan Yogyakarta. Tapi, sudah banyak yang hubungi saya, ada 11-12 kota lain pengin gelar seperti BPL di antaranya Ternater, Pekanbaru, Manado, Medan, Banjarmasin, Sukabumi, Karawang, dan Kediri.
ADVERTISEMENT
Berapa modal awal yang dikeluarkan untuk menjalankan BPL? Nah, ini yang selalu orang pikir, kalau bikin sesuatu itu perlu modal. Tapi, saya jujur, BPL ini tidak pakai modal, seperser pun. Modalnya niat dan kemauan. Karena saya sudah hitung gimana laksanakan liga, hitung cost per musim. Satu musim misalkan Rp 300 juta, dibagi berapa pekan, misalnya ada 15 pekan, jadi Rp 300 juta dibagi 15 itu jadi Rp 20 juta. Jumlah itu dibagi jumlah peserta, ada 16 tim. Kalau peserta 16, berarti tiap tim itu bayar Rp 1.250.000. Saya tidak keluar uang apa-apa. Semua murni dari peserta. Kami hanya pelaksana. Lalu, Operator untungnya dari mana? Saya cari sponsor. Ketika saya dapat sponsor, hak operator cuma 40%, sedangkan 60% dikembalikan ke peserta. Jadi, ada semacam subsidi. Kalau tidak ada sponsor, memang tidak ada untung. Bulan Februari, saya mulai mencari sponsor untuk musim ketiga. Semoga dengan viral ini jadi lebih mudah dapat sponsor. Saya jual sponsor dalam bentuk paket. Untuk sponsor utama, dia bisa ubah nama liga. Ada juga paket di jersi pemain atau di papan iklan pinggir lapangan. Apa tantangan ketika BPL pertama kali digelar? Awal mau mulai, kami mungkin lebih dari berdarah-darah. Sekarang logikanya begini, orang mana yang bikin event tapi untung belum ada. Tapi, saya berpikir jangan dilhat secara materi karena itu pasti mengikuti. Jalani saja dengan ikhlas. Musim pertama hambatan terbesar saya adalah keluarga. Karena harus ada di lapangan dari jam 06:00 sampai 18:00. Itu jadi konsekuensi saya di BPL, saya harus terjun ke lapangan, karena saya bukan pemimpin yang ada di balik meja. Saya harus tahu masalah di lapangan, sampai ke hal-hal yang kecil. Keluarga bertanya, apa yakin dengan bisnis seperti ini, tapi ini hobi saya di sepak bola. Pekerjaan yang paling enak itu ‘kan hobi yang dibayar hehehe... Dan, kemarin, setelah BPL ini viral, ada orang telepon saya nanya berapa harga BPL? Dia mau beli lisensi dan operatornya. Ambil alih 100% lah bahasanya. Cuma sampai saat ini saya tidak pikir ke arah sana, kalau untuk dijual belum, karena harus perbaiki banyak kekurangan.
ADVERTISEMENT
Apa yang jadi impian dari BPL dalam 5-10 tahun ke depan? Finalnya, 5-10 tahun, adanya Indonesia Champions League, tapi semua dibiayai pemerintah atau pihak ketiga. Karena begini, di daerah 'kan banyak pemain yang punya potensi tapi mereka terkendala dengan uang, tidak bisa ikut SSB karena mahal. Saya pikir adanya BPL potensi pemain-pemain di daerah bisa terlihat. Saya ingin didukung pemerintah, PSSI, dan sponsor. Harus bisa, tidak ada yang tidak mungkin. BPL harus lebih meriah, lebih viral, harus bikin inovasi supaya orang mau lihat. Kami juga rencana akan pakai goaline technology. Rencana juga pakai spray dan alat komunikasi buat wasit. Sedang kami pikirkan juga fasilitas tambahan seperti ruang ganti pemain. Seperti di Eropa lah hehehe… Saya juga punya impian ingin mengadakan ASEAN Champions League. Saya sudah punya grup (WhatsApp) Malaysia dan Singapura. Sekarang lagi cari Thailand dan Brunei yang punya komunitas juga. Jadi awalnya dari Provinsi, juaranya dari masing-masing liga itu kemudian dipertemukan di satu tempat, dan pemenangnya wakilin Indonesia ke ASEAN. Cuma memang itu masih terkendala, karena buat tim komunitas pergi ke Singapura itu berat sekali. Mereka uang dari mana? Karena itu, kami berharap sekali adanya dukungan. Untuk Pemkot atau Pemprov, mungkin bisa dijadikan program kerja jadi masuk ke anggaran mereka. Atau kalau tidak, mereka bisa keluarkan rekomendasi untuk BUMD. Cuma, sampai sekarang saya belum punya kesempatan bicara ke mereka. Saya berharap bisa bertemu dengan Walikota Bandung dan Gubernur Jawa Barat untuk bicarakan konsep itu.
ADVERTISEMENT