Ketika BPL Menampar PSSI Lewat VAR Seharga Rp 15 Juta

4 Februari 2019 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
VAR, masih menuai kontroversi. Foto: REUTERS/Carlos Barria
zoom-in-whitePerbesar
VAR, masih menuai kontroversi. Foto: REUTERS/Carlos Barria
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ketika tengah asyik berselancar di dunia maya, air mata Doni Setiabudi tak terasa menetes. Pria yang menjabat sebagai CEO Bandung Premier League (BPL) ini tak bisa menahan haru manakala gebrakannya menggunakan Video Assistant Referee (VAR) diapresiasi banyak pihak. “Saya pribadi meneteskan air mata ketika melihat ada postingan di IG (Instagram) yang mensejajarkan BPL dengan Liga Malaysia, Vietnam dan Thailand yang sudah pakai VAR. Di situ, ada kebangaan tersendiri,” ujar Doni ketika berbincang dengan kumparanBOLA di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Ya, pada 27 Januari lalu, BPL membuka lembaran baru. Kompetisi bagi komunitas Bandung dan Jawa Barat ini melakukan terobosan dengan menggunakan VAR. Ketika itu, VAR digunakan oleh wasit pertama kali saat memimpin laga antara Grizzly FC melawan Ammers FC. Sontak, video serta foto tersebut viral. Tak ada yang menyangka, teknologi termutakhir besutan FIFA itu bisa diwujudkan di Indonesia, apalagi di tingkat amatir. “Kebetulan, itu pertama kali VAR digunakan di BPL dan langsung ada kejadian. Bagi saya, tidak ada yang tidak mungkin kalau mau usaha. Saya ngobrol dengan teman-teman IT, mungkin enggak kita pakai VAR?” kata pria yang akrab disapa Jalu ini. “Mereka bilang,kalau sama persis kaya Eropa enggak mungkin, biayanya besar sekali. Lantas, saya berpikir, VAR itu ‘kan esensinya adalah bagaimana wasit bisa melihat kejadian tetapi dia ragu. Dia minta bantuan ke teknologi. Esensi dari VAR ‘kan itu,” lanjutnya. “Esensi itu yang saya ambil. Kami pakai ala kadarnya. Kami sediakan empat kamera yang tersambung ke laptop lalu ke monitor. Sesimpel itu sebenarnya. Kalau mau meniru di Eropa yang enggak akan bisa, karena harganya yang sangat mahal, fasilitas mereka juga menunjang,” ucap Jalu.
CEO Bandung Premier League, Doni Setiabudi alias Jalu. Foto: Dok. Pribadi
Menurutnya, operator BPL kemudian melakukan sosialisasi kepada wasit dan tim sekaligus melakukan uji coba. Hal itu dilakukan pada pekan ketujuh. Setelah semuanya dirasa siap, VAR pun digunakan untuk kali pertama pada pekan selanjutnya. Jalu mengatakan saat ini VAR yang diterapkan oleh BPL baru mengkover area kotak penalti. Pasalnya, di area tersebut banyak kejadian yang cukup krusial seperti pelanggaran atau handball.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, lanjut Jalu, pihaknya akan terus mengembangkan VAR tersebut. Salah satunya adalah dengan menyejajarkan kamera dengan garis off-side serta meng-cover seluruh lapangan. “Kalau kita tidak nyoba itu, enggak akan tahu. Saya beli kamera sudah tiga kali gagal. Tapi, saya enggak nyesel, segala sesuatu sempurna secara bertahap,” ucapnya. “Jangan bayangin dengan di Eropa. Tekankan ke esensinya, bukan bentuk aja, yang penting selama kebutuhan wasit terakomodir. Kadang-kadang kita ‘kan penginnya copy paste 100% sama, akhirnya enggak jadi-jadi. Esensi dapat, biaya minimal, kenapa enggak?” “Kami juga bikin monitor VAR di tempat las, cuma Rp 350 ribu. Saya lihat di internet bentuknya, terus kasih ke tukang las. Laptop dua buah, sama monitor. Biaya bikin VAR tidak lebih dari Rp 15 juta.” Tak dapat dimungkiri, penggunaan VAR oleh BPL kemudian disangkutpautkan kepada Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Di dunia maya, sindiran kepada federasi pun terasa begitu kencang.
ADVERTISEMENT
PSSI dinilai terkesan enggan untuk mengembangkan teknologi di sepak bola nasional dengan segala keterbatasannya. VAR yang digunakan oleh BPL seakan-akan menjadi tamparan keras bagi Joko Driyono dan kolega. Namun, Jalu mengaku pihaknya tak ada niat untuk menggunakan VAR tersebut sebagai medium mengkritik federasi. Menurutnya, hal terpenting ialah mencari cara bagaimana mengembangkan potensi sepak bola nasional di tengah keterbatasan fasilitas dan infrastruktur. “Yang mahal itu bukan VAR, tapi kemauan sama niat. Saya enggak pernah kepikiran buat menampar PSSI atau istilah lainnya lewat VAR. Enggak kepikiran sama sekali. Kalau saya punya toko, pasti saya jadikan toko itu semenarik mungkin biar orang beli,” ujarnya. “Saya berpikir bagaimana buat liga, biar orang tertarik mau lihat. Emang kita enggak akan bisa meniru di Eropa--meskipun kalau ada orang yang modalin saya bisa bikinnya. Tapi, bukan berarti kalau enggak ada modal, kita enggak bisa. Karena ‘kan itu yang terus dijadikan alasan. Kalau pakai VAR anggaran jadi bengkak, pemasukan sedikit. Keganggu lah,” tegasnya. Kendati demikian, bukan BPL namanya kalau berhenti berinovasi. Tak puas hanya dengan VAR, kompetisi yang kini memasuki musim kedua ini tengah menggodok menggunakan goal line technology, spray, dan alat komunikasi wasit. Jalu mengatakan untuk spray dan alat komunikasi wasit sudah bisa direalisasikan dalam waktu dekat. Pasalnya, kedua alat tersebut kini telah tersedia di pasaran.
ADVERTISEMENT
Khusus kedua alat tersebut--plus papan pergantian pemain elektronik, PT Liga Indonesia Baru selaku operator Liga 1 sejatinya berencana untuk menggunakannya pada musim lalu. Akan tetapi, lagi-lagi rencana itu mentah begitu saja tanpa tahu sebabnya.
Permasalahan muncul dalam penggunaan goal line technology. Hal itu karena teknologi yang digunakan cukup kompleks. Teknologi ini pun direncanakan baru bisa digunakan pada musim depan. “Di Eropa ‘kan bolanya pakai chip, di kita mana ada, gimana bikinnya. Kemarin, kami sudah coba di tiang gawang pakai kamera kecil, jadi kalau ada objek lewat 100% dari garis, itu bisa dikatakan gol. Cuma masalahnya sekarang, objek kan banyak. Kepala masuk ke gawang objek, sepatu lewat garis juga objek. Itu yang masih kami atur, harus lebih spesifik. Kalau spray dan alat komunikasi musim ini juga sudah bisa dipakai. Bisa, karena enggak terlalu susah. Kami juga lagi lihat kemungkinan untuk gunakan papan iklan elektronik di pinggir lapangan,” paparnya. Bagaimana PSSI, sudah merasa tertampar?
ADVERTISEMENT