Kantung-kantung Keberuntungan yang Memberi Liverpool Bintang Kelima

22 Mei 2018 15:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perayaan Juara Liverpool. (Foto: JOHN D MCHUGH / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Perayaan Juara Liverpool. (Foto: JOHN D MCHUGH / AFP)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Glazer's Dollars or Roman's Roubles? Rafa, just 5 euros por favor."
ADVERTISEMENT
Banner bertuliskan kalimat di atas tergantung di langit-langit sebuah lorong di Stadion Anfield. Lorong itu menuju tribune tempat suporter tim tandang biasanya berada.
Saat saya melihat banner tersebut, saya tahu apa maksudnya. Tujuannya jelas. Para suporter Liverpool ingin menyombongkan diri dan mengucilkan para suporter lawan dengan gelar Liga Champions kelima yang diraih tim kesayangan mereka.
Sebab, Gelar Liga Champions kelima yang didapat pada musim 2004/05 adalah gelar yang teramat spesial. Gelar yang menjadi pembeda Liverpool dengan tim-tim yang disinggung dalam banner itu: Chelsea dan Manchester United.
Bahwa, gelar yang didapat Liverpool taklah datang dari kondisi tim yang tengah bergelimang uang. Tak didapat dengan skuat mentereng dan pemain-pemain top. Tak juga didapat pada musim di mana mereka tengah mendominasi.
ADVERTISEMENT
Gelar itu, didapat lewat peluh, kerja keras, dan beberapa kantung keberuntungan.
***
Liverpool di musim 2004/05 bukanlah klub yang mentereng. Dibanding Chelsea yang baru saja diakusisi oleh taipan asal Rusia bernama Roman Abramovich atau Manchester United yang mendapat suntikan dana dari keluarga kaya asal Amerika Serikat, Glazer, Liverpool tak ada apa-apanya.
Tengok saja di bursa transfer awal musim. Ketika Chelsea mendatangkan pemain-pemain yang baru saja meraih gelar Liga Champions bersama Porto atau United yang membeli Wayne Rooney, Liverpool hanya mendatangkan pemuda-pemuda Spanyol yang tak terkenal untuk menambal skuat mereka yang pas-pasan.
Xabi Alonso, Luis Garcia, Josemi, atau Antonio Nunez bukanlah nama yang akrab di telinga dan beberapa dari mereka belum jadi pemain top. Jika ada nama tenar yang didatangkan Liverpool, itu hanya Fernando Morientes, yang namanya terkatrol karena dia adalah penyerang Real Madrid.
ADVERTISEMENT
Rafa Benitez dan Fernando Morientes. (Foto: FILIPPO MONTEFORTE / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Rafa Benitez dan Fernando Morientes. (Foto: FILIPPO MONTEFORTE / AFP)
Musim itu, meski Liverpool baru saja mendatangkan Rafa Benitez--yang di musim sebelumnya memenangi Piala UEFA (sekarang Liga Europa, red) bersama Valencia--untuk jadi manajer anyar, tetapi riuhnya masih kalah dengan Chelsea yang baru saja mengontrak Jose Mourinho.
Selain itu, 'Si Merah' juga baru saja kehilangan bintang mereka, Michael Owen, yang di awal musim memilih hijrah ke Spanyol untuk berseragam Real Madrid. Di awal musim, cerita Liverpool juga tak terlalu mentereng.
Di ajang Premier League, seperti bisa, performa mereka angin-anginan. Di musim itu, Liverpool sulit untuk bersaing dengan Chelsea atau Arsenal, untuk merebut gelar liga. Pada awal-awal semester pertama, asa para suporter pun masih biasa-biasa saja.
Namun, di pengujung semester pertama, asa mulai hadir di Anfield. Liverpool mulai dinaungi oleh Dewi Fortuna. Itu dimula dari keberhasilan mereka mengalahkan Olympiacos di Anfield pada laga pamungkas fase grup Liga Champions.
ADVERTISEMENT
Liverpool menang 3-1 kala itu dan Steven Gerrard mencetak gol cantik. Poin mereka jadi 10 atau sama dengan Olympiacos. Namun, berkat kemenangan 3-1 itu, Gerrard dan kawan-kawan unggul selisih gol dan akhirnya lolos ke babak 16 besar bersama pemuncak grup, AS Monaco.
Merseyside tetap bersedih ketika pada pengujung Februari Liverpool takluk dari Chelsea di final Piala Liga. Mimpi meraih gelar pertama bersama Benitez buyar. Satu-satunya gelar paling realistis yang mereka raih pada musim itu lepas dari genggaman.
Beruntung, pada periode yang sama, di Liga Champions, Liverpool tampil meyakinkan. Pada babak 16 besar, mereka mengalahkan Bayer Leverkusen dua kali (kandang-tandang) dengan skor 3-1. Padahal, di babak fase grup, Leverkusen amat mengerikan karena berhasil mengalahkan Real Madrid dengan skor 3-0.
ADVERTISEMENT
Memasuki perempat final, Liverpool harus menghadapi raksasa Italia, Juventus, yang dalam beberapa musim sebelumnya mampu menguasai Serie A. Jika mungkin Liverpool akan tersingkir dari Liga Champions, maka fase ini adalah fase yang tepat.
Namun nyatanya, Dewi Fortuna datang kembali. Begini. Siapa yang menyangka tim yang berisikan Scott Carson, Djimi Traore, Anthony Le Tallec, dan Igor Biscan mampu mengalahkan tim yang dihuni oleh Gianluigi Buffon, Zlatan Ibrahimovic, Pavel Nedved, Fabio Cannavaro, hingga Alessandro Del Piero?
Liverpool vs Juventus 2005. (Foto: FILIPPO MONTEFORTE / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Liverpool vs Juventus 2005. (Foto: FILIPPO MONTEFORTE / AFP)
Namun, di situlah ajaibnya Liverpool. Dengan skuat berisikan nama-nama tadi, mereka mampu mengalahkan Juventus 2-1 di Anfield yang penuh magi itu dan kemudian menahan imbang 'Si Nyonya Tua' 0-0 di Turin. Liverpool melangkah ke semifinal Liga Champions untuk pertama kali sejak musim 1984/85.
ADVERTISEMENT
Di semifinal, Liverpool harus mengahdapi Chelsea-nya Mourinho yang tampil mengerikan sepanjang musim. 'Si Biru' kala itu adalah calon juara. Mourinho ingin mengulang pencapaian di musim sebelumnya dan kali ini skuat yang dia punya lebih mentereng dibanding skuat yang dia punya di Porto.
Pertandingan leg pertama berlangsung di Stamford Bridge. Didier Drogba, Claudio Makalele, Frank Lampard, John Terry, Petr Cech, hingga Ricardo Carvalho tak mampu berbuat apa-apa. Liverpool mampu menahan mereka untuk membuat leg pertama itu berakhir tanpa gol.
Realistisnya, hanya dua hal yang bisa menyelamatkan Liverpool dan membawa mereka lolos ke final: magi Anfield dan keberuntungan. Nyatanya, pada pertandingan leg kedua, Liverpool punya kedua hal tersebut.
Luis Garcia menyontek bola kemelut di mulut gawang Chelsea. Bola menuju ke dalam gawang Petr Cech. Bola terbang dan beberapa bagiannya sudah melewati garis gawang. Namun, belum sempat menyentuh tanah dan masuk seluruhnya, bola disapu oleh William Gallas.
ADVERTISEMENT
Wasit Lubos Michel asal Slovakia kemudian meniupkan peluitnya. Bagi dia, itu gol. 1-0 Liverpool unggul dan skor itu bertahan hingga laga berakhir. Liverpool melaju ke final lewat gol 'hantu' dan selepas pertandingan, beragam media menulis bahwa keberuntungan yang memenangkan Liverpool, bukan gol Garcia.
Gol 'hantu' Luis Garcia. (Foto: ADRIAN DENNIS / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Gol 'hantu' Luis Garcia. (Foto: ADRIAN DENNIS / AFP)
Namun, skor akhir pertandingan sepak bola tak mungkin untuk diralat dan Liverpool pun tiba di Istanbul, Turki. Di sana, mereka menghadapi AC Milan pada partai final Liga Champions. Sisanya kemudian adalah sejarah, karena kita tahu, Liverpool punya kantung keberuntungannya lagi dan mereka jadi kampiun meski sempat tertinggal 0-3 di babak pertama.
Kantung-kantung keberuntungan itu berhasil membawa tim yang lumayan kepayahan di Premier League dan dihuni pemain-pemain medioker itu mampu mengalahkan Milan yang punya Ricardo Kaka, Paolo Maldini, Andriy Shevchenko, Hernan Crespo, atau Andrea Pirlo.
ADVERTISEMENT
***
Musim itu benar-benar jadi musim yang teramat dikenang, dibanggakan, dan dielu-elukan oleh Liverpool dan para suporternya. Di dinding-dinding Anfield, cerita tentang betapa ajaibnya musim 2005 dengan sebuah malam di Istanbul itu terpampang jelas.
Karena itu pula wajah Rafa Benitez diabadikan di sebuah dinding, sederet dengan manajer-manajer legendaris Liverpool lain seperti Bill Shankly, Bob Paisley, hingga Joe Fagan. Dan tak ada yang menyangsikan kepantasan Benitez ada di sana.
Kisah tersebut juga menjadi cerita yang akan selalu didengungkan oleh suporter Liverpool, bahwa tim kesayangan mereka pernah menjalani sebuah musim yang amat membanggakan; yang sulit disamai oleh rival-rival mereka.