RUU Cipta Kerja Dinilai Akan Gerus Kesejahteraan Buruh

30 September 2020 14:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aksi tersebut menuntut DPR untuk menghentikan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Foto: Sigid Kurniawan/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Aksi tersebut menuntut DPR untuk menghentikan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Foto: Sigid Kurniawan/Antara Foto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) berpendapat, pandemi dan krisis COVID-19 menjadi pembenaran untuk semakin memacu pembahasan RUU yang dipenuhi berbagai kontroversi ini di parlemen. Salah satu kontroversi RUU Cipta Kerja ini ada di klaster ketenagakerjaan, di mana RUU bertujuan menurunkan biaya tenaga kerja Indonesia yang dipandang mahal dan memberatkan pengusaha.
ADVERTISEMENT
Peneliti IDEAS Askar Muhammad melihat penghapusan UMK (upah minimum kabupaten-kota) yang merupakan salah satu point di dalam RUU Cipta Kerja berpotensi menurunkan tingkat kesejahteraan buruh yang upahnya telah berada di atas UMK.
Dihapuskannya UMK berpotensi menurunkan tingkat kesejahteraan 12,4 juta pekerja di Jawa yang pada 2019 upahnya telah berada di atas UMK. Pada gilirannya, dihapuskannya UMK akan menekan tingkat upah 39,4 juta pekerja Jawa secara keseluruhan, khususnya pekerja tidak tetap dengan sistem pengupahan mingguan, harian, borongan dan per satuan hasil,” kata Askar Muhammad melalui webinar Rabu (30/9).
Askar menambahkan jika RUU Cipta Kerja tersebut disahkan, upah buruh akan semakin murah dengan hilangnya UMK dan menyisakan UMP (upah minimum provinsi) yang kenaikannya kini hanya didasarkan pada pertumbuhan ekonomi daerah saja, tanpa menyertakan inflasi.
ADVERTISEMENT
“Dengan UMP umumnya jauh lebih rendah dari UMK, maka kehilangan UMK yang merupakan jaring pengaman upah di tingkat lokal, akan menjadi pukulan keras bagi pekerja,”ucapnya.
Dari 63,8 juta buruh di Indonesia, hanya seperlimanya yang berstatus pekerja tetap dengan upah relatif memadai, dengan sisanya adalah pekerja tidak tetap yang terperangkap pada pekerjaan dengan upah rendah.
“Terlihat jelas bahwa, tanpa RUU Cipta Kerja sekalipun, upah pekerja Indonesia secara umum sudah rendah, di mana lebih dari 50 persen pekerja memiliki upah di bawah UMP yang pada 2019 rata-rata di kisaran Rp 2,5 juta,” ujar Askar.
Buruh melakukan aksi unjuk rasa tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (13/1). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
IDEAS menemukan bahwa saat ini upah rata-rata pekerja sudah rendah dan diprediksi akan semakin rendah bila RUU Cipta Kerja diterapkan. Pada 2019, upah rata-rata pekerja di 511 kabupaten-kota adalah lebih rendah dari UMP.
ADVERTISEMENT
“Hanya 3 daerah yang upah rata-rata pekerja di atas UMP yaitu Bekasi, Depok dan Kab Bekasi. Dihapuskannya UMK dipastikan akan semakin memperburuk tingkat upah dan kesejahteraan pekerja secara keseluruhan,” ungkap Askar.
Menurut Askar, kebijakan upah minimum di tengah lemahnya serikat buruh dan stagnannya upah kelas menengah, amat bermanfaat tidak hanya untuk penanggulangan kemiskinan, namun juga memperbaiki hubungan industrial dan kinerja makroekonomi. Setidaknya ada tiga manfaat dari kebijakan upah minimum.
“Pertama, Upah yang lebih tinggi akan secara efektif menurunkan perselisihan kerja antara buruh dan majikan sekaligus meningkatkan produktivitas buruh,” tuturnya.
Berikutnya upah yang lebih tinggi juga akan memberi dampak stabilisasi pada pengeluaran konsumen. Perekonomian secara keseluruhan akan lebih sejahtera karena lebih banyak pendapatan yang diterima pekerja akan meningkatkan daya beli mereka, sehingga menciptakan permintaan baru untuk barang dan jasa.
ADVERTISEMENT
“Ketiga Kebijakan upah minimum memiliki dampak makroekonomi yang besar karena berfokus pada perbaikan tingkat upah kelas pekerja terbawah, yang merupakan mayoritas populasi. Berbagai masalah sosial dari rendahnya upah, seperti kemiskinan dan kriminalitas otomatis terminimalisir,” lanjut Askar.