Perlukah Simplifikasi Tarif Cukai Rokok di 2021? Ini Kata Para Ekonom

4 September 2020 14:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pegawai pabrik rokok melakukan produksi manual. Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
zoom-in-whitePerbesar
Pegawai pabrik rokok melakukan produksi manual. Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemerintah memastikan akan menaikkan tarif cukai hasil tembakau atau rokok. Pengumumannya akan dilakukan paling cepat pada akhir bulan ini.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, terkait penyederhanaan atau simplifikasi struktur tarif cukai rokok, Ditjen Bea dan Cukai maupun Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu hingga saat ini belum dapat memastikan hal tersebut.
Padahal dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77 Tahun 2020 tentang Rancangan Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024, disebutkan bahwa layer cukai rokok akan berkurang secara bertahap menjadi hanya 3-5 layer di 2024, dari saat ini sebanyak 10 layer.
Peneliti Universitas Padjajaran (Unpad) Mudiyati Rahmatunnisa mengatakan, kebijakan cukai harus memperhatikan keberlangsungan industri hasil tembakau. Menurutnya, rencana simplifikasi justru dapat mengancam industri rokok, utamanya industri kecil.
Mudiyati menjelaskan, simplifikasi bahkan dapat mengurangi penyerapan tembakau pada pabrikan kecil hingga 30 persen. Sementara penyerapan cengkih bisa menurun hingga 40 persen.
ADVERTISEMENT
“Penyerapan bahan baku tembakau bakal berkurang 30 persen, sementara cengkih sampai dengan 40 persen. Simplifikasi berisiko membuat pabrikan kecil akan kolaps dan berimplikasi pada penyerapan tembakau yang berkurang dan sekarang sebetulnya sudah mulai terasa," kata Mudiyati dalam keterangannya, Jumat (4/9).
Petani tembakau di Pamekasan, Jawa Timur. Foto: Antara/Saiful Bahri
Sementara itu, Kepala Tim Riset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (UI) Teguh Dartanto menyatakan, Kemenkeu sebenarnya telah melakukan pengawasan kebijakan cukai rokok. Memang, menurutnya ada tantangan untuk menetapkan kebijakan, namun otoritas fiskal dinilai perlu memperhatikan seluruh aspek.
“Pengendalian cukai tidak bisa diaplikasikan pada satu kebijakan. Ini adalah jalan panjang untuk sebuah perubahan, tapi yang dibutuhkan adalah persistensi dan konsistensi dari semua pihak,” jelasnya.
Ekonom Senior Indef Faisal Basri menjelaskan, pihaknya belum mengetahui mengenai kebijakan penyederhanaan tarif cukai rokok apakah akan terlaksana mulai 2021. Menurutnya, lobi sejumlah perusahaan rokok cukup kuat.
ADVERTISEMENT
“Juga saya tanya ke orang Bea Cukai, apakah akan sederhanakan klasifikasi yang 10 jadi 3 layer? Tidak bisa menjawab. Ini lobi pabrik rokok luar biasa dahsyatnya,” kata Faisal.
Faisal menjelaskan, tujuan layer dalam struktur tarif cukai rokok adalah untuk mencegah perusahaan besar bersaing langsung dengan perusahaan kecil. Kenyataannya, sebagian produk buatan pabrik besar asing memilih tetap bertahan di kelompok tarif cukai rendah, dengan cara menahan batasan produksinya.
“Dia (pabrik besar asing) tidak mau meningkatkan produksi sampai batas miliar layernya. Karena kalau layernya naik, mereka akan terkena cukai paling tinggi,” kata Faisal.
Pengamat ekonomi, Faisal Basri. Foto: Resya Firmasnyah/kumparan
Perusahaan-perusahaan asing tersebut dinilai sebagai pemain global dengan tingkat produksi sangat besar. Kebijakan struktur tarif cukai yang berlaku saat ini semakin membuat para pemain global tersebut leluasa memainkan strategi ilusi harga.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Partner Tax Research and Training Services Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menyatakan, kebijakan simplifikasi tarif cukai rokok merupakan kebijakan yang seimbang untuk mencapai tujuan kesehatan, mengoptimalkan penerimaan negara, menciptakan persaingan usaha yang sehat, dan memperketat pengawasan cukai tembakau.
Dalam laporan DDTC mengenai ‘Kebijakan Cukai Hasil Tembakau yang Berimbang dan Berkepastian’ yang diterima kumparan, lembaga riset perpajakan ini merekomendasikan urgensi simplifikasi cukai rokok untuk menjawab tumpang tindih kebijakan cukai yang saat ini terjadi.
Simplifikasi cukai rokok juga dinilai tak akan mengakibatkan kematian industri kecil dan terjadinya oligopoli. Justru, saat ini perusahaan kecil menengah di golongan II dan III bersaing langsung dengan entitas besar, melalui tarif cukai hasil tembakau dan harga jual yang sama.
ADVERTISEMENT
Bawono menjelaskan, sengkarut kebijakan cukai rokok saat ini kerap menimbulkan polemik dan bersifat dilematis. Bahkan menurutnya, tujuan pengendalian tembakau tidak akan efektif karena kompleksnya struktur tarif cukai saat ini.
“Yang mengakibatkan adanya pergeseran tarif cukai dari tier atas ke bawahnya, ketika terjadi peningkatan harga. Jadi inilah yang sebenarnya cukup penting untuk dilakukan simplifikasi karena pemerintah jadi lebih bisa mengendalikan konsumsi,” kata Bawono.
Dalam laporan DDTC juga tertulis, penggabungan batasan produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) menjadi Sigaret Mesin (SM) ini pun hanya akan berdampak pada perusahaan besar multinasional saja.
“Pelaku usaha lokal yang membuat pabrikan industri hasil tembakau skala menengah, juga tidak akan terdampak ataupun dipaksa naik ke golongan teratas,” tulis laporan tersebut.
ADVERTISEMENT