Mencari Obat Kuat buat Rupiah dari Sektor Migas

4 September 2018 18:02 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Eksplorasi migas lepas pantai. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Eksplorasi migas lepas pantai. (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rupiah tak mampu menahan keperkasaan dolar Amerika Serikat (AS). Dolar AS akhirnya menembus level terbarunya siang ini. Mata uang Paman Sam tersebut menyentuh level Rp 14.900.
ADVERTISEMENT
Mengutip data perdagangan Reuters, Selasa (4/9), hingga pukul 14.10 WIB, dolar AS bertengger di posisi tertingginya di Rp 14.910. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari posisi pembukaan pagi tadi di Rp 14.810. Secara year to date (ytd) atau dari awal tahun hingga saat ini, dolar AS sudah menguat terhadap rupiah sebesar 9,9 persen.
Salah satu penyebab pelemahan rupiah adalah ketergantungan Indonesia pada impor minyak. Defisit neraca perdagangan dari sektor minyak dan gas bumi (migas) pada kuartal II 2018 mencapai USD 2,7 miliar, tertinggi sejak 2015. Ekspor migas tercatat hanya USD 4,4 miliar, sedangkan impor migas mencapai USD 7,2 miliar.
Salah satu langkah yang disiapkan pemerintah untuk menekan impor minyak adalah dengan mendorong PT Pertamina (Persero) untuk membeli minyak mentah dari semua Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang ada di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Saat ini produksi minyak mentah nasional mencapai 775 ribu barel per hari (bph), di mana sebanyak 550 ribu bph merupakan bagian milik pemerintah dan Pertamina yang selama ini diolah di dalam negeri. Sedangkan 225 ribu bph adalah bagian milik kontraktor yang selama ini diekspor.
Aktivitas pengeboran migas. (Foto: Resya Firmansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Aktivitas pengeboran migas. (Foto: Resya Firmansyah/kumparan)
Menurut Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto, pemerintah memang perlu mengambil langkah-langkah untuk memperkuat rupiah dalam jangka pendek. Namun, sebenarnya penghematan yang diperoleh dari kebijakan ini tak seberapa karena minyak yang dibeli Pertamina dari kontraktor harganya sama saja dengan impor. Dibayarnya pun juga dengan mata uang dolar AS.
Penghematan hanya diperoleh dari biaya transportasi untuk pengiriman minyak mentah. Biaya pengapalan jadi lebih rendah karena sumber minyak dekat dengan kilang.
ADVERTISEMENT
"Penghematannya itu bergantung pada lokasi. Penghematannya seberapa banyak bisa membantu? Apakah cukup signifikan? Itu perlu ditelaah," kata Pri Agung kepada kumparan, Selasa (4/9).
Di sisi lain, kebijakan ini herus dilakukan dengan sangat cermat dan penuh kehati-hatian. Kewajiban menjual minyak mentah kepada Pertamina bisa saja membuat kontraktor tidak nyaman sehingga merusak iklim investasi.
"Ada potensi konflik dengan kontrak, jangan sampai jadi bumerang buat kita sendiri. Kalau investor tidak nyaman, mereka lari keluar. Padahal kita membutuhkan investasi juga untuk memperkuat rupiah," papar Pri Agung.
Karena itu, ia menyarankan agar pemerintah tidak mewajibkan kontraktor menjual minyaknya ke Pertamina. Cukup mendorong Pertamina bernegosiasi secara business to business (B to B) saja dengan para kontraktor.
ADVERTISEMENT
"Kontraktor jangan dipaksa, Pertamina saja didorong membeli secara B to B, Pertamina didorong membeli sebanyak-banyaknya dari kontraktor," ucapnya.
Menimbang Opsi Menaikkan Harga BBM Tak hanya di hulu, pemerintah juga perlu membuat kebijakan di sektor hilir migas untuk menekan impor. Salah satu opsi kebijakan yang disarankan oleh Pri Agung adalah dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
"Sebetulnya harus diakui kalau itu (menaikkan harga BBM) salah satu cara juga. Kalau ada penyesuaian harga BBM, orang akan lebih rasional menggunakannya. Diharapkan konsumsi BBM bisa turun," ujarnya.
Ia mengungkapkan, kenaikan harga BBM terbukti dapat menurunkan laju pertumbuhan konsumsi dan impor BBM. Berkaca dari kenaikan harga BBM pada 2005 misalnya, kata Pri Agung, pertumbuhan konsumsi BBM jadi tertahan pada 2006.
ADVERTISEMENT
"Paling tidak kenaikan harga BBM pernah dua kali membuat konsumsi BBM pada tahun berikutnya melambat," ia menuturkan.
Tentu kenaikan harga BBM mengandung risiko besar bagi pemerintah. Secara politik, kenaikan harga BBM tak populer di mata rakyat. Elektabilitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa turun, padahal ini tahun politik. "Mungkin tidak populer bagi pemerintah," kata Pri Agung.
Suasana di SPBU Cikini. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di SPBU Cikini. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Menunda Proyek Kilang Minyak Saat ini Ada 4 kilang modifikasi atau Refinery Development Master Plan (RDMP) yang tengah digarap Pertamina yaitu Kilang Balikpapan, Cilacap, Balongan, dan Dumai. Selain itu, ada 2 Grass Root Refinery (GRR) yaitu Tuban dan Bontang.
Tiap proyek RDMP membutuhkan biaya investasi USD 5 miliar, sedangkan proyek GRR membutuhkan kurang lebih USD 12,5 miliar. Proyek-proyek ini dijalankan untuk menekan impor BBM.
ADVERTISEMENT
Namun, untuk menyelamatkan rupiah dalam jangka pendek, proyek-proyek ini sebaiknya ditunda dulu. Selain membutuhkan banyak dolar, proyek kilang juga menggunakan banyak komponen impor.
Penundaan ini hanya sementara selagi rupiah sedang loyo. Pri Agung menyatakan, proyek kilang harus tetap jalan untuk memperkuat ketahanan energi Indonesia dalam jangka panjang.
"Bagaimana pun pembangunan kilang harus dilakukan untuk jangka panjang. Kalau tidak, makin berat buat kita ke depan," katanya.
Lebih lanjut, Pri Agung menjelaskan bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah untuk menekan defisit dari sektor migas dan memperkuat rupiah ini tentu tak bisa berdampak instan. Butuh waktu agar efeknya terlihat, tergantung juga pada implementasinya di lapangan.
"Tidak bisa sektor migas kita jadi langsung surplus. Defisit sektor migas ini masalah yang sudah lama. Kita defisit dari migas sejak 2011, khusus dari minyak sudah sejak 2004. Arah kebijakan pemerintah sekarang sudah benar, tapi hasilnya bergantung pada implementasi," tutupnya.
ADVERTISEMENT