Faisal Basri Kritik Penjualan SUN Masih Bergantung ke Asing

10 Desember 2019 18:05 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pegawai menunjukan uang dolar Amerika Serikat di gerai penukaran uang Ayu Masagung di Jalan Kramat Kwitang, Senen, Jakarta Pusat, Kamis (7/11). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pegawai menunjukan uang dolar Amerika Serikat di gerai penukaran uang Ayu Masagung di Jalan Kramat Kwitang, Senen, Jakarta Pusat, Kamis (7/11). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ekonom Faisal Basri mengkritik kebijakan pemerintah terkait penjualan Surat Utang Negara (SUN) yang masih bergantung pada investor asing.
ADVERTISEMENT
Jika dibandingkan berbagai negara di Asia, dia bilang Indonesia termasuk yang terbesar yaitu sekitar 38 persen.
“Di negara-negara lain di China 4 (persen), di Filipina di bawah 10 (persen), Malaysia yang agak gede 22 persen, kita 38,3 persen goverment currency bond yang dipegang oleh asing per Maret 2019. Jadi yang create uncertainly pemerintah sebetulnya,” ujar Faisal dalam acara Dialog APBN untuk Indonesia Maju di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (10/12). 
Hingga akhir November 2019 ini, porsi kepemilikan asing tercatat memang bertahan di 6,46 persen. Sementara, kepemilikan asing di SUN terus naik dan bertahan di porsi 38 persen.
Pengamat ekonomi, Faisal Basri. Foto: Resya Firmasnyah/kumparan
Di situasi yang kurang menguntungkan itu, kata Faisal, Indonesia sebetulnya masih terbilang boleh berlega hati. Sebab, tak larut dalam krisis yang tengah terjadi di global. Hal itu, dikarenakan Indonesia masih minim menggantungkan dari luar negeri yang tengah bergejolak tinggi. Sebaliknya, mengandalkan domestik.
ADVERTISEMENT
"Saat krisis 2008 hingga 2009, ekonomi kita masih tumbuh 4,6 persen. Disaat resesi, level ekonomi kita (ibaratnya) masih di ‘selokan’, tidak mungkin tenggelam," kata Faisal.
Tak terkecuali di sektor keuangan, dia bilang, ekonomi Indonesia juga tidak akan mudah mengalami guncangan kencang saat terjadi krisis karena tingkat inklusi keuangannya juga masih belum tinggi. 
"Sektor keuangan masih cetek, kalau ada krisis global kita tidak masalah. Tentu semua turun, tapi penurunan kita paling kecil," ujarnya.