Dear Rizal Ramli, Ekonomi RI Masih Baik

2 Agustus 2018 8:35 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rizal Ramli menceritakan perekonomian Indonesia. (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rizal Ramli menceritakan perekonomian Indonesia. (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perekonomain Indonesia terus menjadi sorotan sejumlah pihak dalam beberapa waktu terakhir. Bahkan mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli mengatakan, kondisi ekonomi domestik saat ini tengah sakit.
ADVERTISEMENT
Rizal Ramli menyebut tiga indikator utama yang membuat perekonomian sakit, yakni semakin melebarnya defisit neraca perdagangan, transaksi berjalan, serta neraca pembayaran.
Selama semester I 2018, Indonesia hanya dua kali mengalami surplus neraca perdagangan di Maret sebesar USD 1,09 miliar atau sekitar Rp 15,7 triliun (kurs di Jakarta Interbank Spot Dollar Rate sebesar Rp 14.400) dan di Juni sebesar USD 1,74 miliar atau sekitar Rp 25,05 triliun.
Adapun selama kuartal I 2018, neraca transaksi pembayaran mencatatkan defisit USD 3,9 miliar, seiring meningkatnya defisit transaksi berjalan (Current Account Defisit/CAD) dan turunnya transaksi modal dan finansial.
Pada kuartal I 2018, transaksi berjalan mencatatkan defisit sebesar USD 5,5 miliar atau sekitar 2,1 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu defisit USD 2,4 miliar atau 1 persen terhadap PDB.
ADVERTISEMENT
Beberapa hal tersebut menurut Rizal Ramli menyebabkan rupiah terus melemah terhadap dolar AS dan tak beranjak dari level Rp 14.000. Akibatnya, cadangan devisa yang dimiliki Indonesia juga tergerus untuk intervensi rupiah. Cadangan devisa sudah tergerus USD 12,18 miliar sejak awal tahun hingga akhir Juni 2018 yang sebesar USD 119,8 milar.
Rapat kerja badan anggaran DPR RI dengan Menteri Keuangan dan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rapat kerja badan anggaran DPR RI dengan Menteri Keuangan dan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menjelaskan, perekonomian Indonesia memang tengah menghadapi tekanan berat, di mana beberapa indikator ekonomi tersebut memburuk. Namun, masih banyak indikator ekonomi lainnya yang menunjukkan pertumbuhan.
Pertumbuhan ekonomi selama kuartal I 2018 tumbuh 5,06 persen, lebih tinggi dari kuartal I 2017 yang sebesar 5,01 persen. Sementara itu, laju inflasi juga masih terkendali, selama Juli 2018 laju inflasi sebesar 0,28 persen secara bulanan (month to month/mtm) dan mencapai 3,18 persen secara tahunan (year on year/yoy), masih dalam target pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sebesar 3,5 plus minus 1 persen.
ADVERTISEMENT
Selain itu, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2018 sebanyak 25,95 juta atau 9,82 persen dari jumlah penduduk. Angka itu turun dibandingkan September 2017 yang sebesar 26,58 juta atau 10,12 persen.
"Perekonomian kita masih baik, tapi secara struktur ekonomi kita memang lemah. Ekonomi kita gampang terkena shock, dan ini kelemahan kita sejak dulu," ujar Piter kepada kumparan, Rabu (2/8).
"Rupiah yang memburuk, trade balance deficit, cadangan devisa yang menurun, menurut saya menunjukkan adanya tekanan yang besar terhadap perekonomian kita, tetapi belum sampai pada kondisi sakit atau krisis. Saya meyakini kita akan mampu melewati masa sulit ini," lanjutnya.
Piter juga menyebut, pemerintah tak tinggal diam untuk menghadapi tekanan global tersebut. Beberapa cara terus dilakukan pemerintah untuk mengatasi tekanan, mulai dari imbauan eksportir untuk menaruh devisa hasil ekspor ke dalam negeri dan mengkonversi ke rupiah, hingga membatasi sejumlah barang impor.
ADVERTISEMENT
Dari sisi fiskal, selama semester I 2018, pemerintah berhasil mengumpulkan penerimaan pajak sebesar Rp 581,54 triliun atau 40,84 persen dari target. Angka ini menunjukan perbaikan yang signifikan dalam penerimaan negara, dibanding realisasi APBN-P 2017 sebesar 39,75 persen.
Kantor Pelayanan Pajak Menteng Dua, Jakpus. (Foto: Abdul Latif/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kantor Pelayanan Pajak Menteng Dua, Jakpus. (Foto: Abdul Latif/kumparan)
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyebutkan, melihat kinerja penerimaan pajak tersebut pihaknya memprediksi hingga akhir tahun ini penerimaan pajak akan mencapai 94 persen dari target APBN 2018. Sementara selama tahun lalu, pemerintah berhasil meraup penerimaan perpajakan sebesar 90,98 persen dari target APBN 2017.
"Sebuah pencapaian yang luar biasa melihat target penerimaan pajak dalam APBN 2018 naik lebih dari 20 persen dari realisasi 2017," kata Yustinus.
ADVERTISEMENT
Sementara untuk belanja negara, realisasi hingga akhir Juni 2018 sebesar Rp 944 triliun, mencapai sebesar 42,5 persen dari alokasi dalam APBN 2018 sebesar Rp 2.220,6 triliun.
Realisasi belanja negara tersebut meliputi belanja pemerintah pusat sebesar Rp 558,4 triliun atau 38,4 persen dari target sebesar Rp 1.454,4 triliun. Hal tersebut terdiri dari belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp 295,9 triliun atau 34,9 persen dari target dan belanja non kementerian dan lembaga sebesar Rp 262,4 triliun atau 43,2 persen dari target.
Dengan demikian, defisit anggaran selama semester I 2018 sebesar Rp 110,5 triliun atau 0,75 persen terhadap PDB. Defisit ini lebih kecil dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 1,29 persen terhadap PDB dan tahun 2016 yang sebesar 1,82 persen terhadap PDB.
ADVERTISEMENT
Konpers RDG Bank Indonesia. (Foto: Nicha Muslimawati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Konpers RDG Bank Indonesia. (Foto: Nicha Muslimawati/kumparan)
Sementara itu dari sisi moneter, BI juga telah menempuh sejumlah langkah untuk memperkuat ekonomi domestik. BI telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 basis poin (bps) ke level 5,25 persen hingga Juli 2018 sebagai langkah antisipatif atau pre-emptive bank sentral dalam menghadapi gejolak eksternal.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut, kenaikan suku bunga acuan tersebut merupakan 'jamu pahit', sementara 'jamu manis' merupakan kebijakan makroprudensial yang diperlonggar bank sentral, salah satunya kebijakan di sektor properti yakni loan to value (LTV) yang mulai berlaku sejak awal Agustus ini.
Kenaikan suku bunga acuan sebagai ‘jamu pahit’, biasanya akan ditransmisikan ke suku bunga deposito sekitar 3-6 bulan mendatang dan terhadap kredit 6-9 bulan mendatang. Baru setelahnya, dapat dirasakan dampak 'jamu pahit' tersebut ke penyaluran kredit dan ekonomi dalam waktu 1,5 tahun.
ADVERTISEMENT
Selain itu, BI juga mengaktivasi Sertifikat Bank Indonesia (SBI) bertenor 9 dan 12 bulan untuk menambah pembiayaan defisit transaksi berjalan dari portofolio. Hal tersebut juga dilakukan bank sentral untuk memberikan diversifikasi kepada investor asing terkait instrumen di pasar keuangan.
Tak hanya itu saja, BI juga baru saja meluncurkan mekanisme suku bunga baru bertenor satu malam (overnight) yakni Indonesia Overnight Index Average (IndONIA). IndONIA ini nantinya akan menggantikan suku bunga overnight Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) yang selama ini menjadi acuan di pasar uang antarbank.
Petugas jasa penukaran valuta asing memeriksa lembaran mata uang rupiah dan dollar AS di Jakarta. (Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
zoom-in-whitePerbesar
Petugas jasa penukaran valuta asing memeriksa lembaran mata uang rupiah dan dollar AS di Jakarta. (Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Ekonom Maybank Indonesia Juniman menilai, IndONIA juga merupakan cara untuk membuat rupiah menjadi lebih stabil. Sebab perhitungan suku bunga acuan dilakukan berdasarkan transaksi riil, bukan lagi kuotasi.
ADVERTISEMENT
"Paling enggak ini akan membuat suku bunga swap rupiah dan dolar AS terjaga, sehingga kurs rupiah juga terjaga," tambahnya.
Rizal Ramli sebelumnya menyebut perekonomian domestik sakit dengan menggunakan indikator triple defisit Indonesia, yakni defisit neraca perdagangan, neraca pembayaran, dan transaksi berjalan.
"Ekonomi kita sedang sakit," katanya.
Dia melanjutkan, defisit neraca perdagangan Indonesia disebabkan tekanan terhadap impor migas yang cukup besar. Sementara itu, ekspor Indonesia hanya mengandalkan komoditas seperti CPO, batu bara, dan karet yang harganya fluktuatif di tingkat global.
"Setiap hari kita impor BBM dan minyak mentah. Kita enggak ekspor lagi,” ucapnya.