Kisah Bocah Penjual Tisu di JPO yang Bantu Perekonomian Keluarga

Kamila Sayara
Mahasiswa Jurnalistik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta
Konten dari Pengguna
1 Juli 2021 20:15 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kamila Sayara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mulqi saat sedang berjualan tisu di JPO depan Mall Depok Town Square/ Foto : Kamila Sayara Avicena
zoom-in-whitePerbesar
Mulqi saat sedang berjualan tisu di JPO depan Mall Depok Town Square/ Foto : Kamila Sayara Avicena
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Meski Pernah Ditangkap Satpol PP, Tak Urungkan Niatnya untuk Selalu Membantu Orang tua
ADVERTISEMENT
Setiap harinya, yang ia tau hanyalah bersekolah dan bekerja untuk mendapatkan beberapa lembar rupiah agar bisa membantu perekonomian keluarganya. Baginya tak ada banyak waktu yang bisa digunakan untuk bermain seperti anak sebayanya di luaran sana.
Anak tangga ke-enam pada Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang terletak di kawasan Margonda, Depok, Jawa Barat, menjadi tempat bocah berusia 11 tahun itu biasa mangkal saat berjualan tisu. Kantong kresek hitam berukuran besar yang selalu diisi tisu sebanyak 20 pack itu telah berdiri tegak di hadapannya.
Suara kendaraan yang ramai berlalu lalang sudah seperti alunan musik yang selalu memenuhi indra pendengarannya. Banyaknya kendaraan yang memadati jalanan pada jam-jam tertentu menjadi hiburan tersendiri baginya saat merasa bosan ketika sedang menawarkan tisu dagangannya kepada para pejalan kaki yang lewat di JPO.
ADVERTISEMENT
Saat ditemui, bocah yang masih duduk di bangku kelas 6 Madrasah Ibtidaiyah (MI) itu mengenakan celana hijau panjang khas sekolah madrasah dan kaus oblong berwarna hitam. Tas sekolah yang biasa ia gunakan ketika hendak menuntut ilmu pun turut serta menemaninya saat berjualan. “Tisu nya om, kakak. Tisu nya bu,” begitulah cara Mulqi menawarkan dagangannya ketika melihat beberapa pejalan kaki yang melintas di hadapannya.
Anak kedua dari empat bersaudara ini bercerita bahwa ia mulai berjualan tisu sejak 2017. “Gara-gara liat temen, jadi pengen ikutan,” ujar Mulqi yang saat itu hendak membeli minuman untuk menghilangkan dahaganya. Setiap harinya ia mulai berjualan di JPO dari jam 3 sore hingga jam 9 malam. Dari tempat tinggalnya yang berada di daerah Beji, Mulqi menggunakan angkot untuk sampai di JPO. “Kalo pulangnya jalan kaki, sekalian nawarin ke orang yang di jalan,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Kedua orang tua Mulqi hanyalah orang biasa. Ayahnya bekerja sebagai sopir pribadi di salah satu rumah di daerah Cinere yang hanya akan pulang dua kali dalam seminggu. Sedangkan ibu nya hanya seorang pedagang kasur bulu di daerah Gandul, Jakarta Selatan. Sebelum bekerja sebagai pedagang kasur, ibu Mulqi sempat bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART). Namun karena pekerjaan yang terlalu berat dengan gaji yang sedikit, akhirnya sang ibu memutuskan untuk berhenti. Kesulitan perekonomian yang dialami keluarganya menggerakkan hati Mulqi untuk membantu kedua orang tuanya dan menjadikannya pribadi yang mandiri sejak usia dini.
Bukan hanya Mulqi yang berusaha membantu perekonomian keluarganya, kakak laki-laki nya pun yang baru duduk di bangku kelas 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP) sudah lebih dulu membantu dengan menjadi pengamen jalanan sejak Sekolah Dasar (SD). Melihat sang kakak yang giat membantu orang tua mereka membuat Mulqi akhirnya tertarik ingin ikut mengamen. Bahkan pekerjaannya sebagai pengamen jalanan sudah dilakoninya jauh sebelum ia berdagang tisu di JPO.
ADVERTISEMENT
Dulu sebelum berdagang tisu, Mulqi akan mengamen di daerah Juanda setelah jam sekolah usai. Namun, saat ia mulai menjajakan tisu di JPO, ia baru akan mengamen pada malam hari setelah selesai berdagang. Dan kini saat pandemi melanda, Mulqi melakukan rutinitas mengamen nya dari pagi hingga siang hari karena aktivitas bersekolahnya diliburkan. Lalu dilanjutkan berdagang tisu dari sore hingga malam hari. Sebelum mengamen di Juanda, Mulqi pernah mengamen dari angkot ke angkot. Namun karena pernah jatuh dan terserempet, kedua orangtuanya pun tidak memperbolehkannya lagi.
Sebelum jam tiga sore, Mulqi akan pergi ke bawah fly over dekat Stasiun Depok Baru untuk mengambil tisu dagangannya dari agen yang ada di sana. Satu pack tisu dagangan Mulqi dijual dengan harga tiga ribu rupiah. Dalam sehari dagangannya tak selalu habis. "Kadang dapet 20 ribu, paling banyak dapet 40 ribu," ucapnya sambil tersenyum. Mulqi bercerita kadang-kadang ia bisa mendapatkan lebih jika ada orang baik yang tidak meminta kembalian. "Uang nya dikasih ke orang tua semua," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Bagi Mulqi tak ada yang namanya cukup waktu untuk bermain-main. Meski di hari minggu pun ia tetap dengan rajin mencari lembaran rupiah. Kadang kala setelah pulang dari berjualan tisu, ia menyempatkan diri bersama teman-temannya untuk menjadi tukang parkir di pertigaan jalan dekat rumahnya. “Lumayan buat nambah uang jajan,” begitu katanya.
Meskipun senyuman manis dan polos khas anak kecil selalu menghiasi wajahnya, bukan berarti niatan baik Mulqi untuk membantu kedua orangtuanya tak pernah menemui rintangan. Pernah suatu waktu ketika sedang mengamen ia tertangkap dalam razia yang digelar Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Setelah ditanya-tanyai, Mulqi akhirnya harus ditahan selama satu bulan penuh. Ketika mengetahui hal tersebut, orang tua Mulqi mencoba berbicara dengan petugas satpol pp untuk membebaskan putra mereka, namun hasilnya nihil. Saat dibebaskan, orang tua Mulqi akhirnya memintanya untuk berhenti mengamen dan berdagang namun Mulqi menolak.
ADVERTISEMENT
Bukan tanpa sebab Mulqi menolak keinginan orang tuanya. Ia merasa sangat kasihan apabila orangtuanya harus bekerja begitu keras untuk menghidupi dirinya dan juga saudara-saudaranya. Mulqi tidak tega saat melihat orangtuanya harus dimarahi karena telat membayar uang kontrakan. Apalagi ibunya kerap kali menjadi bahan omongan tetangga karena memiliki banyak utang. Bukan hanya di lingkungan rumah, ketika di sekolah pun terkadang ada saja beberapa temannya yang membully dirinya. "Pernah ada yang bully, antepin aja," tuturnya sambil tersenyum.
Bocah yang hobi bermain bola itu tak pernah memiliki keinginan yang besar dalam hidupnya. Ia hanya punya satu tujuan hidup yaitu meringankan beban kedua orangtuanya. Mulqi selalu bekerja dengan ikhlas dan tidak pernah mengeluh. Ia tidak pernah merasa pekerjaannya sebagai pengamen atau pun penjual tisu merupakan suatu pekerjaan yang berat. Justru ia sangat menyukai pekerjaan itu. “ikhlas, nggak berat, malah seneng,” ujarnya.
ADVERTISEMENT