Puluhan Warga Mataram, NTB, Jemput Paksa Jenazah Pasien COVID-19

Konten Media Partner
10 Juli 2020 10:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jenazah pasien positif COVID-19 di NTB yang dijemput paksa oleh keluarga. Foto: Instalombok
zoom-in-whitePerbesar
Jenazah pasien positif COVID-19 di NTB yang dijemput paksa oleh keluarga. Foto: Instalombok
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Info Dompu - Seorang perempuan bernama MS (47) asal Desa Mekar Sari, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), awalnya mengalami kecelakaan lalu lintas. Namun, setelah dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Mataram, ia dinyatakan positif COVID-19.
ADVERTISEMENT
Pihak keluarga dan warga tak menerima hal tersebut beramai-ramai mendatangi RSUD Kota Mataram hingga akhirnya berujung dengan penyerbuan massa ke RSUD Kota Mataram, Senin (6/7).
Massa menjemput paksa jenazah MS demi memberikan pemakaman tanpa prosedur COVID-19. Insiden ini menjadi viral di media sosial.
“Kami menolak karena ciri-ciri almarhumah tidak seperti yang disebutkan (tidak mengalami gejala COVID-19),” tegas anak MS sebelum proses pemakaman Ibunya, Selasa (7/7).
Saat diperiksa, menurutnya, sang ibu dinyatakan hanya mengalami pilek dan demam. “Begitupula setelah dicek suhu tubuhnya normal, karena itu kami nolak dilakukan rapid test dan swab,” jelas dia.
Akhirnya pihak RS pun memintanya menandatangani surat pernyataan menolak rapid test dan swab. Setelah itu, ibunya diminta untuk dibawa pulang. Ia pun menyanggupinya.
Warga yang menyambut jenazah. Foto: Instalombok
“Saya tandatangani surat itu, tapi almarhumah ibu saya saat itu diberikan obat pereda nyeri, setelah mendingan baru bisa dibawa pulang, itu kata pihak rumah sakit,” ujar dia.
ADVERTISEMENT
Ia pun menunggu hampir satu jam di sana. Namun, akhirnya pihak RS berubah pikiran, meskipun ia sudah menandatangani surat menolak rapid test dan swab. Akhirnya, ibunya dirawat di sana selama sehari.
Karena tak ada perubahan kondisi ibunya memang dirujuk ke RS lain. Sempat menginap semalam dan ditempatkan di zona hijau, ibunya hanya diberikan obat satu kali. Sampai sore hari, ibunya kejang-kejang sehingga ia panik dan memangil petugas medis di sana. Kemudian memeriksa kondisi ibunya. Setelah itu, dilakukan swab dengan dasar ada hasil rapid test.
“Kami bertanya kok kami tidak dikasih tahu dilakukan rapid test, ternyata sudah ada hasil rapid dari rumah sakit tempat dirawat sebelumnya. Di sini sudah ada kejanggalan, karena di rumah sakit sebelumnya kami sudah tandatangan surat penolakan rapid tes dan swab. Saya lihat hasil rapid non reaktif,” imbuh dia.
ADVERTISEMENT
Setelah di-swab, jelas dia, ia diberitahukan oleh pihak petugas medis RS Kota Mataram bahwa almarhumah akan diisolasi sambil menunggu hasil swab paling lambat keluar tiga hingga empat hari kemudian.
Hari Minggu, sekitar jam 20.00 WITA, ibunya dipindah ke ruang isolasi. Selama di sana, almarhumah ibunya hanya boleh berdua dan ia pun ditemani bapaknya. Pada hari Senin malam, 6 Juli 2020, sang ibu meninggal. Itu hanya berselang satu hari setengah setelah diambil swab-nya.
Foto: Instalombok
Namun, saat hasil swab-nya baru keluar setelah ibunya meninggal. Di sini, ia pun merasa janggal. Sebab hasil swab yang tadinya keluar tiga sampai empat hari bisa keluar kurang dua hari.
Kepala Desa Mekar Sari, Nasrudin, mengatakan beberapa hal menjadi alasan pengambilan paksa jenazah oleh pihak keluarga dan warga masyarakat. Pertama jelas dia, keluarga yang kecewa dengan pelayanan rumah sakit dinilai lamban. Pihak kelpiuarga dan masyarakat merasa kurang menerima hasil swab yang Keluar setelah pasien meninggal.
ADVERTISEMENT
“Kenapa kok setelah meninggal disampaikan bahwa pasien positif, itu yang mengecewakan pihak keluarga dan warga,” jelas dia.
Saat kejadian pengambilan paksa jenazah itu, massa terlalu banyak sehingga pihaknya tidak bisa membendung karena jumlah aparat yang ada tidak terlalu banyak untuk menghalau massa. Pihaknya bersama Camat, Danramil dan Kepolisian pun hanya bisa menjaga agar massa tidak mengganggu atau merusak fasilitas negara (rumah sakit, red).
Warga berkumpul untuk mendoakan jenazah. Foto: Instalombok
Massa pun tidak sampai merusak fasilitas rumah sakit. Pada saat kejadian dan setelah kejadian, pihaknya bersama jajaran, kecamatan, aparat kepolisian, TNI melakukan langkah-langkah penanganan.
Pihaknya melakukan pendekatan kepada para tokoh, memberikan pemahaman dan pengertian kepada masyarakat terkait masalah ini.
Pihaknya bersama tim puskesmas pun memberikan pemahaman terkait Corona sehingga harus tetap menerapkan protokol kesehatan. Namun, tak lama berselang, warga datang berbondong-bondong. Masyarakat ini pun masih bisa dikendalikan. Dalam proses negosiasi tersebut, tiba-tiba warga kembali berdatangan.
ADVERTISEMENT
“Sampai kami tidak bisa kendalikan,” akunya.
Akhirnya, disepakatilah dengan pihak aparat bahwa demi keamanan rumah sakit dan kenyamanan pasien, jenazah akhirnya dibawa pulang dengan syarat pihak keluarga, kades, camat dan puskemas menandatangani surat pernyataan.
Direktur RSUD Kota Mataram, Lalu Herman Mahaputra, mengatakan puluhan warga datang ingin mengambil paksa jenazah pasien positif COVID-19. Masyarakat menolak penanganan pasien COVID-19 meninggal dunia sesuai protokol kesehatan.
Warga saat melayat ke rumah jenazah pasien positif COVID-19. Foto: Instalombok
“Iya, biasa kalau ada pasien positif ndak mau ikuti protokol. Tapi kita sudah selesaikan kok,” jawabnya dikonfirmasi melalui sambungan telepon (7/7).
Menurutnya, kejadian itu tidak kali ini saja. Pihaknya sudah empat kali diprotes dengan kasus sama. Manajemen rumah sakit tidak mau ambil pusing karena memiliki standar operasi prosedur dalam penanganan pasien.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, proses mediasi sudah berjalan dan negosiasi dilakukan antara keluarga, rumah sakit dengan TNI-Polri. Proses negosiasi berjalan buntu, sehingga diambil kesimpulan menyerahkan jenazah.
“Iya, kita lepas tanggung jawab,” ujarnya.
Menurutnya, Tim Gugus Penanganan COVID-19 telah memberikan edukasi. Tetapi tidak keseluruhan masyarakat mau menerima. Rupanya masyarakat khawatir timbul stigma, sehingga enggan menerima perlakuan jenazah sesuai protokol COVID-19.
-
Ardyan