Representasi Praktik Pernikahan Dini dalam Novel Gadis Pantai

Ibnu Tsabit Mustafid
Mayat hidup bak kapal tanpa nahkoda, terombang-ambing dalam bimbang.
Konten dari Pengguna
10 Juli 2022 12:38 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ibnu Tsabit Mustafid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : dokumen pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : dokumen pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Novel adalah karya prosa fiksi dengan runtutan peristiwa atau kisah kehidupan seseorang serta orang-orang di sekitarnya yang panjang dan kompleks dengan menonjolkan watak dan sifat setiap tokoh atau pelaku (Kemendikbud, 2017, hlm. 109). Bukan hanya jumlah kata atau halamannya saja yang panjang, namun jangkauan penceritaan kisahnya juga luas dan rumit. Berbeda cerpen yang memiliki jangkauan kisah sempit dan jumlah kata yang lebih sedikit.
ADVERTISEMENT
Bagi para sastrawan, novel bukan hanya sekadar cerita imajinatif yang muncul di pikiran, ditulis kemudian menjadi sebuah karya. Semua sastrawan menjadikan novel dan karya sastra lainnya sebagai media pengungkapan pemikiran dan perasaan penulis dalam merespons kejadian yang ada di sekelilingnya. Novel menjadi salah satu media kuat yang dapat menyajikan cerminan kehidupan masyarakat di kala hal yang ingin disampaikan tidak mungkin disampaikan secara langsung. Pramoedya Ananta Toer merupakan salah satu sastrawan angkatan '45 yang selalu menciptakan novel yang mengangkat kisah nyata dan pengalaman sejarah sosial budaya masyarakat Indonesia, seperti novel Gadis Pantai yang menampilkan praktik pernikahan dini.
ADVERTISEMENT
Sebuah kutipan dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer ini layak dalam membuka pembahasan mengenai praktik pernikahan dini dalam novel Gadis Pantai. Novel Gadis Pantai adalah roman yang tidak selesai (unfinished). Sejatinya, roman ini merupakan trilogi. Disebabkan oleh vandalisme Angkatan Darat, dua buku lanjutan Gadis Pantai raib ditelan keganasan kuasa, kepicikan pikiran, dan kekerdilan aksara. Novel ini mengangkat kisah tentang pernikahan dini seorang gadis pantai bersuku Jawa, tepatnya di Kampung Nelayan, Sepenggal Pantai Keresidenan Jepara, Rembang, Jawa Tengah.
Sekilas mengenai cerita dalam novel Gadis Pantai, terdapat seorang gadis yang hidup di Kampung Nelayan, sehingga disebut Gadis Pantai. Kulit kuning langsat, tubuhnya mungil kecil, mata agak sipit, hidung ala kadarnya. Ia menjadi bunga desa Kampung Nelayan. Menginjak usia 14 tahun, rumahnya kedatangan perutusan seorang Bangsawan Jepara. Selang beberapa hari sang gadis harus meninggalkan kampung nelayan dan dibawa ke kota. Ia diperistri Penguasa Jepara yang disebut Bendoro. Ketika menikah, ia dinikahkan hanya dengan sebilah keris, wakil seseorang yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Di kota, Gadis Pantai tinggal di kediaman Bendoro. Ia harus meninggalkan orang tuanya dan kampung tercinta. Beberapa hari di rumah barunya ia sama sekali tidak ditemui suaminya, ia hanya ditemani seorang wanita paruh baya yang mendidik dan mengajarinya bagaimana mana cara melayani Bendoro dan apa saja yang diperbolehkan dan tidak boleh dilakukan.
ADVERTISEMENT
Pada masa itu, seorang Bendoro sudah biasa memiliki gundik yang berasal dari pedesaan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Gadis dari pedesaan dinilai sebagai orang yang derajatnya lebih rendah darinya.
Kehidupan Gadis Pantai selama hidup di kediaman Bendoro sangatlah terbatas, ia hanya dilatih untuk melayani Bendoro.
Hingga di tahun ketiga pernikahannya Gadis Pantai hamil dan melahirkan seorang bayi. Tak lama setelah itu, Gadis Pantai diusir dan dipisahkan dengan anaknya yang tetap berada di kediaman Bendoro. Ia pun memohon untuk tetap membawa anaknya, namun hanya pukulan dan kekerasan yang ia dapatkan. Ia pun menyesal dan malu jika harus pulang kembali ke desanya.
Di usianya yang begitu muda, Gadis Pantai kehilangan segalanya. Diceraikan suami, anaknya dirampas, tidak punya pekerjaan. Karena begitu malu, Gadis Pantai tidak kembali ke Kampung Nelayan, melainkan pergi ke arah selatan, ke kota kecil Blora. Kisah Gadis Pantai berakhir di sini.
ADVERTISEMENT
Praktik pernikahan dini dalam novel Gadis Pantai disebabkan masalah ekonomi. Beban ekonomi pada keluarga gadis pantai mendorong orang tua untuk cepat-cepat menikahkan anaknya dengan harapan beban ekonomi keluarga akan berkurang, karena anak perempuan yang sudah nikah menjadi tanggung jawab suami. Orang tua Gadis Pantai tidak memikirkan usia anaknya, yang mereka pikirkan hanya menikahkan anaknya. Apalagi ketika yang datang melamar adalah dari keluarga bangsawan, dengan harapan dapat mengubah kehidupan sang anak dan meningkatkan derajatnya. Hal tersebut tergambar jelas dalam kutipan berikut:
“Bapakmu benar, nak. Mana ada orang tua mau melempar anaknya pada singa? Dia ingin kau senang seumur hidup, nak. Lihat aku, nak, dari kecil sampai setua ini, tidak pernah punya kain seperti yang kau pakai.”
ADVERTISEMENT
“Ambillah buat mak”
“Aku dan bapakmu banting tulang biar kau rasakan pakai kain, pakai kebaya, kalung, anting seindah itu. Dan gelang ular itu…."
***
“Beruntung kau menjadi istri orang alim, dua kali pernah naik haji, entah berapa kali khatam alquran“
Dampak pernikahan dini dapat dilihat dari kehidupan gadis pantai. Di usianya yang masih sangat muda, masih lugu, dan tidak tahu apa-apa apalagi soal menikah, gadis pantai dijadikan gundik Pembesar Jepara. Ia harus merelakan masa mudanya untuk mengabdi kepada Bendoro. Pernikahan dini membuat pasangan tersebut sibuk dengan dunia keluarga yang perlu tanggung jawab penuh.
Gadis Pantai adalah gambaran nasib kaum perempuan dari golongan kebanyakan di era feodalisme jawa. Pasrah pada nasib, tak punya hak, tak punya pilihan, bahkan untuk hidupnya sendiri. Tiada peran perempuan kecuali sebagai perhiasan dan alat pemuas nafsu laki-laki.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, Pramoedya selalu menciptakan novel yang mengangkat kisah nyata dan pengalaman sejarah sosial budaya masyarakat Indonesia. Novel Gadis Pantai ini sebenarnya terinspirasi oleh kehidupan Nenek Pramoedya.
Lewat roman ini Pramoedya Ananta Toer menampilkan kepada pembaca sekaligus mengkritik tradisi praktik pernikahan dini yang mengakar pada awal abad 19. Praktik pernikahan dini umumnya bermula dari kesulitan ekonomi. Para orang tua, “menjual” anak gadisnya kepada orang-orang yang lebih berada untuk memperbaiki taraf ekonomi keluarga.