Melihat Macet di Depok secara Lebih Objektif

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
1 September 2019 15:09 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kemacetan di ruas jalan Margonda Raya, Kota Depok. Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
zoom-in-whitePerbesar
Kemacetan di ruas jalan Margonda Raya, Kota Depok. Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ini memang konyol. Siapa yang tidak akan mengerutkan dahi saat Pemerintah Kota (Pemkot) Depok benar-benar meresmikan pemutaran lagu pada titik macet kota seperti di Simpang Ramanda? Meski ditujukan untuk sosialisasi lalu-lintas, sayangnya, itu sama sekali tidak dapat memuaskan hati masyarakat yang kadung kesal dengan kondisi macet yang sangat parah.
ADVERTISEMENT
Okelah, jika kita bersepakat bahwa kebijakan itu aneh. Tapi kalau hanya menghujat satu kebijakan tanpa melihat konteks kebijakan yang sebetulnya berjalan seiringan, rasanya tidak adil. Pem-bully-an di media sosial, menurut saya, justru semakin menjauhkan kita dari esensi kebijakan pengentasan kemacetan yang sedang dilakukan Pemkot Depok, salah satunya, ya, Joyful Traffic Management (JoTRAM) itu sendiri.
Di sini, saya tidak dalam rangka membela Pemkot Depok. Hanya menurut saya, semestinya kita melihat kebijakan JoTRAM dan usaha pengentasan kemacetan yang sudah dan yang akan dilakukan secara lebih objektif.
Masyarakat harus memiliki kepekaan terhadap kebijakan pemerintah yang berdampak pada hajat hidup orang banyak, bukan dengan emosi semata. Apalagi jika pem-bully-an ditujukan untuk menjatuhkan lawan politik, berhubung pilkada semakin dekat. Benar-benar memuakkan.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, melalui tulisan ini, saya ingin sedikit mengulas kemacetan di Depok dan kebijakan JoTRAM yang diklaim sebagai langkah solutif jangka pendek. Sebagai orang yang pernah indekos di Depok saat jadi mahasiswa, setidaknya saya cukup tahu masalah kemacetan yang kian mengerikan ini.
Ada dua hal yang ingin saya sampaikan.
Pertama, macet di Depok itu bukan sesuatu yang tiba-tiba nongol, apalagi hanya dipandang secara parsial. Kita harus memosisikan Depok sebagai kota penyanggah Jakarta, yang sejak 20 tahun belakangan harus menopang beban dari ledakan populasi Jakarta. Siapa yang bertanggung jawab pada mulanya?
Ya, Pemerintah Pusat di saat itu. Lahan-lahan di Jakarta dan sekitarnya dialihfungsikan jadi kawasan properti mewah, shopping center, sentra-sentra bisnis, dan kawasan industri.
ADVERTISEMENT
Roda ekonominya bergerak, tapi yang tinggal di desa kelabakan karena pembangunannya tidak diperhatikan. Daripada hidup susah di kampung, ya, mending ke Jakarta biar dapat kerja dan jadi sukses. 'Kan begitu anggapannya.
Hubungan ledakan populasi sama kemacetan teh naon? Kota Jakarta dan sekitarnya jadi semakin sempit karena orangnya pada numplek di kota. Kebutuhan transportasi umum, ya, otomatis meningkat pesat. Sayangnya, kebijakan transportasi dari zaman dulu tidak pernah beres. Alhasil, orang-orang menggunakan kendaraan pribadi untuk wara-wiri.
Coba cek catatan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek tahun 2016. Dari total perjalanan dan persentase penggunaan kendaraan bermotor, 74 persennya didominasi sepeda motor, lalu 24 persennya adalah mobil.
Jadi, berapa persentase untuk angkutan umum? Cuma dua persen! Itu kecil sekali. Pantas saja, aksesibilitas masyarakat di Jabodetabek terhadap angkutan umum hanya 16 persen, menurut ITDP Indonesia.
ADVERTISEMENT
Wajar saja jika macet di Jakarta dan sekitarnya sangat menyesakkan dada. Jadi keparahan macet di Depok bukan sesuatu yang unik. Di Tangerang, di Bekasi, dan di Bogor juga menghadapi masalah yang serupa. Artinya, tugas pengentasan kemacetan bukan hanya di tingkat pemda masing-masing, tapi lintas wilayah. Pemda tidak bisa bekerja sendiri untuk mengentaskan macet. Jadi harus ada peran Pemerintah Pusat.
Kedua, soal program JoTRAM yang jadi solusi jangka pendek atasi kemacetan di Depok. Apa, sih, sebenarnya JoTRAM itu?
Menurut Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Depok, JoTRAM adalah model pengelolaan kemacetan lalu lintas berorientasi customer. Dugaan saya, sepertinya Pemkot Depok ingin melayani pengguna jalan layaknya pelanggan agar lebih nyaman dalam berlalu lintas.
ADVERTISEMENT
Meskipun sampai saat ini, saya juga tidak habis pikir mengapa salah satunya harus dengan pemutaran lagu. Tapi okelah, kita cukupkan dulu pembahasan soal lagu. Sekarang, kita beralih pada konsep lain dari JoTRAM secara lebih luas.
Karena ini jangka pendek, kelihatannya memang penerapan hanya pada titik kemacetan terparah seperti di Jalan Margonda. Saya lihat ada beberapa hal yang sedang dilakukan, tapi kelihatannya banyak masyarakat belum tahu.
Ada yang namanya Sistem Satu Arah (SSA) di Jalan Dewi Sartika, Jalan Nusantara, dan Jalan Arif Rahman Hakim. Warga Depok pasti tahu soal ini. Katanya oleh pemkot, sistem SSA ini akan diubah menjadi contra full system yang akan diberlakukan sepanjang hari--berbeda dengan SSA yang sebelumnya hanya di waktu tertentu.
ADVERTISEMENT
Menurut kajiannya orang dishub, model contra flow ini membuat waktu tempuh kendaraan lebih ringkas menjadi 462 detik per kilometer. Gampangnya, kira-kira tujuh menit per kilometer. Sebelumnya, waktu tempuh itu bisa 10 menit per kilometer. Bedanya, sih, cuma lebih cepat tiga menit. Tapi kalau diakumulasikan, itu bisa lumayan menghemat waktu, daripada dibuat dua arah seperti sebelumnya.
Ada juga bus commuter yang sudah mulai beroperasi di sepanjang jalan Margonda. Jadi daripada bermacet ria, ya, mending naik bus yang sudah disediakan. Katanya, sih, akan disediakan lokasi parkir di titik-titik yang dekat tempat penjemputan bus.
Selain itu, supir ojek online (ojol) juga disediakan shelter khusus untuk ngetem. Kalau saya lihat, memang mereka terlihat semrawut karena berhenti di badan jalan. 'Kan tidak mungkin diusir, mereka juga lagi cari nafkah. Ya mending dibuatkan saja tempat ngetem resminya yang tidak mengganggu lalu lintas.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya ada beberapa lagi, sih, dari JoTRAM ini. Katanya, akan ada sistem ganjil-genap di jalan Margonda saat akhir pekan yang selalu macet parah. Kalau berkaca dari pengalaman ganjil-genap Jakarta, ternyata lumayan mendorong masyarakat untuk memakai angkutan umum. Untung ada bus commuter yang sudah beroperasi. Jadi tinggal naik angkutan yang sudah disediakan saja.
Nah, itu sekilas yang saya tahu soal JoTRAM. Karena ini jangka pendek, menurut saya, sebetulnya kebijakan ini oke-oke saja, kok. Kalau tidak ada langkah yang taktis, kemacetan akan semakin parah.
Ya karena ini hanya jangka pendek, pada akhirnya hanya berperan seperti ‘obat nyeri’. Tidak bisa menyembuhkan dari sumber penyakitnya. Soal JoTRAM, menurut saya, masyarakat hanya perlu mengawasi pelaksanaan teknisnya.
ADVERTISEMENT
Sebetulnya yang menarik untuk dicermati dan dikawal bersama justru kebijakan jangka panjang untuk membenahi kemacetan. Seperti yang saya sebut di poin pertama, kemacetan ini bersifat lintas sektoral, di mana Pemerintah Pusat punya andil yang besar.
Untuk itulah, diluncurkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 55 Tahun 2018 yang membahas soal Masterplan Integrasi Transportasi Jabodetabek. Pemkot Depok juga terlibat untuk merealisasikannya, lho.
Misalnya, proyek LRT milik Pemerintah Pusat diusulkan oleh Pemkot Depok untuk dibangun juga koridor Harjamukti hingga Pondok Cina. Nah, seharusnya masyarakat Depok juga bisa mengawal dan memberikan masukan pada pelaksanaan proyek segenting itu.
Atau misalnya dalam konteks integrasi transportasi, itu angkot-angkot di Depok yang semrawut kira-kira mau diapakan? Katanya Pemkot Depok akan meremajakan angkot dan rerouting trayek supaya tidak tumpang tindih, serta mendukung konsep angkot sebagai angkutan pengumpan (feeder).
ADVERTISEMENT
Ini juga sangat penting untuk dikawal bersama. Supaya apa? Ya, supaya angkot-angkot yang existing itu bisa lebih nyaman dan terjangkau masyarakat. 'Kan kita-kita juga yang pakai.
Satu lagi yang entah mengapa jadi sorotan saya adalah soal konsep Transit Oriented Development (TOD) yang juga menjadi proyek Pemerintah Pusat. Inti dari TOD ini adalah simpul yang menghubungkan transportasi massal dengan kawasan residensi dan komersial.
Pertanyaannya adalah apakah pembangunan TOD ini sudah berada pada konsep semestinya? Atau jangan-jangan, itu hanya menguntungkan kelas menengah atas saja karena yang dibangun justru pemukiman mewah dan pusat perbelanjaan?
Di Depok, ada Depok Metro Stater dan Terminal Jatijajar. Di sini, juga kabarnya akan dibangun kawasan TOD. Sudah sejauh mana masyarakat Depok mengawalnya?
ADVERTISEMENT
Jangan sampai kita luput dari kebijakan jangka panjang yang sangat penting karena terlalu asik dalam mem-bully sesuatu yang tidak substantif. Serta, yang juga penting adalah jangan sampai kita terbawa arus buzzer politik yang hanya menggiring opini untuk kepentingan pilkada semata.
Selain memuakkan, kita juga dibuat lupa bahwa banyak sekali isu dan kebijakan penting yang sebetulnya menyangkut hajat hidup masyarakat.