Putri Penggerek Bendera

Galan Rezki
Mahasiswa Ilmu komunikasi universitas Muhammadiyah Malang
Konten dari Pengguna
22 Agustus 2020 9:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Galan Rezki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Refi Siwi Handhini
Tepat di hari kemerdekaan kemarin, penulis dihadapkan dengan sebuah keadaan yang cukup unik. Boleh dikatakan ini adalah sebuah intuisi yang cukup bisa untuk dibagi. Seorang putri penggerek bendera berpita garuda asik bercengkrama dengan saudaranya. Sekilas nampak biasa, tapi ternyata ia sangat berbeda.
ADVERTISEMENT
Seperti kebanyakan perempuan, duduknya menyimpul kaki, dan kadang sesekali tertawa geli. Kulitnya hitam manis dengan aura yang eksotis. Wajar saja, mengibarkan bendera bukan ritual yang tanpa latihan. Mereka perlu mengatur langkah kaki, busana, sampai dengan penyesuaian dengan lagu kebangsaan.
Mungkin juga apa yang diupayakan lebih dalam dari apa yang kebanyakan orang pahami. Bukankah walau hanya berjemur di terik matahari saja itu sudah melelahkan ?. Perempuan itu tampak mengatur jas putih pleton pengibarannya. Ia terlihat sembunyi-sembunyi mengeluarkan lipstik dari tas kecil yang dibawanya.
Sembari fajar naik mengeringkan embun di dahan kesambi, deretan PNS mulai mengatur barisan. Sebagian lainnya bertegur perihal lama tak berjumpa. Beberapa memegang kipas elektronik kecil ditangannya. Sebuah kipas yang bahkan mereka sendiri tidak tahu apakah akan tetap menyala sampai akhir upacara.
ADVERTISEMENT
Disudut lainnya bapak-bapak dari dinas juga mulai bersahut mulut antar sesamanya. Tidak lupa almamater-almamater tua datang membuat baris. Almamater itu kusut, mungkin karena tidak dicuci atau terlalu lama menunggu sidang skripsi. Sempat terfikir apakah mereka hadir untuk menggugat pancasila, atau sekedar ingin mengerti esensi merdeka dari sebuah bendera.
Pagi itu Tuhan menurunkan rahmatnya. Kemuliaan itu jatuh melalui kening gadis pengerek tadi. Tanggannya menegadah ke langit dengan wajah yang berseri. Ternyata lipstiknya telah terpakai dengan rapih. Ia gugup, maka berdoalah ia.
Sementara itu, dari arah Pendopo, kendaran tetap berlalu lalang. Mungkin karena upacara punya siaran ulang di televisi nasional, jadi tidak perlu takut akan tertinggal. Mari sedikit berandai-andai. Bagaimana jika pemerintah tidak menurunkan instruksi, apakah akan ada peserta upacara ?.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari itu, banyak yang menggugat kata merdeka dan menyoal nasionalisme antar sesama. Mereka saling berbisik sampai kadang upacara sedikit berisik. Tapi perempuan penggerek bendera itu tetap terlihat menarik. Setidaknya mereka tampil lebih nasionalis dari siapapun yang hadir disana.
Sesekali terlintas sebuah pikiran bilamana seorang istri bersanggul atau berpeci paskibraka, mungkin mereka akan memiliki kesetiaan sebagaimana partiot kepada negara. Mereka terlihat sebagai perempuan bukan wanita. Bukan pula seperti kalangan orientatif yang memberi hormat hanya pada tradisi momentual upacara bendera. Konyol sekali, kenapa angan-angan seperti itu selalu saja ada.
Mungkin pembaca sekalian sering mengikuti berita di televisi ataupun koran lokal di daerah. Adalah sebuah kebanggaan bilamana seorang laki-laki maupun perempuan turut serta sebagai pasukan Paskibraka. Setidaknya dengan ini kita memahami bahwa ternyata, masih tersedia chanel bagi mereka yang ingin memberikan sumbangsi pada negara.
ADVERTISEMENT
Orang-orang sudah mulai bosan dengan obrolan politik yang hampir mirip debat kusir. Belum lagi istilah-istilah aneh yang kadang menggojloki otak rakyat dengan dalih keterbukaan. Walaupaun dewasa ini, berbicara kebangsaan oleh kalangan manapun akan tetap terlihat abu-abu.
Terlalu banyak yang menuntut tanpa mau berbenah. Terlalu banyak yang merusak sampai yang dirusak tak sadar telah rusak.
Kembali ke perempuan yang kita bisikkan diatas. Ia seperti es jeruk yang diminum setelah memakan nasi goreng pedas di simpang jalan. Takaran gula yang pas beserta ampas halus didalamnya memumbuat semua yang meminum lupa kalau mereka pernah punya dahaga. Setidaknya dengan memandangi hal-hal semacam itu, kita telah menemukan arti kemerdekaan, merdeka dalam berimajinasi.
ADVERTISEMENT
Selepas jarum jam memaksa duduk di pukul sembilan, bendera berkibar sebagaimana rupa biasa 17-an. Baju putih pembawa baki telah pergi dengan meninggalkan sepi. Yang tersisa hanya orang-orang yang jatuh cinta pada mereka. Berfikir bagaimana cara membuat penjaga saka itu kembali memotret diri di karnaval siang, dan dirindukan lagi di pameran malam.
Jika besok bertemu kembali, tidak pas rasanya jika diskusi tentang negara atau ideologi dibawa-bawa. Masih lebih baik bercerita tentang cinta atau konsep hidup mandiri bersama-sama. Itu lebih elok dan progresif jika mau bersoal hidup. Setidaknya, itu adalah upaya memerdekakan diri dari kata sendiri.