Perkembangan Pers: Suatu Kajian Kriminalisasi Kebebasan Pers di Indonesia

mahasiswa UPN
Konten dari Pengguna
20 Januari 2021 7:21 WIB
Tulisan dari Frederick Anderson tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

ABSTRAK

Artikel ini dibuat berdasarkan hasil karya tulis ilmiah yang bertujuan memberikan penjelasan tentang perkembangan pers dari masa ke masa dan respon pemerintah Indonesia terkait kriminalisasi pers yang ada saat ini. Pers merupakan lembaga sosial dan media komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan mKrimineyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia. . Pers di Indonesia tidak selalu berjalanan dengan lancar, hal ini disebabkan karena aturan dan politik yang berbeda beda tiap presiden. Pada masa kini, kondisi pers sudah semakin membaik, tetapi masih jauh dari harapan yang diinginkan. Metode penelitian hukum ini lebih tepatnya menggunakan penelitian hukum normatif. Sehingga, metode yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu dimana hukum digambarkan sebagai norma, kaidah, asas, atau yurisprudensi.

ADVERTISEMENT

Kata Kunci: Kebebasan Pers; Perkembangan Pers; Kondisi Pers Indonesia

ABSTRACT

This article is based on the results of scientific paper which aims to provide an explanation of the development of the press from time to time and the responsibility of the Indonesian government regarding the criminalization of the press that exists today. Social and mass communication media institutions that carry out journalistic activities including seeking, possessing, storing, processing, and conveying information in writing, voice, images, forms and images, as well as data and graphics and other forms using printed media, electronic media and all kinds of channels available. . The press in Indonesia does not always run smoothly, this is because the rules and politics are different for each president. At present, conditions in the press have improved, but still far from the desired expectations. This legal research method is more precisely using normative legal research. Thus, the method used is a normative juridical approach, in which the law is described as a norm, rule, principle, or jurisprudence.

ADVERTISEMENT

Key Words: Press Freedom; Press Development; Condition of the Indonesian Press

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Demokrasi secara sederhana diartikan sebagai “authority in, or rule by, the people” kekuasaan di tangan rakyat atau kekuasaan oleh rakyat (Lesmana, 2005). Sebagaimana yang telah dikatakan oleh John Naisbitt, bahwa abad ini adalah abad informasi (Wahidin, 2006). Di dalam negara demokrasi, setiap warga negara berhak atas segala informasi yang beredar di negaranya. Dewasa ini, nampaknya informasi menjadi kebutuhan primer warga negara untuk dapat melihat keadaan negara (tempat tinggal) dan lingkungan sosialnya. Informasi yang merupakan hak warga negara adalah untuk mengetahui apa yang dilakukan pemerintah atas nama rakyat, dan menjadi hak warga negara untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan (Reksodiputro, 1994) .

ADVERTISEMENT

Fakta lapangan menyebutkan bahwa masih banyak penyelewengan terkait dengan undang-undang kebebasan informasi yang berujung kepada kriminalisasi, khususnya yang berkaitan dengan kebebasan menyampaikan maupun menerima informasi. Kriminalisasi sendiri menurut Sudarto adalah penetapan suatu perbuatan yang awalnya bukan merupakan tindak pidana menjadi tindak pidana (Handoko, 2015). Proses ini diakhiri dengan terbentuknya Undang-Undang yang mengancam perbuatan tersebut dengan sanksi pidana. Hal ini tentu berhubungan erat dengan kebebasan pers yang menjadi manifestasi dari kebebasan menerima dan menyampaikan informasi.

Kebebasan pers Memiliki arti sebagai hak yang diberikan oleh konstitusi atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebarluaskan, pencetakan dan penerbitan surat kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah. Istilah pers atau press berasal dari istilah latin Pressus artinya adalah tekanan, tertekan, terhimpit, padat. Pers dalam kosakata Indonesia berasal dari bahasa Belanda yang mempunyai arti sama dengan bahasa inggris “press”, sebagai sebutan untuk alat cetak (Wahidin, 2006). Rifhi Siddiq mengungkapkan bahwa pers adalah sebuah alat komunikasi massal yang pada hakikatnya berfungsi untuk mengumpulkan dan mempublikasikan informasi yang terjadi dan merupakan sebuah lembaga yang berpengaruh dan menjadi bagian dari masyarakat ( Kholifatus, 2013) .

ADVERTISEMENT

Bapak dari studi komunikasi yang bernama Wilbur Schramm, dalam tulisannya mengemukakan 4 teori terbesar pers, yaitu the authoritarian, the libertarian, the social responsibility dan the soviet communist theory. Keempat teori tersebut mengacu pada satu pengertian pers sebagai pengamat, guru, dan forum yang menyampaikan pandangannya tentang banyak hal yang mengemuka di tengah tengah masyarakat (Taylor, Francis, 2002).

Sejarah perjalanan pers di Indonesia sangatlah panjang. Perkembangan politik di Indonesia turut membawa perubahan terhadap kebijakan pers di negara ini. Diawali pada masa orde baru dimana pers Indonesia menganut sistem pers otoritarian, kala itu pers hanya menjadi corong pemerintah. Runtuhnya orde baru menjadi angin segar bagi pers di Indonesia, terjadi banyak reformasi di bidang pers. Era Habibie, Gusdur, dan Megawati merupakan awal dari perkembangan kebebasan pers di Indonesia. Pers yang ideal dicapai pada masa pemerintahan SBY, dimana pemerintah tidak mencampuri pers dalam melakukan kegiatannya, di lain pihak pers juga menjalankan pers yang bertanggung jawab, dimana tetap memegang prinsip kebebasan, tetapi tetap berpedoman pada norma-norma yang berlaku. Iklim pers era SBY yang kritis dan konstruktif, diharapkan dapat terus berlangsung (Arnus, 2015).

ADVERTISEMENT

Berbeda dengan era Jokowi, nampaknya pada era ini terjadi banyak pro kontra mengenai kebebasan pers. Ketua Dewan Pers Indonesia menyerahkan penghargaan pada Hari Pers Nasional 2019, medali tersebut diberikan kepada Jokowi dengan alasan tidak pernah mengintervensi urusan pers. Namun disisi lain fakta yang ada mengungkapkan beberapa pembatasan akses terhadap jurnalis, selain itu pemerintah juga melakukan pemblokiran situs di Papua. Ada beberapa situs yang diblokir oleh pemerintah sepanjang 2016-2017, diantaranya yakni, Suarapapua.com, Infopapua.org, Papuapost.com, dan beberapa situs lainnya (Redaksi, 2019).

Indeks kebebasan pers di Indonesia cenderung membaik dalam lima tahun terakhir. Meski begitu angka indeks kebebasan ini masih relatif rendah. Peringkat Indonesia masih jauh dibandingkan negara-negara lain. Data menunjukkan indeks kebebasan pers di Indonesia pada 2015 sebesar 40,75 poin. Angkanya menurun menjadi 36,77 poin pada 2019 dengan peringkat 124 dari 180 negara. Semakin rendah skor, maka indeks kebebasan pers makin baik (Pusparisa, 2019).

ADVERTISEMENT

Banyak kasus-kasus yang terjadi di Indonesia mengenai kebebasan pers di Indonesia beberapa tahun terakhir ini seperti jika dihitung setahun terakhir (Mei 2018-Mei 2019), ada 42 kasus kekerasan berbagai jenis yang menimpa para pewarta. Sebanyak 30 diantaranya berupa kekerasan fisik seperti pemukulan dan pencekikan, kriminalisasi serta ancaman. Sementara itu, mayoritas pelaku kekerasan terhadap para jurnalis di Indonesia, dalam kurun waktu yang sama, adalah warga yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kelompok massa tertentu, misalnya pendukung klub sepak bola, pendukung aparatur desa, dan pendukung pejabat daerah. Polisi dan pejabat pemerintah juga masuk sebagai 3 besar pelaku kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia(ABC, 2019). Banyak juga terjadi kasus-kasus kekerasan terhadap para jurnalis dan wartawan. Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mencatat selama 2019 terjadi 53 kasus kekerasan terhadap wartawan, didominasi oleh kekerasan fisik sebanyak 20 kasus dan pengrusakan alat kerja sebanyak 14 kasus (Crhisto, 2020).

ADVERTISEMENT

Dari permasalahan tersebut sudah sepatutnya kita dapat mengawal kasus ini dengan baik karena setiap pemerintahan mempunyai kebijakan dan pengaruh politik yang berbeda-beda. Dalam hal ini pemerintah wajib untuk merespon dan bertanggungjawab atas segala kejadian yang membungkam kebebasan pers di Indonesia. Dari tulisan ini, penulis berharap agar pembaca dapat mengetahui sejarah perkembangan pers yang ada di Indonesia dan bagaimana respon pemerintah terhadap kasus kriminalisasi kebebasan pers yang ada di Indonesia. Penelitian ini menarik judul Perkembangan Pers: Suatu Kajian Kriminalisasi Kebebasan Pers di Indonesia, dengan rumusan masalah yaitu . Bagaimana perkembangan kebebasan pers di Indonesia dari era orde lama sampai era reformasi dan Bagaimana respon pemerintah terhadap kriminalisasi kebebasan pers yang saat ini terjadi di Indonesia.

ADVERTISEMENT

METODE

Dalam membuat penelitian ini, penulis menggunakan metode serta teknik dalam penelitiannya. Metode penelitian merupakan langkah-langkah ilmiah dalam mendapatkan data-data yang otentik agar dapat menemukan, mengembangkan ataupun menguji keabsahan suatu data mengenai suatu ilmu pengetahuan, sehingga dapat digunakan untuk mengkaji atau sekedar memahami suatu permasalahan dalam bidang tertentu. Pada artikel ini, penulisannya menggunakan penelitian hukum karena topik didalam artikel ini membahasa menegenai hukum yang tertera dalam Undang-Undang. penelitian hukum sendiri merupakan suatu kegiatan ilmiah dalam mengkaji suatu atau beberapa fenomena hukum tertentu dengan metode analisis yang didasarkan pada metode, sistematika, dan analisis tertentu. Oleh karena itu, perlu adanya pengkajian mendalam terhadap fakta atau data hukum tersebut, yang kemudian dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan yang timbul terkait fenomena yang bersangkutan.

ADVERTISEMENT

Metode penelitian hukum ini lebih tepatnya menggunakan penelitian hukum normatif. Sehingga, metode yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu dimana hukum digambarkan sebagai norma, kaidah, asas, atau yurisprudensi. Tahapan penelitian yuridis normatif yaitu dengan menggunakan studi kepustakaan (pengkajian terhadap literatur) dan mengacu kepada aturan hukum yang berlaku. Data dasar penelitian yang merupakan data sekunder pada penelitian ini tidak lain adalah bahan studi kepustakaan. Penelitian ini bersifat deskriptif, karena karya tulis ini bertujuan untuk mengungkapkan fakta tentang kriminalisasi kebebasan berpendapat selama ini dan kaitannya dengan undang-undang yang mengatur terkait hal tersebut.

Tempat penelitian merupakan lokasi yang digunakan dalam penelitian. Namun, karena saat ini sedang masa pandemi, jadi kami meneliti berdasarkan data-data yang kami kumpulkan yang berasal dari jurnal-jurnal ilmiah, beberapa skripsi dan beberapa makalah. Dalam penelitian ini, kami melakukan penelitian selama kurang lebih selama empat bulan terhitung sejak bulan Oktober 2020 sampai bulan Januari 2021. Dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai objek penelitian adalah kriminalisasi kebebasan yang marak terjadi di Indonesia. Dimana subjek permasalahan yang diteliti adalah pers di Indonesia.

ADVERTISEMENT

Teknik pengumpulan data disini berarti suatu cara yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan sumber data penelitian yang terpercaya. Pada tahap ini penulis selaku peneliti melakukan pencarian serta pengumpulan terhadap beberapa sumber karya tulis yang sudah ada sebelumnya yang memiliki topik bahasan yang sama serta berpacu pada norma-norma hukum yang terkait. Sumber-sumber tersebut terdiri dari beberapa skripsi, karya tulis ilmiah, makalah, serta jurnal yang terdapat dalam jejaring internet.

Dalam penelitian ini melakukan peneliti menggunakan teknik pendekatan kualitatif yang melihat dan menganalisis norma-norma hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berkembang. Adapun data sekunder ini diperoleh dari jurnal-jurnal hukum, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, dan peraturan perundang-undangan. Tahap-tahap analisis data yang dilakukan dengan menggunakan teknik pendekatan kualitatif ini antara lain pengkajian terhadap data yang didapat, pembuatan catatan penting dalam penelitian, dan pendeskripsian.

ADVERTISEMENT

Namun, sebelum melakukan sebuah penelitian, penulis melakukan beberapa tahap penelitian yaitu sebagai berikut:

1. Menentukan Topik Penelitian

Tahap pertama yang dilakukan adalah menentukan topik yang akan dibahas. Dari beberapa topik yang menjadi opsi, akhirnya penulis menentukan untuk mengangkat topik yang sedang marak terjadi yaitu kriminalisasi terhadap kebebasan pers di Indonesia.

2. Menentukan Judul Penelitian

Pada tahap kedua ini, para penulis berdiskusi dalam menentukan rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini serta judul yang akan dipakai. Setelah selesai melakukan tahap-tahap sebelum penelitian, maka selanjutnya penulis melakukan penelitian terkait topik yang diangkat. Tahap-tahap penelitian yang dilakukan antara lain adalah pengumpulan data, pengolahan serta analisis data, konsultasi dengan dosen pembimbing, dan penyusunan laporan penelitian dari hasil semua data terkumpul yang telah diolah.

ADVERTISEMENT

HASIL DAN PEMBAHASAN

Menurut Soerjono Soekanto, kriminalisasi merupakan tindakan atau penetapan pemerintah mengenai perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat dikategorikan sebagai tindakan pidana dan dapat dikenakan sanksi bagi pelakunya (Soekanto, 1981). Adapun pendapat lain yang didefinisikan oleh Rusli Effendi, di dalam bukunya dikatakan bahwa kriminalisasi dari perspektif nilai adalah perubahan nilai mengenai suatu perbuatan yang semula bukan perbuatan tercela dan tidak mengandung unsur pidana, kemudian dianggap sebagai perbuatan tercela dan perlu dipidana (Effendy, 1986). Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa kriminalisasi merupakan suatu tindakan yang dikategorikan sebagai tindakan pidana sehingga pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana.

Kriminalisasi memiliki beberapa kriteria dan dengan kriteria tersebut dapat menentukan suatu perbuatan termasuk perbuatan yang dapat dikenakan sanksi pidana maupun tidak, diantaranya:

ADVERTISEMENT

a. Perbuatan kriminalisasi dapat dianalisis apakah perbuatan tersebut tidak disukai oleh masyarakat atau dibenci bahkan dapat menimbulkan korban.

b.Melihat proses pembentukan Undang-Undang, penegakkan hukum dan pengawasan hukum serta beban yang ditanggung pelaku dan korban harus sepadan dengan tata tertib hukum dan pencapaian hasil kedepannya.

c. Melihat kemampuan dan keseimbangan aparat hukum dalam menjalankan tugasnya agar tidak memberatkan, sehingga dapat dengan fokus menyelesaikan kasus-kasus yang diterima.

d.Menganalisis suatu perbuatan yang dilakukan dapat merugikan masyarakat sekitar bahkan dapat menghambat suatu masyarakat dalam mencapai tujuan nasional.

Dengan melihat kriteria umum kriminalisasi, aparat hukum atau pejabat hukum dapat menganalisa suatu perbuatan sehingga dapat dinyatakan sebagai perbuatan kriminal dan dijatuhkan sanksi pidana (Sovia, 2020).

ADVERTISEMENT

Menurut Acan Mahdi dalam jurnalnya yang berjudul Kebebasan Pers dan Hak Publik, mendefinisikan kebebasan pers sebagai kebebasan dalam berkomunikasi dan berekspresi dalam memberikan informasi kepada publik melalui berbagai macam media massa (Mahdi, 2014). Adapun menurut Venezia Indra dan Praptining Sukowati di dalam jurnal Ilmu Administrasi Publik, mengatakan bahwa kebebasan pers merupakan hak dewan pers dalam melaporkan dan mengkritik kinerja pemerintah baik dalam konteks positif maupun negatif (Ghassani, Sukowati, 2016). Berdasarkan definisi yang telah dipaparkan oleh beberapa ahli, dapat ditarik kesimpulan bahwa kebebasan pers merupakan hak dalam berekspresi dan berkomunikasi serta merupakan wujud kedaulatan rakyat yang sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang 1945.

Kebebasan pers dapat didefinisikan sebagai kebebasan berpendapat dan menyebarkan informasi melalui berbagai macam media massa. Kebebasan pers juga dapat diartikan sebagai kebebasan tanpa adanya campur tangan pemerintah dalam memberikan pendapat. Namun, dalam konsep kebebasan pers terdapat pembatasan atas pers dalam menyampaikan informasi dan ekspresi. Adapun ekspresi yang dibatasi seperti pornografi, diskriminasi, menyerukan hal-hal yang berbau SARA, kekerasan ataupun seruan yang bersifat ajakan kepada terorisme dan genosida. Dengan adanya pembatasan tersebut bukan berarti pemerintah mengekang pers dalam berekspresi, tetapi memberi aturan agar opini yang diserukan tidak menggiring publik ke arah yang negatif. Sehingga, pembatasan tersebut harus menyangkut beberapa hal, diantaranya:

ADVERTISEMENT

a. Merupakan langkah terakhir yang diupayakan untuk mencegah terjadinya suatu hal yang dapat mengganggu ketertiban bersama, sehingga pembatasan tersebut dibuat.

b.Tidak membatasi kebebasan berekspresi yang sah dan tidak mengganggu kenyamanan publik. Pembatasan berekspresi hanya untuk hal-hal yang dapat merugikan publik.

c. Bersifat proporsional dan memiliki banyak keuntungan dibandingkan kerugian dari pembatasan tersebut.

Dengan adanya konsep kebebasan pers serta pembatasannya, dewan pers dapat meninjau kembali mengenai opini serta informasi yang mereka sampaikan melalui media massa agar tidak mengundang stigma buruk yang tidak valid terhadap suatu hal yang diberitakan oleh pers (Komala, 2017).

Perkembangan Pers di Indonesia.

1. Masa Orde Lama

Perkembangan kebebasan pers di Indonesia pada masa orde lama terbagi menjadi dua masa, yaitu masa demokrasi liberal dan masa demokrasi terpimpin. Pada saat masa revolusi (Liberal) surat-surat kabar tidak hanya digunakan wartawan sebagai media massa yang hanya berfungsi untuk meberikan info saja, tetapi pada zaman demokrasi liberal surat-surat kabar juga digunakan untuk pihak Belanda yang ingin menguasai bangsa Indonesia kembali. Pada tahun 1950-1959, muncul doktrin demokrasi terpimpin, kebebasan pers di masa ini juga banyak digunakan untuk memfitnah dan mencaci maki lawan politik (Unknown, 2017). Demokrasi terpimpin dimulai pada tahun 1959-1965. Masa ini juga masih menjadi masa kelam perkembangan pers di Indonesia. Pada tahun 1960 penerbit bukan hanya wajib mengeluarkan Surat Izin Terbit (SIT), tetapi penerbit juga wajib untuk mengeluarkan Surat Izin Cetak (SIC) dan juga untuk mendapatkan surat izin terbit, penerbit harus menyetujui pernyataan bahwa penerbit mendukung Manipol-Usdek dan akan mematuhi pedoman dari penguasa.Hal ini ditujukan untuk menekan pemerintah dan memonopoli sumber surat kabar agar hanya bersumber dari PKI saja (Rangga, 2020).

ADVERTISEMENT

2. Masa Orde Baru

Perkembangan pers pada masa orde baru diidentikan dengan masa kepemimpinan presiden Soeharto. Pada masa ini pers dibina secara sistematis dan terarah. Menteri Penerangan mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan (PERMENPEN) No.01/Pers/Menpen 1984 yang menyatakan bahwa sebuah perusahaan pers yang ingin didirikan harus memiliki Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP). Adanya peraturan Menteri ini secara tidak langsung dapat menyatakan bahwa pemerintah mengekang kebebasan pers karena mencerminkan suatu usaha pelaksanaan pers yang dikendalikan oleh pemerintah (Arnus,2015) . Pada era orde baru, pers dapat dikatakan sebagai organisasi atau media yang mendukung pembangunan nasional, sehingga dapat dikatakan bahwa pers adalah salah satu alat pemerintah dalam menjalankan sistem pemerintahan. Pers sangat diharapkan untuk tidak memuat atau menyebarkan berita yang bertentangan dengan program pemerintah orde baru. Pers dijadikan sebagai alat propaganda pemerintah dan tidak hanya itu, pers dijadikan sebagai alat represif. Sebagai contoh yaitu kasus yang dialami oleh Partai Demokrasi Rakyat ketika peristiwa demo di kantor DPP PDI pada tanggal 27 Juli 1966, dimana pemerintah memberi perintah kepada pers untuk membuat berita yang berisikan isu makar dan isu komunis yang bertujuan untuk meneror kesadaran para aktivis dan untuk memukul gerakan pro-demokrasi (Hutagalung, 2013).

ADVERTISEMENT

3. Masa Reformasi

Masa reformasi dimulai saat Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya pada 21 Mei 1998 dan digantikan oleh B.J. Habibie. Oleh karena itu, kebebasan pers pada era reformasi dapat dibagi menjadi lima tahap kepemimpinan, dimulai pada era kepemimpinan BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Joko Widodo.

Era B.J. Habibie membawa dampak positif bagi perkembangan kebebasan pers. Kebebasan pers dan kebebasan menyatakan pendapat, maupun hak asasi manusia dijamin negara melalui pengesahan sejumlah undang-undang. Langkah pertama kali yang Presiden Habibie ambil dalam membuka ruang kebebasan pers adalah dengan mencabut ketentuan pembatalan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) melalui Menteri Penerangan lewat Permenpen baru Nomor 1 Tahun 1988. Dicabutnya kebijakan SIUPP karena kebijakannya pada masa orde baru dinilai menghalalkan untuk melakukan pembredelan media massa yang pada saat itu tidak sejalan dengan pemerintah. Langkah lain yang beliau lakukan adalah dengan mengesahkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers. Langkah inilah yang membuat kemerdekaan pers kemudian terbuka bebas. Dalam UU ini menegaskan bahwa kebebasan pers tidak boleh diintervensi oleh siapa pun dan tanpa batasan apapun. Pada masa pemerintahannya Gus Dur mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang kontroversial. Salah satu kebijakannya adalah penghapusan Departemen Penerangan (DEPPEN). Menurutnya alasan dihapuskannya DEPPEN adalah lembaga tersebut merupakan lembaga kepanjang tanganan dari pemerintah dalam mengendalikan penerbitan dan pemberitaan pada masa Soeharto dan dikhawatirkan lembaga ini masih memiliki hubungan dengan pemerintahan sebelumnya (Arnus,2015). Pers pada era Presiden Megawati banyak yang beralih ke media online disebabkan adanya kemajuan teknologi (Arnus,2015). Namun, pada masa ini sulit memberikan informasi kepada masyarakat umum karena pemerintah sulit untuk angkat bicara. Sehingga, masyarakat secara tidak langsung harus mencari tahu sendiri informasi mengenai isu-isu sosial, akibatnya masyarakat kebingungan melihat fenomena yang terjadi (Achmad, 2014 ). Selama kurang lebih satu dasawarsa masa kepemimpinan SBY, kebebasan pers, berekspresi, dan keterjaminan hak benar-benar mengalami kemajuan. Oleh karena itu, meski tetap memerlukan perbaikan dan pengontrolan namun kebebasan pers di masa kepemimpinan SBY dapat dikatakan meningkat. Dan pada masa akhir jabatannya, perkembangan media pers terus mengalami kemajuan, terlihat dari mulai berkembang pesatnya media berita online. Dari kemajuan inilah pemberian informasi kepada masyarakat juga turut mengalami perkembangan. Meskipun pada masa ini kebebasan pers mengalami kemajuan namun tidak menjamin kriminalisasi pers tidak terjadi. Kriminalisasi terhadap pers juga tetap terjadi pada masa kepemimpinan presiden RI ke-6 ini. Pada masa era Jokowi, banyak hal yang diharapkan terjadi di bidang kebebasan pers. Namun pada kenyataannya, apa yang dikatakan oleh Presiden Jokowi tidak terjadi. Pada kenyataannya kebebasan berekspresi dan kebebasan pers dalam sepuluh tahun terakhir sudah berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Menurut data World Press Freedom Index 2020 yang dirilis Reporters Sans Frontiers atau Reporter Without Borders, Indonesia berada pada peringkat 119 dari 180 negara. Dengan data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya berada di urutan bawah. Pemeringkatan tersebut didasarkan pada tiga aspek yang menjadi tolak ukur untuk menilai kondisi kebebasan pers. Ketiga aspek tersebut antara lain adalah iklim hukum yang menyoroti aspek regulasi negara tersebut terhadap kebebasan pers yang ada di negaranya, iklim politik yang menyoroti kebijakan yang memiliki dampak terhadap kebebasan pers di negaranya, dan iklim ekonomi yang menyoroti lingkungan ekonomi negara yang memiliki dampak terhadap kebebasan pers di negara tersebut (Briantika, 2020). Dengan demikian, dapat kita lihat bahwa masing-masing era mempunyai perjalanan pers yang berbeda-beda. Salah satu faktor paling berpengaruh yakni kondisi politik yang ada pada saat itu. Oleh karena itu, sudah sepatutnya pemerintah tidak perlu mengintervensi terlalu jauh daripada peran pers itu sendiri.

ADVERTISEMENT

PENUTUP

Perkembangan kebebasan pers di Indonesia pada masa orde lama terbagi menjadi dua masa, yaitu masa demokrasi liberal dan masa demokrasi terpimpin. Pada masa orde lama ini, baik masa demokrasi liberal maupun demokrasi terpimpin disebut sebagai masa kelam bagi sejarah perkembangan pers di Indonesia karena jika pada masa demokrasi liberal pers tidak netral, dalam artian pers hanya digunakan sebagai media penyebar informasi dari partai politik yang dijunjung oleh pers tersebut saja dan pers digunakan untuk mencaci maki lawan politik yang dijunjung oleh pers tersebut, sedangkan pada masa demokrasi terpimpin penerbit bukan hanya wajib mengeluarkan Surat Izin Terbit (SIT), tetapi penerbit juga wajib untuk mengeluarkan Surat Izin Cetak (SIC) dan juga untuk mendapatkan surat izin terbit, penerbit harus menyetujui pernyataan bahwa penerbit mendukung Manipol-Usdek dan akan mematuhi pedoman dari penguasa.

ADVERTISEMENT

Perkembangan pers pada masa orde baru diidentikan dengan masa kepemimpinan presiden Soeharto. Pada masa ini pers dibina secara sistematis dan terarah. Era reformasi perkembangan pers dimulai dari pimpinan B.J Habibie sampai saat ini yaitu pimpinan Jokowi. Pada masa ini, perkembangan pers sudah mulai membaik dan pers lebih bebas dalam memberikan informasi-informasi terhadap masyarakat, baik informasi terkait politik, pemerintahan dan informasi lainnya, selain itu pada masa ini pers juga mulai berani mengkritisi kebijakan pemerintah. Indeks kebebasan pers menunjukkan bahwa kondisi kebebasan pers Indonesia lebih baik dari sebelumnya, tetapi meskipun sudah membaik dari sebelumnya, ranking kebebasan pers Indonesia di dunia tetaplah masih terhitung rendah dibandingkan dengan negara lainnya, maka dari itu perlu ditingkatkan lagi agar semakin lebih baik lagi.

ADVERTISEMENT

Indonesia telah mengalami pasang surut sejarah perkembangan pers di Indonesia, hal ini juga diiringi oleh terjadinya kriminalisasi pers. Indeks menunjukkan bahwa kriminalisasi kebebasan pers di Indonesia terhitung tinggi. Melihat kondisi tersebut dibutuhkan respon pemerintah untuk meminimalisir kriminalisasi kebebasan pers di Indonesia, berikut ini respon pemerintah terhadap kriminalisasi pers di Indonesia yaitu menerbitkan 10 pasal yang terdapat dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP):

Pasal 219 mengatur orang yang melakukan penyerangan terhadap kehormatan, harkat, dan martabat presiden atau wakil presiden layak diganjar empat tahun enam bulan penjara.

Pasal 241 menyebut orang yang melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah diancam penjara maksimal empat tahun.

Pasal 246 menyebutkan hukuman pidana bagi orang yang menghasut orang lain melakukan tindakan pidana maupun melawan penguasa diancam dengan hukuman empat tahun

ADVERTISEMENT

Pasal 247 menyebutkan hukuman pidana bagi orang yang menghasut orang lain melakukan tindakan pidana ataupun melawan penguasa diancam dengan hukuman empat tahun enam bulan.

Pasal 440 mengatur orang yang menyerang nama baik atau kehormatan orang lain diancam maksimal sembilan bulan penjara. Namun jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan di tempat umum, maka hukuman bertambah menjadi maksimal satu tahun enam bulan.

Pasal 446 mengatur orang yang melakukan pencemaran terhadap orang mati, diancam hukuman enam bulan penjara.

Pasal 262 mengatur penyebar berita bohong dan berita tidak pasti yang berakibat keonaran dengan ganjaran enam tahun penjara.

Pasal 263 mengatur penyebar berita bohong dan berita tidak pasti yang berakibat keonaran dengan ganjaran dua tahun penjara.

ADVERTISEMENT

Pasal 281 yang mempidanakan siapapun yang secara melawan hukum mempublikasikan hasil persidangan dengan hukuman satu tahun penjara.

Pasal 304 mengatur terkait orang yang menyiarkan informasi dalam bentuk apapun yang memiliki unsur penodaan agama, dipenjara maksimal lima tahun.

REFRENSI

ABC. 2019, “Susahnya Jadi Jurnalis di Indonesia Setahun Terakhir’’, tempo.co, https://www.tempo.co/,

Achmad, Zainal Abidin. 2014, Perbandingan Sistem Pers dan Sistem Pers di Indonesia, Surabaya: Lutfansah Mediatama.

Arnus, Sri Hadijah Arnus. 2015, Jejak Perkembangan Sistem Pers di Indonesia, Jurnal Al-Munzir, Vol. 8 No, 1.

Briantika, Adi. 2020, “21 Tahun UU Pers : Kerentanan Jurnalis Berlipat Ganda”, tirto.id, https://tirto.id/,

Crhisto, Johannes P. 2020, “Hentikan Kriminalisasi dan Penganiayaan terhadap Jurnalis”, amnesty.id, https://www.amnesty.id/

Duwi, Handoko. 2015, Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi, Pekanbaru: Hawa Dan Ahwa.

ADVERTISEMENT

Effendy, Rusli. 1986, Masalah Kriminalisasi dan Dekriminalisasi dalam Rangka Pembaharuan Hukum Nasional, Jakarta: PT Binacipta.

Francis, Taylor. 2002, The Four Theories of the Press Four and a Half Decades Later: a retrospective, Journalism Studies, Vol. 3 No. 1.

Hutagalung, Inge. 2013, Dinamika Sistem Pers di Indonesia, Jurnal Interaksi, Vol.2 No.2.

Komala, Ratna. 2017, Menunggu Wujud Nyata Kemerdekaan Pers, Jurnal Dewan Pers, Vol. 16 No. 1.

Mahdi, Acan.2014, Kebebasan Pers dan Hak Publik, Jurnal IAIN Pontianak, Vol. 8 No. 1.

Pusparisa, Yoseph. 2019, “Indeks Kebebasan Pers di Indonesia Masih Rendah’’, databoks.katadata.co.id, https://databoks.katadata.co.id/

Rangga, Aditya. 2020, “Perkembangan Pers di Indonesia”, Cerdika.com, https://cerdika.com/,

Redaksi. 2019, “Jokowi Tidak Layak Menerima Medali Kebebasan Pers”, remotivi.or.id, https://www.remotivi.or.id/,

ADVERTISEMENT

Reksodiputro, Mardjono. 1994, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum.

Sa'adah, Kholifatus. 2013, “Fungsi dan Peran Media Massa”, vesper2.blogspot.com, http://vesper2.blogspot.com/,

Sukowati, Venezia Indra Ghassani & Praptining. 2016, Bentuk Hubungan Pers dengan Pemerintah Terkait dengan Fungsi Media sebagai Kontrol Sosial, Jurnal Ilmu Administrasi Publik. Vol. 1 No. 2.

Soekanto, Soerjono. 1981, Kriminologi: Suatu Pengantar, Jakarta: PT Ghalia Indonesia.

Sovia, Nita. 2020, Kriminalisasi: Jasa Pembuatan Karya Ilmiah Sebagai Tindak Pidana Dalam Lingkup Akademik, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

Tjipta Lesmana, 2005, Pencemaran Nama Baik dan Kebebasan Pers Antara Indonesia dan Amerika, Jakarta: Erwin-Rika Press, Hlm. 185.

Unknown. 2017, “Sejarah Perkembangan Pers Demokrasi Liberal”, Makalah apalah.blogspot, http://makalahapalah.blogspot.com/,

ADVERTISEMENT

Wahidin, Samsul. 2006, Hukum Pers, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

1611067494779957296
Bagikan: